Part 39

53 5 0
                                    

•••••

Saat ini, Finza tengah berada di ruangannya Arga yang lumayan besar. Karna di ruangan itu ada tiga orang yang menghuninya dan setiap meja dipenuhi oleh komputer dan alat-alat lainnya.

"Aws!" lirih Finza kesakitan saat canterbab menyentuh luka yang ada di wajahnya.

"Ini sudah pelan kok, sayang," ucap Arga sambil meniup luka itu, lalu menempelkan plester di wajah Finza dan jadilah maha karya tempel-menempel di wajah Finza.

"Lain kali jangan lawan mereka bertiga saja. Panggil bantuan dari anggota geng. Untung kalian cuma luka-luka aja. Kalau yang lebih buruk, gimana?" ucap Arga sambil memasukkan kembali obat itu ke dalam kotak P3K.

"Ya. Maaf, kak! Waktunya terlalu cepat, lagian karna mereka ingatan aku kembali lagi," jawab Finza dengan memanyunkan bibirnya.

"Lain kali jangan diulang lagi. Kakak 'kan jadi khawatir di sini," ucap Arga sambil menatap  wajahnya Finza.

Tik ... tik ... tik!"

Bunyi alaram jam Arga, yang sudah menujukkan pukul 20.00 malam.

"Kakak cek pasien dulu. Sayang tunggu di sini bentar, ya?" ucap Arga sambil bangun dari kursinya.

"Jangan lama-lama ya, kak?" rengek Finza.

"Enggak kok, sayang. Cuma cek doang lalu kembali ke sini," ucap Arga sambil mencium bibirnya Finza, lalu pergi meninggalkan Finza sendirian di ruangannya.

Ceklek!

"Kalian lagi ngapain?" tanya Arga saat melihat beberapa suster berada di ruangannya.

"Ki--ta cuma lewat kok, Dok," jawab para suster itu dengan gelagapan.

"Benar, dok," timpal suster satunya lagi.

"Oh," jawab Arga singkat lalu berlalu pergi meninggalkan para suster itu.

"Huft!" mereka menghela nafas kasarnya dengan serentak.

"Kalian ngapain di sini? Kalian gak kerja?" tanya Dilla yang tiba-tiba muncul.

"Iya, Dok. Kita permisi dulu," ucap mereka yang  tampak kaget dan mereka menundukkan kepalanya sebelum berlalu pergi.

"Meskipun dokter Arga dingin, tapi aku lebih takut berhadapan dengan nenek sihir itu."

"Sama, aku juga," bisik para suster itu yang masih terdengar jelas di telinga Dilla.

"Huft!" Dilla menghela nafas kasarnya, lalu membuka pintu ruangannya dan tampak Finza tengah duduk di kursi Arga.

Deg!

Jantung Dilla langsung berpacu dengan cepat dan keringat dingin mulai jatuh di pipinya dan tubuh yang sudah bergetar. Saat bola matanya saling bertatapan dengan Finza. Beda halnya dengan Finza, jantungnya langsung berpacu dengan cepat, ketika mengetahui Dilla satu ruangan dengan Arga. Namun, Finza tetap membuat wajahnya senormal-normal mungkin, walau merasa cemburu dan curiga. Selama dalam ruangan itu, mereka tidak ada yang berbicara. Mereka hanya sibuk dengan pikiran masing-masing, sampai Arga kembali ke sana.

"Maaf ya, sayang. Pasti nunggunya lama," ucap Arga sesampainya di ruangan itu. Finza hanya membalas dengan gelengan kepala.

"Ayo kakak antar pulang," ajak Arga sambil membuka jubah dokternya, lalu meletakkan di atas gatungan yang sudah khusus 'kan.

"Iya," jawab Finza singkat, lalu berjalan mmengikuti Arga kyaeluar dari ruangan itu.

Selama perjalanan pulang, Finza hanya menyadarkan kepalanya di jendela mobil.Menatap indahnya pemadangan dari luar pada saat malam hari.

"Sayang kenapa? Dari tadi kok diam aja?"  tanya Arga menatap istrinya, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan.

"Gak apa-apa," jawab Finza.

"Ada sesuatu yang dikatakan Dilla tadi?" tanya Arga lagi.

"Gak ada," jawab Finza dengan nada cuek.

"Lah, habis itu kenapa sayang? Perasaan tadi baik-baik aja. Lagi PMS, ya?" tanya Arga dengan mengoda.

"Hmmm," balas Finza dengan berdeham. "Kagak peka amat!" batin Finza.

"Kalau soal Dilla gak usah khawatir. Kakak sama dia hanya sebatas teman kerja sekarang. Percaya deh sama, kakak," ujar Arga yang seakan tau apa yang dipikirkan istrinya. Sedangkan Finza hanya membalas dengan anggukan pelan.

"Sekarang kita pergi makan dulu. Baru pulang ke rumah," ucap Arga sambil mengusap-usap kepala istrinya dan sedikit menambah kecepatan mobil. Arga memanfaatkan waktu bersama istrinya dan dia harus kembali ke rumah sakit lagi setelah mengatarkan Finza pulang. Waktu berlalu begitu cepat dan kini mereka sudah sampai di rumah, setelah kembali dari makan malam.

"Kakak, gak bisakah tidur di sini malam ini?" tanya Finza dengan menangis.

"Maunya gitu sayang, tapi ada pasien yang harus kakak cek sekali dua jam. Sayang harus sabar dulu, ya!" jawab Arga sambil menghapus air mata Finza, lalu memeluk tubuh istrinya dengan erat. Arga mencium pucak kepala istrinya, yang tengah menangis dalam pelukkannya, karna tidak mau berpisah dengannya. Arga tidak tega meninggalkan Finza, yang menangis seperti anak kecil. Setelah menidurkan istrinya,  Arga kembali keluar dari kamarnya dan berjalan menuruni satu-persatu.

"Enggak nginap di rumah, Ga?" tanya Ratu yang baru saja kembali dari dapur, dengan secangkir kopi.

"Ada pasien yang gak bisa Arga tinggalin, Bu," jelas Arga.

"Oh ... makannya jangan sampai telat di sana, sholatnya. Kamu juga harus jaga kesehatan,"  ujar Ratu dengan penuh perhatian.

"Ibu gak usah khawatir soal itu. Arga pasti ingat. Arga pamit dulu ya, Bu. Assalamualaikum." Arga menyalami tangan Ratu, lalu berlalu pergi meninggalkan Ratu.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati kalau di jalan."

"Iya ibu," jawab Arga.

Ratu tidak mengagap Arga seperti menantunya, dia sudah mengagap Arga seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sudah mengenal Arga semenjak umur 10 tahun. Saat itu keluarga Arga mengalami kecelakaan mobil tunggal, yang membuat mobil keluarga Arga masuk ke dalam jurang yang lumayan tinggi. Rayn dan keluarganya yang baru saja pulang dari Bogor, melihat langsung kejadian tragis itu. Bagaimana mobil keluarga Arga jatuh ke dalam jurang. Rayn pun langsung memeriksa ke bawah jurang itu dan apakah ada orang yang selamat. Rayn melihat Arga yang dilindungi oleh ibu dan kakak laki-laki Arga. Dia langsung membuka pintu mobil itu dengan paksa dan mengeluarkan Arga terlebih dahulu. Rayn juga berniat akan menyelamatkan keluarga Arga lainnya, tapi tiba-tiba percikan api keluar dan membuat mobil meledak. Setelah kejadian itu, Arga diasuh oleh neneknya yang sudah tua. Rayn pun mengirimkan uang setiap bulannya, dan membiayai pendidikan Arga hingga sekarang sudah menjadi seorang Dokter. Setelah 12 tahun kemudian, nenek Arga menghembuskan nafas terakhirnya. Beberapa minggu kemudian, Arga disuruh menjaga tiga anaknya dan pernikahan pun terjadi setelah itu.

Bersambung...

SMA Kehakiman {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang