Part 47

53 6 0
                                    

•••••
Arga tengah mengobati kaki Finza yang terluka karena pecahan kaca tadi, dengan perlahan-lahan dia membersihkan luka istrinya dengan tisu yang sudah diberi air alkohol.

"Kak, pelan-pelan dong. Sakit!" lirih Finza sambil menggigit bibir bawahnya.

"Kalau berkelahi gak sakit?" tanya Arga menatap Finza dengan tatapan tajam.

"Yang mulai itu mereka, bukan kita. Kalau kakak diposisi seperti itu, kakak bakal lakuin yang sama," jawab Finza dengan memanyunkan bibirnya.

"Huft!" Arga hanya bisa menghela nafas kasarnya. Inilah resiko jadi suami dari istri yang jago berkelahi, dan Arga harus sabar menghadapi sifat istrinya itu. Karena Arga percaya, suatu hari nanti istrinya akan berubah dari sifatnya ini.

"Udah siap," ucap Arga yang sudah selesai membaluti kaki istrinya dengan perban.

"Sayang bolos sekolah tadi, ya?" tanya Arga sambil memasukkan kembali alat yang dia pakai tadi ke dalam kotak P3K dan kembali menutupnya.

"Mana mungkin aku biarkan kakak Findo pergi sendirian. Aku sebagai saudaranya harus menghiburnya. Emang kakak gak pernah patah hati?" jawab Finza yang balik bertanya.

"Pernah," jawab Arga menutup lemari obat, lalu berjalan menghampiri yang ada di ranjangnya.

"Pasti sakit, 'kan? Kayak gitu juga perasaan kak Findo. Apalagi itu cinta pertamanya," ujar Finza yang ikut sedih.

"Sayang tau gak, kenapa kakak patah hati?" tanya Arga duduk di samping istrinya.

"Kenapa?" jawab Finza yang balik bertanya.

"Masih ingat dengan waktu kakak gak bisa ke sekolah. Sayang ngambek, lalu pegang lengan cowok depan kakak. Sakitnya itu luar biasa," jelas Arga.

"Aku yang lebih sakit seharusnya. Membayangkan kakak satu rumah sakit dengan wanita yang bernama, Dilla. Hiks ... harusnya aku yang di sana ...."

"Sayang ini gimana, kok malah nyanyi?"

"Liriknya pas sama penderitaanku, Kak," jawab Finza tertawa kecil.

"Haduh ... mungkin kakak bisa juga berfikir seperti itu. Saat membayangkan cowok tampan di sekolah sayang, tapi kakak percaya sama sayang. Kalau sayang pasti bisa jaga hati untuk, Kakak," ucap Arga sambil mencubit pipi kiri Finza.

"Uwuu ... uwwu! Kok kakak makin hari makin ganteng aja?" ucap Finza sambil mencubit kedua pipi Arga dengan gemas.

"Pasti ada maunya, 'kan?" tanya Arga.

"Tau aja. Aku mau makan mie instan, kakak buatin, ya?" jawab Finza dengan memasang tampang imutnya.

"Gak baik makan mie instan sering-sering."

"Ck, baru kali ini minta mie instan," ujar Finza melepaskan tangan dari pipi Arga.

"Baiklah, Sayang. Besok gak boleh makan mie instan lagi," jawab Arga sambil menggedong Finza. Senyuman senang langsung terukir di bibir Finza.

•••••

"Fin, kamu masih marah sama aku, ya?" tanya Fendi berjalan menghampiri Findo ke ranjangnya, lalu duduk di sisi ranjang adiknya, dengan posisi membalakangi adiknya. Sedangkan Findo hanya diam tak menjawab, dia lebih suka memejamkan matanya. Dia tidak marah karena ditampar kakaknya, tapi dia kecewa karena Fendi tidak mengerti dengan perasaannya.

"Aku tau kamu belum tidur. Kamu pasti marah karena aku menamparmu tadi. Maafkan aku ... aku benar-benar menyesal," ucap Fendi yang menundukkan kepalanya ke lantai. "Seharusnya aku tau bagaimana perasaanmu saat ini. Maafkan aku!"

Findo pun bangun dari tidurnya, lalu menatap Fendi yang tampak menangis, karena rasa bersalah padanya. "Aku tidak marah kamu menamparku tadi. Aku hanya kecewa karena kamu tidak mengerti dengan perasaanku. Aku berharap kau bisa mengerti dengan perasaanku, karena kisah cintaku tidak semulus kalian berdua," ujar Findo yang tanpa sadar menitikkan air matanya.

"Sebenarnya cinta itu apa? Kenapa begitu sakit rasanya?" tambah Findo dengan memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya. Fendi langsung memeluk Findo dan mengusap-usap punggung adiknya.

"Menangislah jika itu benar-benar sakit. Aku tidak akan menertawakanmu," ucap Fendi.

"Aku sebenarnya bukan cowok yang cengeng. Hanya saja ini terlalu sakit untukku. Aku pikir cinta pertama itu indah, ternyata begitu menyakitkan untukku. Aku benar-benar benci dengan namanya cinta." Findo melepaskan apa yang dipendamnya selama ini, dia menangis dalam dekapan kakaknya. Setelah menangis beberapa menit, Findo pun kembali melepaskan pelukannya.

"Jangan bilang sama adek, kalau aku nangis. Ntar dikirain aku anak cengeng lagi," ucap Findo sambil menghapus air matanya.

"Jangan khawatir. Ini yang tau hanya kita berdua aja," jawab Fendi tersenyum.

"Makasih, kau benar-benar saudaraku yang terbaik," ucap Findo yang kembali tersenyum.

"Tidak masalah. Sekarang ayo pergi makan. Aku sudah memasakkan sesuatu untukmu," ajak Fendi bangun dari kasur.

"Ok," jawab Findo bangun dari kasur, lalu mengikuti Fendi keluar dari kamarnya. Sesampainya di dapur, Fendi melihat Arga tengah memasak, sedangkan Finza lagi asik makan cemilan.

"Adek ini gimana sih. Masak suaminya yang suruh masak. Kaka Arga 'kan capek pulang dari rumah sakit," ujar Fendi menatap Finza.

"Gak apa-apa kok, Fendi. Lagian sekali-kali kok," jawab Arga tersenyum, sambil memasukkan mienya ke dalam mangkok.

"Jangan terlalu dimanjain, Kak. Besok dia jadi kebiasaan," ujar Findo sambil duduk di kursi.

"Maaf, besok aku yang masak lagi. Aku cuma agak capek doang hari ini," ucap Finza sambil memanyunkan bibirnya.

"Gak apa-apa kok sayang. Ini mienya udah siap," jawab Arga sambil meletakkan mangkok itu di dekat Finza.

"Maaf ya, Kak," ucap Finza yang tiba-tiba menjadi murung.

"Gak apa-apa. Ayo buruan makan mienya sebelum dingin," jawab Arga sambil mengusap-usap rambut Finza.

"Maaf ya, Dek!" ucap Fendi dan Findo bersamaan. Saat melihat Finza yang tiba-tiba menjadi tidak semangat lagi karena mereka. Finza hanya membalas dengan anggukkan, lalu dia mulai memakan mienya. Mereka berempat pun mulai makan malam bersama, dengan menu yang tidak terlalu banyak dan beberapa menu dari ibunya tadi sore.

Bersambung...

SMA Kehakiman {TAMAT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang