Part 19 || Berita

89 16 2
                                    

"Cha, pulang bareng, yuk!" ajak Friden pada Charrisa yang memegang tangannya, tetapi Charrisa menepisnya dengan tegas.

Mack menghampiri Charrisa dan mereka meninggalkan Friden. "Ingat, pembunuh tetaplah pembunuh! Lo udah nabrak sahabat sendiri dan itu nggak bakalan gue maafin seumur hidup! Mending Lo jauhin sahabat Lo yang lain, karena seorang sahabat tidak pantas untuk berteman sama Lo."

Friden hanya tertunduk dan menahan sesaknya. Friden berusaha untuk pulang bersama sahabatnya, tetapi jawabannya tetap sama.

Sampai segitunya mereka nggak mau maafin gue? Arghhh, Lo bego banget si. Harusnya gue tahan cemburu gue. Lo manusia nggak ada otak, Den. - Ucap Friden marah sambil memukul tangannya ke tembok.

Sebenarnya, Charrisa tidak kuat dengan semua ini. Sebagian sisi, ia sangat menyukai Friden secara diam-diam. Apa iya, dia harus mencintai dengan orang yang telah membunuh sahabat dekatnya sendiri? Mack memang sahabat dekatnya Anneth, tetapi tidak mungkin jika dia mempunyai rasa kepada Charrisa, begitupun sebaliknya.

Apa gue buka hati aja untuk Mack dan membiarkan Friden dengan Joa? Lagian, kalau gue miliki Friden percuma juga. Joa pasti akan ngehindar dari gue, meskipun secara diam-diam.

Semua sekolah kini sepi dan Friden yang marah di depan sekolah dengan derasan air yang menimpanya. Dari kejauhan, tibalah seorang gadis yang memakai payung dan menghampirinya. Friden pun merasa ia sedang berteduh, padahal disampingnya terdapat seorang gadis yang berdiri.

"Lia, Lo ngapain disini? Mendingan Lo pergi aja karena gue seorang pembu--"

"Stop! Lo jangan kayak gitu. Lo udah minta maaf, 'kan? Jadi, Lo nggak usah kayak gini lagi. Wajar saja jika sahabatmu seperti itu, tetapi suatu saat mereka pasti akan maafin Lo." potong Lia yang sendari tadi menenangkan Friden.

"Gue nggak bisa! Gue udah ngebunuh sahabat gue sendiri karena gue cemburu soal kedekatan Charrisa dan Mack! Mending, Lo pergi aja dari sini dan nggak usah peduliin gue. Biar gue basah kuyup kayak gini dan gue bisa sakit dan nyusul Anneth ke alam sana buat nebus kesalahan gue."

Lia melepaskan payungnya dan merasakan derasnya hujan. Friden yang melihatnya pun terkejut karena ia berfikir kalau orang bodoh yang melakukan hal itu. Friden melepaskan jaketnya untuk Lia, tetapi Lia menepisnya.

"Lo ngapain bertingkah bodoh kayak gini. Kalau Lo sakit, gimana?"

Lia sungguh tidak habis pikir dengan perkataannya Friden. Justru, dia semakin mudah untuk membalikkan semua perkataannya. "Lo mikirin orang lain, tetapi Lo nggak mikirin diri sendiri. Sekarang mendingan Lo ikut ke rumah gue dan jangan bertingkah yang bodoh kayak gini. Nggak ada penolakan."

Lia membawa Friden ke rumahnya dan disana terdapat Nathan yang sedang asik menonton TV. Pintu di dobrak oleh Lia karena terlalu lama Nathan membuka pintu. Ia berteriak dan menyuruh Nathan membawa Friden untuk berganti baju sedangkan Lia pergi ke kamarnya untuk mandi.

"Nathan, Lo kok serumah sama Lia?" tanya Friden yang sudah siap dengan semuanya.

"Oh, dia itu adik gue!" ucap Nathan yang dengen cepat menjawab, tetapi suara petir menggelar.

"Hah, apa Lo bilang adik?"

"Eh, nggak ... Maksudnya, dia udah gue anggap seperti adik gue sendiri. Dia kan sahabat gue dari kecil."

A-duh! Hampir gue kethauan. - Ucap Nathan dalam hatinya.

Namun, Friden hanya beroria. Setelah semuanya siap, Lia memanggil mereka untuk makan bersama karena dirumah itu terdapat Lia dan Nathan saja.

Ternyata, Lia baik banget sama gue. Meskipun tingkahnya lebih bodoh dari gue, tetapi dia mempunyai pribadi yang unik. Sangat istimewa. - Ucap Friden yang tersenyum memandangi Lia.

"Pokoknya besok gue mau kasih kejutan buat kalian semua, kita tunggu saja. Okay?"

"Ekhemm! Bakalan wah dong semuanya," sambung Nathan yang menikmati makanannya.

Friden tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan, tetapi ia bersyukur masih ada orang yang peduli dengannya. Karena hari mulai malam, Friden pamit untuk pulang. Nathan dan Lia merayakan semuanya dan menunggu besok.

***

Khatlien yang diperjalanan tadi hanya senyum-senyum sendiri. Deven heran dengannya. Jika ia marah tetap saja dia bukan siapa-siapanya Khatlien.

"Lo ngapain senyum kek orang gila gitu. Ingat Lo kan pacar gue, jangan kayak gitu kali!"

"Inget, ya, kalau bukan karena papa Lo yang nyuruh gue buat perusahaan. Gue nggak bakal ...." ucapannya terhenti dan hampir keceplosan.

Mobilnya terhenti karena ucapan Khatlien. "Bakal apa?"

Kathlien hanya diam saja karena ia tidak tau harus bilang apa. Deven mendesak agar ia menjawab dan ketika Deven marah, ponsel Khatlien berdering. Mendengar semua penjelasannya Khatlien menyuruh Deven untuk ke rumah sekarang karena Papanya sudah tiada.

Sesampainya di rumah, Papa Khatlien sudah dimakamkan dan  ia telat pulang ke rumah. Di sisi lain, seorang pria tersenyum bahagia dengan keadaan ini. Ya, dia adalah papanya Deven karena perusahaannya akan beralih kepada dia.

Kasian juga Khatlien. Meskipun manjanya setujuh turunan, hati Deven masih ada sedikit kasihan. Ia tak rela jika harus meminta berhenti. - Kata Deven dalam hati yang merangkul Khatlien agar tetap tabah.

SPECIAL - [LOVE ANNETH] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang