Gadis itu menangis tersedu, duduk di kursi tunggu. Menunggu kedua keluarga dari dua temannya itu datang. Aqhela merasa hidupnya hancur untuk kesekian kalinya. Dika masih ditangani oleh dokter, sedangkan Andre belum sadarkan diri dan diinfus.
Ponselnya berdering, terpampang nama Bunda di sana. "Hallo, Bun?"
"Lho, kok nangis?" Hanna berseru panik saat mendapati suara Aqhela yang serak.
Tangisan Aqhela semakin menjadi-jadi. "Qhela lagi di rumah sakit, Dika kecelakaan. Andre juga pingsan."
"Ya ampun, tenang ya, Sayang. Bunda langsung ke sana." Sambungan terputus.
Aqhela terduduk lemas, ia kehabisan energi. Kepalanya sakit. "Apa yang harus aku lakuin?"
Keputusasaan itu kian menyergapnya, semua sirna. Pikirannya kalut, tentang keadaan Dika dan Andre, tentang keselamatan Bundanya. Bahkan tentang kematian Andella. Semua menggumpal jadi satu di otaknya.
Lima belas kemudian, tiga orang yang ia kenali mendekat dengan panik ke arah Aqhela yang terduduk sendirian dengan tatapan kosong.
"Qhela, ya ampun Bunda khawatir banget." Hanna langsung memeluk putrinya yang terlihat menyedihkan itu. Noda darah masih ada di pakaian Aqhela. Tak ada pikiran untuk membersihkannya.
"Terus Andre di mana?" Riani bertanya khawatir. Hanna datang bersama kedua orang tua Andre.
"Di kamar itu, Tante." Aqhela menunjuk pintu yang berada tepat di hadapannya.
Riani dan suaminya tanpa ba-bi-bu langsung bergegas masuk, meninggalkan Aqhela yang masih menunggu dokter keluar. Satu yang Aqhela syukuri bahwa Bang Ezra sang pemilik kafe sudah sudi membantu ia membawa kedua lelaki itu ke rumah sakit. Mengingat terlalu banyak mereka merepotkan Bang Ezra membuat Aqhela tak enak hati.
Seorang pria berjas menghampiri kamar tempat Dika berada, berdiri di depan sana. Lelaki itu masih terlihat muda, tentu saja dia bukan ayah Dika. Sepertinya?
Dokter keluar dari dalam sana. Aqhela langsung berdiri, menunggu penjelasan.
"Bagaimana keadaan Tuan Dika, Dok?" tanya pria itu. Aqhela pun memasang kupingnya sembari berdoa di dalam hati semoga tak ada luka yang fatal.
"Luka di kepalanya tidak terlalu serius, hanya saja lengan kirinya patah. Sebentar lagi pasien akan sadar, tidak perlu khawatir. Oh iya, jika ingin menengok cukup dua orang saja dulu ya." Setelah mengatakan itu sang dokter pergi. Aqhela langsung masuk ke sana, mendahului sang pria berjas hitam.
Ia duduk di kursi dekat brankar. Ia memegang tangan kanan Dika, sangat khawatir. "Kenapa jadi gini sih, Dik?" rutuk Aqhela, ia kembali menangis menatap lelaki dengan mata terpejam itu. Membenamkan kepalanya di samping tubuh Dika.
"Aku yang sakit kok kamu yang nangis?" Sebuah suara membuat wajah Aqhela mendongak. Dika malah tersenyum semringah.
Tangisan Aqhela semakin kencang. Wajah Dika langsung berubah panik. Apa dia salah bicara?
"Eh, kok makin kenceng nangisnya?" Dika bergerak mencoba menenangkan Aqhela. Namun, gerakannya langsung terhenti saat merasa nyeri yang sangat hebat pada lengan kirinya.
"Jangan bergerak!" seru Aqhela, ia panik. Mengembalikan posisi tidur Dika. "Lengan kamu patah."
"Ya udah, cuma patah lengan kok," ucap Dika santai. Aqhela menganga tak percaya dengan respons lelaki itu. Apakah Dika tidak berpikir bagaimana kalau ia mati? Astaga.
"Dika, jangan ngelawak deh."
Lelaki itu malah tertawa. "Kenapa? Khawatir ya."
Tentu saja Aqhela khawatir! Gadis itu cemberut, ingin sekali memukul lengan Dika yang patah itu karena berani-beraninya menggoda Aqhela disaat-saat seperti ini. Tidak tahukah ia betapa khawatirnya Aqhela?
Tatapan Dika beralih pada lelaki berjas hitam yang sedari tadi berdiri bak patung di sana. "Papa enggak dateng?"
"Tidak, Tuan."
Dika tersenyum miring. Baru kali ini Aqhela melihat ekspresi Dika yang seperti itu. Seperti ada amarah terpendam di sana. "Sepertinya walau ke pemakaman saya, dia enggak bakal datang ya?"
Aqhela mengernyit, tidak seharusnya Dika bicara seperti itu.
Lelaki berjas hitam itu menunduk lalu mendongak kembali, gestur meminta maaf. "Saya sudah mengurus biaya administrasi dan akan segera ke apotek mengambil obat."
Aqhela mendongak, ia merasakan hawa dingin di sini. "Umh ... Biar saya aja yang ngambil obatnya boleh?"
Lelaki berjas hitam itu awalnya ragu, tetapi kemudian memberikan kertas berisi resep dokter itu. Aqhela menerimanya.
"Jangan gerak ya, awas! Kalau butuh apa-apa bilang aja." Aqhela memperingati sebelum keluar dari ruangan.
Di depan sana Hanna masih setia menunggu. Ia melihat anaknya keluar dari ruangan.
"Gimana keadaan teman kamu?"
"Kelihatannya baik kok, Bun." Ya, lelaki itu sudah bisa bercanda setelah bangun dari pingsan.
"Gimana ceritanya sih bisa sampai kayak gitu?" tanya Hanna, ia sangat khawatir setelah Aqhela berlari keluar dari rumah dan tiba-tiba saja terdampar di tempat ini dengan salah satu terluka.
"Umh ... Qhela harus ke apotek dulu, Bun. Mau ngambilin obatnya Dika." Ia tak mungkin bilang bahwa sebenarnya dia yang hampir tertabrak mobil. Bisa-bisa Hanna melarangnya keluar rumah.
"Ya udah, Bunda mau lihat keadaan Andre juga."
Aqhela mengangguk. Kemudian berlalu dari sana. Ia berjalan menuju apotek. Tiba di tempat tujuan, gadis itu langsung saja menyerahkan resep dokter. Berdiri di sana menunggu obat.
Terdapat televisi yang tertempel tinggi di sana, Aqhela menonton program berita yang sedang terputar untuk mengenyahkan rasa bosan menunggu.
"Pemirsa, seorang karyawan ditemukan tewas pada jam lima sore setelah melompat dari atas gedung kantornya. Perempuan bernama Sonya ini sempat menuliskan salam perpisahan di akun media sosialnya sebelum memilih melompat dari atas gedung berlantai dua belas tempat ia bekerja."
Aqhela terbelalak, ia maju melihat lebih jelas berita yang sedang ia saksikan. Apa pendengaran dan penglihatanya salah? Itu gedung biru tempat Tante Sonya bekerja. Apa mungkin ...
"Mbak, ini obatnya." Aqhela mengabaikan apoteker yang menyodorkan obat itu.
Ia jatuh terduduk, napasnya tersengal. "Enggak! Enggak mungkin!" Ia berteriak histeris. Memegangi kepalanya, menggeleng kuat menampik segala fakta yang ia saksikan. Itu tidak mungkin terjadi! Pasti bukan Sonya yang ia kenal.
"Akhhh!" Gadis itu berteriak histeris, menangis meraung di sana. Beberapa pasang mata yang lewat melihatnya simpati.
Apoteker tadi langsung menghampiri Aqhela berusaha menenangkan. "Mbak, ada apa?"
Aqhela tak menjawab, ia masih menangis. Apa yang telah ia perbuat? Mengapa semuanya semakin keruh. Tidak mungkin Tante Sonya mengakhiri hidupnya.
Hanna yang menyusul putrinya karena sudah pergi terlalu lama itu terkejut melihat keadaan Aqhela. Ia langsung menghampiri putrinya yang menangis histeris.
"Ya ampun, Qhela. Sayang tenang." Hanna langsung memeluk Aqhela. Apa yang telah terjadi pada putrinya?
"Bun, ini enggak mungkin, 'kan?" ucap Aqhela lemah. Ia menangis pilu di dalam pelukan Hanna.
"Iya, Sayang. Enggak mungkin." Hanna tidak tahu yang dibicarakan Aqhela, ia hanya mengiyakan agar anaknya itu tenang.
Setelah lelah menangis, Aqhela melepaskan pelukan. Ia menegakkan tubuhnya. Menatap nanar ke depan.
"Om Bram!" cicitnya penuh kemarahan.
[Keep Smile 😊]
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Love : Aku atau Masa Lalumu!
Teen Fiction[Belum Revisi] [15+] PLAGIAT DILARANG MENDEKAT Sebuah cerita tentang gadis rapuh yang ingin menemukan kebahagiaannya. Berusaha mengubur kisah kelabu yang telah ditulis dalam takdirnya, ia ingin melupakan itu. Namun, seberapa kuat ia berlari sekuat...