27. Tatap Wajah

104 8 0
                                    

"Semua udah beres?" tanya Aqhela di akhiri dengan tarikan napas. Ia kehabisan napas setelah membersihkan sisa-sisa kekacauan selama Bundanya pergi.

Andre hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

Suara bel berbunyi sontak membuat gadis itu berlari kecil-kecil menuju pintu. Ia membukanya.

"Hei, Sayang." Hanna merentangkan tangan.

"Bunda." Aqhela langsung memeluk perempuan itu. Ia sangat rindu. Lalu berjalan masuk bersama. Hanna tersenyum pada Andre dan lelaki itu membalasnya dengan senyum kaku. Tidak terbiasa dengan aura hangat yang selalu dipancarkan Hanna.

"Wow, rumah bersih sekali." Perempuan itu meletakkan kopernya di samping lemari barang hiasan yang ada di ruang tengah.

"Qhela tau Bunda capek, jadi pas pulang bisa langsung istirahat," ujar Aqhela. Ia tersenyum manis, mencoba mengambil hati Bundanya. Ini sudah jam setengah delapan, padahal mereka harus segera pergi ke kafe sebelum pemiliknya berubah pikiran. Bisa-bisa rencana mereka gagal.

"Bun, umh  ... Istirahat aja ya, Qhela mau keluar sebentar sama Andre." Ia melirik Andre yang ada di sampingnya, meminta pertolongan untuk lebih menyakinkan Hanna. Namun, lelaki itu sepertinya tak peka.

"Ke mana? Bunda baru pulang lho. Enggak kangen?" Hanna cemberut.

"Ya kangen, Bun. Tap—"

"Tugas kerja kelompoknya besok deadline, Tante." Andre memotong ucapan Aqhela. Lagi-lagi alasan klasik yang sering dilontarkan anak-anak sekolahan. Menjadikan kerja kelompok kambing hitam. Aqhela menggigit bibirnya gugup, ia mulai suka berbohong pada Bundanya selama menyelidiki kasus ini.

Hanna menghela napas, lalu sejurus kemudian mengangguk. "Boleh deh, tapi jangan sampai sore ya."

Aqhela tersenyum lebar, lalu mengacungkan kedua jempolnya. Ia langsung mengambil tas selempang dan berpamitan. Kemudian menggandeng Andre dari sana. Tak sadar ia terus memegangi tangan lelaki itu.

Saat sudah keluar dari pagar Aqhela menatap lelaki itu. "Kita naik apa ke sana?" Saat itulah ia sadar masih menggenggam tangan Andre. Cepat-cepat ia melepaskannya, merasa kikuk karena tak sadar melakukan hal bodoh.

Andre tersenyum samar dan berusaha mengabaikan itu. Satu tangannya yang semula masuk ke kantong celana menunjuk mobil yang sudah terparkir rapi. Lebih tepatnya mobil Ayahnya.

Ia membukakan pintu untuk Aqhela, gadis itu malah mengedipkan mata dua kali. Cukup kaget melihat sikap manis Andre, padahal biasanya lelaki itu sangat cuek.

"Kenapa bengong?"

"Umh  ... Oh, iya." Aqhela segera masuk.

Andre menyusul masuk ke mobil, lalu melesat menjauh dari rumah menuju ke kafe. Dika sudah menerornya dari tadi, menuliskan pesan yang berisi marah-marah. Tentu saja Andre hanya membacanya tak berniat membalas.

***

Lelaki yang sedari tadi sudah menunggu dengan celemek cokelat bertuliskan nama kafe itu bertengger di tubuhnya langsung membuka pintu. Kedua orang itu masuk, dengan tak berperikemanusiaan dia melempar celemek yang seperti ia kenakan ke arah Andre. Hal itu sudah menjelaskan bahwa Dika cukup jengkel menunggu.

"Kalian dari mana aja sih?" Dika berdecak.

"Nanti aja ngobrolnya. Langsung ke posisi." Andre berlalu, mulai menurunkan  kursi yang tersusun rapi di atas meja. Sedangkan, Dika melirik jengkel ke arahnya sembari membalik tanda close ke open.

Mereka mulai melancarkan aksi.

***

Sudah lewat tiga jam dan orang yang mengantarkan CV serta ikut wawancara sudah belasan. Batang hidung mangsa yang dicari pun belum muncul, Aqhela melenguh lelah. Usahanya sia-sia saja kalau orang itu tak datang, kakinya mulai bergerak gelisah menatap pintu yang tak bergerak.

Sebotol air mineral disodorkan padanya, Aqhela mendongak. Di sana ada Andre dengan wajah berkeringat karena habis membantu orang dapur mengangkut persediaan. Aqhela dengan lemas mengambil botol itu.

"Jangan pesimis." Setelah mengatakan itu Andre berlalu. Aqhela memperhatikan punggung lelaki itu, kemudian berdecak. Walau diberi semangat oleh Andre seperti itu, tetap saja ia tak tenang.

Ting!

Lonceng berbunyi menandakan ada orang yang membuka pintu. Aqhela dengan malas mendongak, ia terbelalak. Kemudian cepat-cepat mengganti ekspresinya menjadi tersenyum. Jantungnya berdegup tak keruan, semakin dekat orang itu semakin cepat jantungnya berpacu. Ada amarah di sana, ia tersenyum dengan bibir bergetar. Hal itu sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Dika dan Andre, apa ia mampu menghadapi pembunuh Ayahnya? Namun, Aqhela mencoba menyakinkan diri. Ia bisa, masih ada jalan panjang yang mengharuskan ia menghadapi orang ini, 'kan? Anggap saja ini pembiasaan.

"Silakan duduk, Pak." Aqhela mempersilakan dengan gerakan tangan.

Orang itu menyodorkan sebuah map cokelat, Aqhela dengan sigap mengambilnya. Mungkin terlihat mencurigakan melihat gelagat Aqhela yang terlihat penasaran sekali membuka CV berisi biodata lengkap itu.

"Bisa ceritakan tentang diri Anda?" Pertanyaan sama yang ia lontarkan ke pelamar-pelamar sebelumnya. Pemilik kafe yang mengajarinya, ia belum terbiasa.

"Saya sudah punya banyak pengalaman kerja, mulai dari menjaga toko, satpam, cleaning servis, sampai pengawal pribadi. Saya bisa melakukan dan menangani apa saja, Bu. Eh, Mbak?"

Aqhela hanya tersenyum, sedikit aneh juga kalau dipanggil Bu.

"Pengawal pribadi?" Gadis itu memiringkan kepalanya.

"Mengamankan klien saya dari bahaya apapun dan tentu melakukan perintahnya," jelas orang itu.

Raut wajah Aqhela berubah mendengar itu. Ia berdehem untuk menetralkan sesuatu yang bergejolak di dalam sana. "Oke, bapak bisa menunggu panggilan selanjutnya."

"Terima kasih Mbak." Orang itu berlalu keluar dari cafe.

Aqhela menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. Seluruh tubuhnya terasa kehilangan energi, ia menjatuhkan kepalanya ke meja. Pikirannya kalut.

Dika cepat-cepat menutup cafe. Sedangkan Andre langsung menghampiri Aqhela. "Enggak apa-apa?"

Gadis itu menggeleng lemah, dia harus kuat. Ini belum seberapa. Namun, mati-matian ia berusaha menegarkan hatinya, bayangan kejadian itu kembali lagi. Aqhela memukul-mukul dadanya yang sesak, ia tidak tahan lagi.

Andre yang melihat itu langsung menahan lengan Aqhela, gadis itu meronta, tetapi tidak berdaya. Ia membiarkan tubuhnya dipeluk Andre.

Tatapannya kosong ke depan. "Itu benar-benar orangnya, Ndre. Aku mau dia diadili, aku mohon."

Satu persatu tetesan itu jatuh, ia menangis tanpa suara.

Dika tidak suka Andre memeluk Aqhela seperti itu, tetapi mau bagaimana lagi? Aqhela butuh seseorang yang bisa menenangkannya dan Dika sangat tahu Andre memiliki sifat itu.

Dika mengambil map cokelat itu, membaca CV yang ada di sana. Semua data lengkap.

"Indra Mulyanto."

Aqhela sudah cukup tenang, ia sudah bisa mengendalikan dirinya. Ia sadar tak seharusnya memeluk balik Andre, kini semuanya jadi canggung.

"Oh, ayolah! Aku jadi mau muntah lihat kadal ini sok pahlawan, lain kali kalau butuh bahu ke aku aja, Qhel," celetuk Dika.

Aqhela terkekeh sembari menyeka sisa tangisnya. Sedangkan, Andre hanya memutar bola mata malas. Lelaki yang pernah menjadi temannya itu masih kekanak-kanakan seperti dulu. Ia merebut dokumen yang ada di tangan Dika.

Dika berkacak pinggang. "Jadi, apa rencana kita selanjut?"















[Keep Smile 😊]

Second Love : Aku atau Masa Lalumu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang