38. Bunuh Diri (b)

90 7 0
                                    

Hanna menuntun Aqhela masuk ke kamarnya, setelah dipaksa pulang oleh Dika akhirnya gadis itu mau. Melihat keadaan Aqhela seperti itu membuat Hanna tidak tega.

"Tidur ya, Sayang." Hanna menarik selimut Aqhela hingga ke atas dada. Di kepalanya penuh pertanyaan, tetapi untuk saat ini harus ia tahan.

Gadis itu tak merespons apapun. Hanna mengusap kepala Aqhela lembut. "Besok kita ke psikiater ya?"

Aqhela menoleh, menatap tak suka. Ia menggeleng. Ia baik-baik saja. "Qhela enggak mau."

"Tapi ...."

"Enggak usah, Bunda," keukeh Aqhela.

Hanna pasrah, ia hanya bisa mengangguk. "Ya udah, tidur sekarang ya. Jangan banyak mikir."

Hanna beranjak dari sana, tepat saat akan melangkahkan kaki keluar Aqhela mencegat.

"Bunda!"

Hanna berbalik, mengernyit sebagai tanda bertanya.

Aqhela mengambil posisi duduk. "Waktu rumah lama kita kemalingan, sebenarnya apa yang hilang?"

Gadis itu yakin seratus persen, pasti ada sesuatu yang dicari para pencuri itu. Sama halnya dengan kejadian tadi pagi, mereka mengincar barang bukti.

Hanna menggeleng, tetapi ekspresi wajahnya mengatakan tidak demikian.

Aqhela memicingkan mata. "Bohong!"

Hanna kembali berjalan ke arahnya, duduk di samping Aqhela. Ia mengusap lembut wajah Aqhela, menghela napas berkali-kali.

"Tolong jujur sama Qhela, Bunda." Aqhela memelas.

"Se-sebenarnya, ada yang hilang." Hanna menggantung ucapannya. "Revolver."

Aqhela mengernyit. "Revolver itu pistol?" tanyanya menyakinkan diri.

Hanna mengangguk, ia tersenyum kecut. "Revolver yang sama dengan yang membuat Ayah kamu tewas."

Deg!

Jantung Aqhela seperti terhantam sesuatu yang keras. Apa maksud semua ini? Ia menghela napas berusaha mengontrol emosinya. Ia harus tetap tenang.

"Jadi?" tanyanya menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Polisi menyatakan kasus itu merupakan ...," ucap Hanna tersengal, ia tak sanggup mengatakan itu. "Bunuh diri."

Aqhela membelalak, ia menggeleng kuat. "Enggak! Bun, Ayah dibunuh. Itu jelas di depan mata aku."

Hanna memegang kedua lengan putrinya. "Tenang, Sayang."

"Tapi kenapa Bunda bilang kasusnya dilanjut ke pengadilan?" Mata Aqhela kembali berair, semua itu mengejutkannya. Semua tak bisa diterima oleh logikanya.

"Kita kekurangan bukti, Sayang." Satu bulir air mata terjun bebas dari manik Hanna.

"Aku saksinya, Bunda," tutur Aqhela lemah. Kenapa ini semakin rumit? Apakah kebenaran tak ingin sekali berpihak padanya, hingga membuat gadis itu hampir setengah gila.

"Apa kamu pikir mereka akan percaya sama seorang anak remaja tanggung kayak kamu? Mereka bakal nganggap mental kamu terguncang dan membuat imajinasi kamu sendiri tentang kematian ayah kamu, Qhela," sentak Hanna. Apa yang ia tahan selama bertahun-tahun meledak, ia juga hancur. Bahkan lebih hancur, ditambah harus tegar untuk menguatkan putrinya. Mereka tak boleh hancur bersamaan, lebih baik begitu. Ia mencoba mengikhlaskan meski Hanna tahu itu akan berat. Ia tak ingin Aqhela terluka. Hanya Aqhela yang ia punya di dunia ini.

Pipi gadis itu menganak-sungai, ia hancur sehancur-hancurnya. Ia pikir telah melangkah dua langkah ke depan, nyatanya ia terlempar jauh ke belakang. Takdir memihak orang-orang jahat itu.

Second Love : Aku atau Masa Lalumu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang