28. Ponsel Baru

104 6 0
                                    

"Minggu ini kita fokus belajar." Aqhela mengangguk, ia setuju karena minggu depan mereka akan ujian kenaikan kelas, tetapi untuk mengenyahkan atau mengalihkan pikirannya pada kasus ini ia rasa tidak mungkin. Aqhela merasa sedikit lega karena mereka mulai menemui titik terang, ia berharap kedepannya akan berjalan mulus dan keadilan untuk ayahnya juga untuk Andella dapat ditegakkan.

"Ya udah aku masuk duluan ya," ucapnya tersenyum lelah. Ia berjalan lunglai menuju pintu.

"Qhel," panggil Andre yang masih setia di depan pagar.

Aqhela menoleh. Ia berekspresi seolah berbicara 'ada apa?'

"Jangan bahas hal ini di sekolah."

Sekali lagi ia mengangguk, Aqhela tak paham mengapa Andre melarangnya membahas itu di sekolah. Mungkin saja agar tak ada yang sengaja menguping atau agar mereka tak terlihat dekat saat di sekolah? Entahlah, Aqhela lelah memikirkan itu. Ia butuh mandi untuk saat ini agar pikirannya jernih. Kepalanya sakit.

Ia berlalu masuk ke rumah. "Qhela pulang."

Ia melihat Hanna mondar-mandir dengan beberapa kertas di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang laptop. "Sayang, Bunda pinjem lampu meja belajar kamu ya? Kalau nggak dipake. Lampu punya Bunda mati," ujar Hanna. Ia masuk ke kamar Aqhela, gadis itu mengikuti.

"Iya, ambil aja, Bun." Aqhela mengambil handuknya yang tersampir di belakang pintu. "Qhela mandi dulu ya."

Hanna tersenyum, ia meletakkan kertas yang ia pegang. Kemudian mulai mengangkat lampu meja belajar itu. Namun, matanya terpaku pada sesuatu yang tergeletak di atas meja.

***

Aqhela keluar dari kamar mandi dengan perasaan segar. Ia mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Eh, Bunda ternyata masih di sini?"

Ia menuju ke depan cermin. Mulai menyisir rambut. Hanna berjalan ke arahnya.

"Biar Bunda yang sisirin ya." Hanna mengambil sisir yang ada di tangan Aqhela. Mulai menyisir rambut anak gadisnya itu.

"Enggak nyangka ternyata anak Bunda udah besar aja."

Aqhela tersenyum. Waktu berlalu begitu cepat bak hanya hitungan menit. Baru saja Hanna merasa melahirkan gadis manis itu, melihat ia untuk pertama kalinya menginjak tanah atau pertama kali menyebut 'Mama'.

"Sayang," panggil Hanna.

"Hmm?" Aqhela menatap wajah bundanya dari cermin.

"Kayaknya udah saatnya kamu kembali pegang handphone, bunda yakin kamu bisa ngelawan trauma itu." Ia mencoba menyakinkan.

Raut wajah Aqhela sangat susah ditebak. Ada perasaan takut, kesal, dan tidak mau di sana. "Kok tiba-tiba sih?"

"Bunda takut kamu kenapa-kenapa dan Bunda nggak bisa hubungin kamu, kamu mau ya? Cuma buat komunikasi sama Bunda kok," bujuk Hanna. Ia baru kepikiran sekarang tentang hal itu. Ia ingin putrinya tetap aman.

Aqhela mengembuskan napas pasrah, benar juga yang dikatakan Bundanya. Ia mungkin harus mencoba. Akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban setuju.

Hanna terlihat sangat bahagia. "Kamu mau handphone model apa? Yang model terbaru mau?"

"Yang penting bisa keluar suara, Bun."

Second Love : Aku atau Masa Lalumu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang