Satu hal yang tak pernah dibayangkan oleh Aqhela, bahwa ibunya akan mengabulkan permintaannya untuk pindah sekolah ke tempat yang sepi. Jauh dari hiruk pikuk jalanan ibu kota. Ia sangat bersemangat hingga datang sepagi ini, mata indahnya menelusuri sekeliling. Semuanya tampak asri namun tetap terlihat modern.
Ia tahu betul, ibunya begitu menyayanginya hingga tak tega melihatnya terus menangis dan teriak di tengah kebisingan. Jujur saja, Aqhela ingin jauh dari suara berisik yang mengingatkan pada masa lalunya yang kelam. Ia ingin memulai hidup baru, menata harinya yang hilang selama tiga tahun ini. Sungguh ia lelah dengan hidupnya sendiri.
"Bunda tadi bilang jemput jam berapa, ya?" gumamnya berjalan pelan menyusuri koridor. Berkali-kali ia mengembuskan napas, jemarinya mulai dingin karena gugup. Bagaimana caranya nanti memperkenalkan diri di depan teman-teman barunya?
Jangan sampai ia ditertawai karena menjadi patung di hadapan teman-temannya nanti. Tangannya meremas tali tas dengan gusar, semoga saja hari pertamanya di tempat baru ini lancar. Ia tak ingin dicap aneh seperti dulu.
Langkahnya terhenti, dia melihat seseorang yang duduk di kursi yang biasa disediakan di depan kelas. Ada dorongan untuk mendekati orang itu, Aqhela menatap sekitar. Belum ada yang datang selain mereka berdua.
Dia bukan hantu di sekolah ini, 'kan? Apa aku dekati saja ya. Mungkin aku harus berkenalan dengannya supaya punya teman baru. Batinnya bergaduh.
Langkahnya mendekati orang yang sedang terpejam sembari menyandarkan kepalanya itu pada tembok. Aqhela bingung bagaimana caranya memulai percakapan.
"H-hai," ucapnya terbata, genggamannya pada tali tas semakin mengerat.
Perlahan namun pasti, mata cowok itu terbuka. Terlihat jelas bola matanya yang berwarna almond, sangat tajam menatap seperti elang. Tak ada balasan darinya, hanya ada tatapan mengintimidasi yang ia layangkan. Aqhela sedikit takut, apa dia marah karena tidurnya telah diusik?
Aqhela mencoba tersenyum ramah, seperkian detik ekspresi cowok itu berubah lalu kembali datar seperti semula. Sungguh pengontrolan ekspresi yang bagus. Ia kembali memejamkan mata, seolah-olah tak ada orang yang berbicara padanya. Aqhela menunduk, ia berpikir telah mengganggu cowok itu.
"Maaf." Suaranya tercekat, begitu lirih dan pelan. Aqhela mengambil duduk agak jauh dari cowok itu.
Ada helaan napas berat yang Aqhela embuskan. Cowok itu sama sekali terlihat tak berdosa karena mengabaikannya. Dia tetap bergeming, sedangkan Aqhela sesekali mencuri pandang ke arahnya.
Padahal aku hanya ingin tanya, batin Aqhela.
Ia memberanikan diri untuk bertanya. Jika ada orang lain di sini Aqhela lebih memilih bertanya pada orang lain. Namun, sekolah masih sepi saat ini.
Aqhela berdiri dari duduk, menghampiri cowok itu lagi. "Boleh tanya, nggak?"
Masih tak ada jawaban, wajah damainya malah membuat Aqhela geram. Namun, ia tak berhenti sampai di situ.
"Kantor kepala sekolah di sebelah mana ya?" tanyanya kembali.
Tiba-tiba cowok itu berdiri, gerakannya yang tiba-tiba membuat Aqhela terkejut dan refleks mundur beberapa langkah. Lelaki itu berlalu begitu saja, lagi-lagi ia mengabaikan Aqhela.
"Bisu kali ya?" Ia menghibur diri, mencoba mengabaikan pengalaman buruknya di hari pertama berada di sekolah baru. Aqhela yakin hari-harinya di sekolah ini akan berjalan lancar setelah ini.
***
Pada suasana gaduh kelas, seorang guru masuk bersama gadis berseragam putih abu-abu. Ia menunduk, tak berani menatap keramaian yang ada dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Love : Aku atau Masa Lalumu!
Teen Fiction[Belum Revisi] [15+] PLAGIAT DILARANG MENDEKAT Sebuah cerita tentang gadis rapuh yang ingin menemukan kebahagiaannya. Berusaha mengubur kisah kelabu yang telah ditulis dalam takdirnya, ia ingin melupakan itu. Namun, seberapa kuat ia berlari sekuat...