26. Jebakan

106 8 0
                                    

Menatap crocs yang ia kenakan di bawah sana, sesekali mengadu kakinya karena kebosanan. Gadis itu menghela napas berkali-kali, cukup lama menunggu kedua lelaki itu bernegosiasi dengan pemilik kafe. Ia disuruh untuk menunggu saja di depan sini, harusnya kalau tahu selama ini ia ikut saja tadi.

Pintu dengan lonceng itu berdenting, Aqhela menoleh dan langsung berdiri menyambut wajah sendu kedua orang itu. Perasaannya langsung tidak enak, apakah ditolak?

"Enggak dibolehin ya?" Tubuh gadis itu mencelos.

"Boleh kok." Dika terkekeh, ia mengacak lembut puncak kepala Aqhela. Andre yang ada di sampingnya hanya bisa menatap tajam ke arah Dika. Ia juga ingin sedekat itu dengan Aqhela, tapi gengsi.

"Serius?" Aqhela tersenyum lega. Ia berjingkrak-jingkrak kegirangan.

"Tapi syaratnya aku sama Andre harus kerja paruh waktu di sini tanpa digaji." Dika melanjutkan penjelasannya.

Aqhela tersenyum, entah senyum apa. Ia merasa tak enak karena terlalu banyak merepotkan dua lelaki itu. Hatinya tidak tenang, ia takut akan ada hal buruk yang menimpa keduanya. Mengingat-ingat teror di masa lalu itu bahkan telepon-telepon berisi ancaman masih lekat di ingatan Aqhela, hal yang membuatnya trauma dengan ponsel.

"Makasih udah mau repot gara-gara aku. Aku pikir kalian enggak perlu lakuin ini," ungkapnya.

"Enggak usah dipikirkan." Kali ini Andre yang menjawab, setelah mengatakan itu ia langsung berjalan menuju sepedanya.

Dika berdehem, mencoba memecah canggung. "Yuk, pulang."

Aqhela mengekori lelaki itu menuju motornya. Ia mencuri pandang ke arah Andre yang sudah lebih dulu mengayuh sepedanya. Memperhatikan punggung itu menjauh.

Dika memasangkan helm ke kepala Aqhela. Gadis itu langsung naik ke boncengan. Tugas selanjutnya adalah menyebarkan selebaran lowongan pekerjaan posisi pramusaji di kafe yang baru saja mereka kunjungi di sekitaran kontrakan target. Dika menuntun, hanya dia yang tahu tempatnya.

Mereka melewati gang-gang sempit, sesekali harus memelankan laju kendaraan karena ada beberapa anak-anak yang berlarian kejar-kejaran atau harus berhenti karena mengalah sama kendaraan lain. Cukup jauh mereka menelusuri dan akhirnya sampai.

"Ini rumahnya?" tanya Aqhela, ia menatap kontrakan berwarna hijau muda yang terlihat kumuh. Dika membalasnya dengan anggukan, lalu membuka bagasi motornya mengeluarkan selebaran.

Ia membagikannya pada Andre dan Aqhela. Mereka langsung menempelnya di sekitaran sana. Menempelkannya dengan berjarak dan di tempat yang gampang terlihat.

Setelah semua selesai mereka kembali ke kendaraannya. Sudah cukup Sabtu sore itu menguras tenaga, Dika menghela napas lega akhirnya satu urusan selesai.

"Yuk pulang." Dika baru saja akan memasangkan helm pada Aqhela, tetapi cewek itu menolak.

"Sebaiknya aku pulang sama Andre aja deh, soalnya 'kan aku searah sama Andre," ujar Aqhela.

"Tapi aku enggak apa-apa nganterin kamu pulang."

"Kamu capek, Dik. Udah nurut, pulang, istirahat," ucap Aqhela tak ingin dibantah. Dika menghela napas, baiklah kali ini ia mengalah. Sejujurnya memang ia sedikit lelah. Namun, ia tak rela kalau Andre harus berduaan dengan Aqhela.

Dika dengan terpaksa naik ke motornya, lalu menjalankan mesin dan melesat setelah berpamitan dengan Aqhela. Ia masih saja tak bisa akur dengan Andre.

Aqhela menatap Andre, memastikan bahwa lelaki itu tak keberatan memberinya tumpangan.

"Ayo."

Gadis itu tersenyum Andre mengajaknya, ia langsung saja berdiri di bagian belakang sepeda saat Andre sudah lebih dulu naik. Lelaki itu mengayuh sepedanya menuju rumah.

Cukup jauh, hampir setengah jam mereka berjalan berduaan di atas roda. Menikmati senja yang perlahan berubah menjadi malam.

Aqhela turun dari sepeda, ia langsung berjalan menuju pintu depan. Ada satu hal yang ada di pikirannya, apakah Andre akan menginap lagi? Sebenarnya Aqhela tahu lelaki itu hanya terpaksa menjaganya karena Bundanya yang menyuruh.

Benar saja, setelah memarkirkan sepeda lelaki itu berjalan ke arah Aqhela yang sudah membuka rumah. Mereka masuk ke rumah dan langsung menguncinya, semenjak Aqhela punya rekaman penculikan itu ia begitu was-was dan tiap malam terbangun hanya untuk memastikan pintu dan jendela terkunci semua.

Gadis itu langsung berjalan menuju dapur untuk mengambil minum dan diikuti oleh Andre di belakangnya. Aqhela menyesap air minumnya, sedangkan Andre memainkan ponselnya.

Lelaki itu mendongak, menatap Aqhela yang masih menikmati minumnya. "Bunda kamu pulang besok."

Mata Aqhela membelalak dan sontak ia tersedak air. Ia terbatuk-batuk, hidungnya terasa perih. Andre ikut terkejut dan ia langsung menghampiri Aqhela, menepuk-nepuk belakang gadis itu.

Setelah dirasa tenggorokannya cukup membaik, gadis itu berkata, "Terus gimana besok dong?"

Ia langsung diserang cemas dan panik, Bundanya tidak boleh tahu apa yang sedang ia kerjakan. Bisa-bisa Hanna akan melarangnya secara tegas.

"Bisa diatur," ucap Andre dengan santai. Tetap saja Aqhela khawatir.

Ada satu hal lagi yang ia lupakan, rumah sangat berantakan dan pakaian kotornya menumpuk. Bundanya bisa ceramah tujuh hari tujuh malam kalau seperti ini. Gadis itu melewati Andre dan langsung masuk ke kamarnya. Ia mengambil keranjang besar dari dalam sana yang isinya sudah tidak muat. Ia kewalahan mengangkat keranjang pakaian kotor itu.

Andre yang melihat gadis itu kesusahan langsung mengambil alih benda itu dan membawanya ke depan mesin cuci. Aqhela langsung sigap masukkan pakaian kotor itu saat Andre sudah meletakkannya ke lantai. Dengan inisiatifnya sendiri Andre ikut membantu Aqhela memasukkannya. Namun, saat Andre akan memasukkan kain terakhir ia menyadari sesuatu yang janggal, ia mengangkat kain berbentuk segitiga itu.

Aqhela yang menyadari itu membelalakkan mata dan langsung menarik benda itu, menyembunyikannya di balik badan. Astaga, apa-apaan ini!

Andre menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, suasananya seketika menjadi canggung. Ia berdehem. "Sa-saya cuci piring."

Lelaki itu langsung berdiri dari sana tak berani melihat wajah Aqhela.

***

Setelah beres membersihkan rumah, badan yang terlalu lelah itu ternyata masih belum ingin beristirahat. Tepatnya mata mereka masih belum ingin terpejam.

Aqhela tiduran di kursi malas taman belakang rumahnya, beberapa saat kemudian Andre menyusul mengaku tak bisa memejamkan mata.

"Bintangnya cantik ya?" Pandangannya tak dapat terlepas dari sana. Langit malam itu sangat cerah.

"Iya," jawab Andre. Ia menggunakan lengannya sebagai bantalan.

Aqhela mengembuskan napas. "Makasih ya udah mau bantu cari bukti." Aqhela mengatakannya dengan tulus.

"Iya."

"Meskipun aku tahu sebenarnya kamu bantuin bukan demi aku," lanjutnya ia menoleh ke arah Andre. Lelaki itu juga menoleh dengan kening mengernyit. "Tapi pasti karena Andella, 'kan?"

Lelaki itu mengembuskan napas, ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah langit. Aqhela tersenyum, tebakannya benar. Ia sudah tahu akan hal itu, tetapi hanya ingin memastikannya. Lalu merasa sakit sendiri, padahal ia yang bertanya.

"Seberapa sayang kamu sama Andella?" Mungkin pertanyaan itu sedikit lancang. Namun, entahlah hal itu meluncur begitu saja dari mulut Aqhela.

"Sangat sayang."





















[Keep Smile 😊]

Second Love : Aku atau Masa Lalumu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang