Bagian 2 : Bocah Asing

789 110 5
                                    

Maaf banget karena dari kemarin kemarin nggak bisa update. Yang merasa digantung angkat tangan. Jadi dua minggu ini aku ada jadwal ujian praktek dan nggak bisa terlalu sering mampir ke dunia oranye. Iya, dunia nyata lagi butuh aku. So, maaf banget karena mungkin aku bakal jarang update sampai benar-benar selesai. Untuk saat ini, selamat membaca~

Mungkin Jimin memang sedang sial hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin Jimin memang sedang sial hari ini. Dia menemukan lokasi penginapan itu, tapi ternyata semua kamar telah disewakan. Sayangnya, dia juga tidak menemukan penginapan lain dengan biaya sewa yang cukup murah. Entah bagaimana Jimin harus tinggal malam ini, dia akhirnya hanya keluar dari bangunan itu dengan tubuh lunglai karena lelah dan putus asa.

Mendadak Jimin ingin menertawakan rencananya untuk mencari kakaknya sembari bekerja di kota ini. Jika sudah begini, dia malah bingung bagaimana caranya bisa bertahan hidup tanpa tempat tinggal. Jimin tidak bisa kembali secepat ini. Rasanya seperti membuang-buang waktu dan uang karena dia tidak mendapatkan apapun di sini.

Sudah gelap dan dia tidak menemukan tempat untuk menginap. Sial sekali. Apalagi mengingat angin malam berhembus kencang dan udara mulai terasa menusuk tulang. Sudah hampir pertengahan musim gugur, jadi Jimin tidak heran. "Aku harus segera menemukan tempat untuk menginap," gumamnya mencoba semangat.

Jimin melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Tidak ada waktu untuk sedih atau menyesal. Sekarang ia perlu mencari cara untuk bertahan hidup. Jihyun, salah satu adiknya di panti benar. Dia tidak bisa selamanya berada di sana dan menjadi beban. Jikapun ingin tetap tinggal di sana, Jimin harus mendapatkan beberapa lembar won untuk membantu keuangan panti sekaligus biaya hidupnya sendiri.

Mendapati lampu penyeberangan masih merah menyala, Jimin berhenti melangkah dan memperhatikan sekitar. Seisi kota tetap hidup meski malam mulai menyelimuti. Berbagai bangunan berjajar di sepanjang jalan, menampung ribuan manusia yang berlalu-lalang dan singgah. Kota yang indah dan sepertinya menyenangkan—mengingat orang-orang yang berbincang dan tertawa di mana-mana. Banyak anak muda yang berjalan bersama teman atau pasangan, para pekerja yang keluar untuk makan malam atau pulang setelah bekerja keras seharian, bahkan anak-anak yang tertawa bersama teman dan orang tua mereka. Semua orang terlihat bahagia.

"Ah..." Jimin tersentak kecil kala menemukan seorang anak berdiri di sebelahnya. Memandang lalu lalang kendaraan di depannya dengan tatapan menerawang. Tidak jelas, tapi Jimin yakin tubuhnya bergetar kecil dengan nafas lemah putus-putus. Sayangnya, tidak ada orang lain di sana. Meskipun Jimin mempertanyakan keberadaan orang tua si anak, tidak ada siapapun yang terlihat mengenalnya. Kenapa anak kecil berkeliaran sendirian di sini? Padahal Jimin yakin dia sedang sakit hanya dalam sekali lihat. Dia mungkin bisa tumbang kapan saja.

"Berhenti!" Jimin segera menariknya mundur saat anak itu melangkah maju. Mengabaikan lampu penyeberangan yang masih merah menyala, mengakibatkan sebuah mobil nyaris menghantam tubuhnya. Ia merengkuh tubuh kecil itu dengan lembut, mencoba mengabaikan degupan rusuh jantungnya karena mereka benar-benar nyaris menjadi sasaran empuk dari hantaman keras mobil. Dan Jimin baru saja membuat dirinya hampir mati.

"Kalian baik-baik saja?"

Akhirnya kalimat itu menyadarkan Jimin. Dia segera mendongak dan menemukan banyak orang mengelilinginya. Seorang laki-laki ikut berjongkok, mencoba memeriksa keadaan Jimin maupun anak itu. "Maafkan aku. Apa ada yang terluka?" Agaknya pengemudi mobil tadi.

Jimin tidak menjawab. Memilih untuk melepaskan rengkuhannya demi melihat keadaan si anak. Tapi dia harus panik lagi karena anak itu telah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Tidak mungkin Jimin terlambat menariknya, kan?

"Jungkookie!"

Seorang wanita membelah kerumunan. Jimin bahkan belum sempat menoleh saat wanita itu menjatuhkan diri di hadapannya lalu mengambil alih si anak. Di belakangnya ada seorang laki-laki yang terlihat sama panik. Raut wajah Jimin sedikit mengendur. Paling tidak ada orang yang mengenal anak itu. Melihat penampilannya, sepertinya sepasang suami istri berumur akhir tiga puluhan. Mungkin orang tua anak itu.

"Nak, kau baik-baik saja?"

Fokus Jimin teralihkan. Ia memandang laki-laki yang datang bersama si wanita. Sorot khawatirnya membuat Jimin tenang seketika. Dia baru akan membuka mulut untuk menjawab, tapi terhenti kala otaknya mendapat impuls berupa rasa sakit di bagian lengan. Agaknya laki-laki itu sadar meskipun Jimin tidak mengatakan apapun. "Kau terluka? Ayo ikut ke rumah sakit."

"Ah, tidak apa-apa. Hanya luka kecil." Jimin buru-buru berdiri. Sedikit melirik anak tadi yang masih dalam keadaan tak sadar. Mendadak dia mengingat tatapan rumit anak itu sesaat sebelum melangkah ke tengah jalan. Jimin tidak yakin, tapi apa barusan itu aksi bunuh diri? Mengingat reaksi kedua orangtuanya saat tahu kecelakaan ini, sepertinya Jimin bisa menyimpulkan bahwa itu bukan karena masalah dalam keluarga.

"Jangan begitu, nak. Kau telah menyelamatkan anakku. Izinkan aku berterimakasih."

Jimin terdiam sejenak. Laki-laki itu masih menatapnya dengan sorot rumit yang tak terbaca. Melihat mata cekung yang menghitam dan tubuh kurusnya, laki-laki itu pasti telah mengalami hari-hari sulit dalam waktu yang lama. Lantas Jimin akhirnya hanya mengangguk karena merasa terbebani oleh tatapan itu.

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang