Jimin pikir Yoongi benar-benar ada pekerjaan di Busan. Tapi sampai sekarang dia tetap diam sembari melihat anak-anak bermain. Total abai kepada Jimin yang sedari tadi bolak-balik memenuhi panggilan adik-adiknya atau Jihoon yang sedang dalam proses pendekatan dengan Jihyun. Dia juga terlihat terlalu kaku dan menakutkan untuk diajak bermain bersama anak-anak. Karena itu tidak ada yang berani mendekatinya.
Sedari tadi Jimin memilih untuk mengacuhkan laki-laki itu karena sibuk mendadak. Banyak hal yang berubah menjadi begitu berantakan jika dibandingkan dengan saat terakhir kali dilihatnya. Bibi Lee sudah cukup tua untuk bisa mengurus semuanya sendiri. Ini adalah salah satu hal yang selalu menahan Jimin agar tidak pergi dari sana kendati dia juga membutuhkan kehidupan lain untuk dirinya sendiri.
Beberapa kakaknya yang diadopsi atau sudah bekerja terkadang datang kembali dengan membawa banyak barang. Mereka juga terkadang mengirim uang agar anak-anak di sini tetap terurus. Tapi Jimin tahu jika Bibi Lee membutuhkan seseorang untuk membantunya secara langsung. Mengurus belasan anak-anak sendirian jelas bukan pekerjaan yang mudah.
Awalnya Jimin berpikir jika dia memang seharusnya tetap tinggal untuk membantu. Tapi rasa penasarannya terhadap si Min Yoongi itu berhasil membuat semua pendiriannya runtuh dalam seketika. Jimin merasa tidak memiliki 'keluarga' sebelumnya. Cerita tentang kakak kandung yang pergi saat ia masih bayi tentu menarik perhatiannya meskipun Jimin pernah sempat menyangkal. Tapi setelah kembali dan menyadari seberapa banyak hal yang tidak bisa terurus dengan baik jika dia pergi, Jimin merasa mungkin sebaiknya tidak mencoba melakukan pencarian yang bahkan terlalu sulit untuk direalisasikan.
Tapi lagi-lagi satu hal lain membuatnya tersadar. Rentetan pesan singkat yang terkirim ke ponselnya membuat Jimin ingat jika dia juga memiliki tanggungjawab lain. Jungkook itu mungkin awalnya hanya anak asing yang kebetulan ia temui saat tersesat di kota asing. Tapi untuk sekarang rasanya sangat sulit jika harus memutus hubungan yang selama ini mereka bangun meskipun dengan alasan apapun.
Jimin menoleh ke arah Jihyun yang kini sedang duduk tenang bersama Jihoon di ruang tengah. Dia tentu ingat saat malam di mana seorang wanita meletakkan anak malang itu di depan panti begitu saja. Jimin melihatnya secara langsung. Bahkan saat wanita itu menangis lalu memilih pergi setelah mengucapkan sesuatu yang tidak bisa Jimin dengar. Jika dipikir-pikir Jimin saat itu juga masih anak-anak dan tentu merasa marah saat menyaksikannya. Tapi mendengar cerita Jihoon sebelumnya, mungkin itu adalah salah satu bentuk cinta yang harus terealisasikan dengan cara yang tidak menyenangkan.
Mungkin dulu Min Yoongi juga begitu. Dia meninggalkan Jimin di tempat ini karena ia tahu jika kehidupan mereka berdua akan sulit tanpa keberadaan orang tua. Lagi pula apa yang bisa dilakukan seorang anak delapan tahun? Jika Jimin tidak ditinggalkan di sini, mungkin sekarang dia dan kakaknya sudah tidak menjadi bagian dari dunia ini. Min Yoongi itu memikirkan cara paling aman untuk membuat Jimin tetap hidup. Dia bahkan tidak ingin mengambil risiko untuk membawa Jimin—yang masih bayi—pergi ke kota yang jauh. Jika melihat keadaannya, mereka mungkin tidak memiliki kerabat di Busan, tapi mungkin ada di kota lain. Karena Min Yoongi senekat itu saat memilih pergi, mungkin dia berniat menghubungi seorang kerabat.
Tentu Jimin hanya bisa menerka-nerka apa yang dipikirkan kakaknya saat itu. Banyak hal yang tak bisa ia mengerti. Tapi bocah delapan tahun tidak mungkin memikirkan hal-hal rumit yang tak bisa Jimin bayangkan, kan? Sekarang Jimin sudah lebih dewasa dari Min Yoongi saat kakaknya itu memilih pergi. Meskipun begitu ada banyak hal yang ia takutkan saat memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Jimin tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Min Yoongi saat itu.
"Jiminie hyung, ponselnya bergetar loh."
Jimin tersentak kaget saat tiba-tiba mendengar suara seseorang yang ditujukan untuknya. Dia menunduk, memandang salah satu adiknya berdiri sembari menarik ujung pakaian yang Jimin kenakan. Mungkin berusaha menarik perhatian Jimin yang terlihat melamun sedari tadi. Lantas atensinya beralih ke arah benda persegi pipih yang bergetar dalam genggamannya. Jimin tersenyum kepada anak itu sembari mengusak rambutnya dengan pelan, mengucap terima kasih sebelum kemudian fokus kepada ponselnya. "Yeoboseyo?"
"Hyungie! Kok tidak pulang? Katanya mau menemani Kookie seharian."
Mendengar suara melengking Jungkook dari telepon membuat Jimin mau tak mau mengulas senyum. Aduh, anak ini baru ditinggal sebentar sudah cerewet. Padahal jika ditinggal bekerja tenang kok. Apa karena selama ini Jimin tidak memiliki ponsel, ya? Tahu begitu dia tidak membagi nomor ponselnya tadi. "Baru sebentar loh. Nanti hyungie pulang, kok. Tunggu, ya."
"Tidak mau! Kata eomma Kookie harus bertemu dokter yang berkacamata. Tapi Kookie tidak mau jika tidak bersama hyungie."
Ah, Jimin lupa tentang itu. Dokter berkacamata yang dimaksud Jungkook adalah psikiater yang menangani anak itu. Seharusnya hari ini memang ada jadwal konsultasi. Tapi karena ada banyak hal yang terjadi sejak pagi, Jimin melupakan banyak hal dan berakhir seperti ini. Jadwalnya masih lima jam lagi, sih. Tapi jarak Busan ke Seoul itu kan jauh. Masa Jimin harus pergi sekarang juga? Tapi jika tidak kembali tepat waktu Jungkook pasti mengamuk nanti. "Ya sudah, hyungie pulang sekarang." pasrah Jimin akhirnya. Salahnya juga karena melanggar janji tentang menemani anak itu seharian ini.
Jimin bisa mendengar Jungkook bersorak di ujung telepon. Anak itu bahkan berteriak memanggil Bibi Jeon untuk mengatakan jika Jimin akan pulang. Setelah mengatakan, "Jangan lama-lama loh. Nanti Kookie marah." anak itu langsung mematikan telepon tanpa membiarkan Jimin menjawab terlebih dahulu. Sukses membuat pemuda tujuh belas tahun itu menghela nafas dengan senyum tipis di wajah. Ada-ada saja anak itu.
"Sudah mau pulang?"
Jimin nyaris saja menjatuhkan ponsel yang ia pegang saat tiba-tiba mendengar suara di belakangnya. "Astaga, Suga hyung! Bisa tidak jangan mengagetkan begitu?" omelnya saat melihat laki-laki itu berdiri diam di belakangnya tanpa ekspresi bersalah sama sekali. Baru saja memiliki ponsel, masa Jimin harus rela benda itu hancur karena tidak sengaja menjatuhkannya?
Meskipun Jimin sudah memelototi laki-laki itu untuk mengisyaratkan seberapa kesal dirinya, Suga hanya diam tanpa memberikan respon berarti. Sepertinya laki-laki itu memang tidak merasa bersalah sama sekali. "Ayo pulang. Kau mau berpamitan kepada anak-anak? Kutunggu di mobil."
Jimin mengernyit bingung. Rasanya dia tidak salah dengar atau berhalusinasi saat mendengar Suga mengatakan sedang ada urusan di sekitar sini. Laki-laki itu bahkan belum bergerak dari bangunan ini sejak sampai, tapi tiba-tiba mengatakan pulang dengan sebegitu entengnya. "Katanya hyung ada urusan di sekitar sini. Kok pulang?" tanyanya memastikan.
"Tidak jadi. Malas."
Mana bisa begitu! Jimin ingin sekali berteriak di depan wajah laki-laki itu jika tidak ingat seberapa menyeramkannya Suga saat kesal. Ya sudah lah. Lagi pula Jimin sedang membutuhkan tumpangan.
"Jimin-ah."
Jimin sudah berniat untuk berpamitan kepada Bibi Lee saat Suga tiba-tiba memanggilnya lagi. Laki-laki itu sudah berada dua langkah di depannya, berdiri memunggungi Jimin dan nampaknya tidak ada niat untuk berbalik. "Aku melihat foto di dompetmu. Apa itu kakakmu? Min Yoongi?"
"Eoh? Ya, aku hanya memiliki foto itu." jawab Jimin tanpa berpikir. Dia memang hanya menyimpan satu foto di dalam dompet. Bahkan mungkin memang hanya itu satu-satunya foto yang ia miliki. Sebenarnya agak aneh karena Suga tiba-tiba menanyakan hal semacam itu. Tapi belum sempat Jimin bertanya, Suga sudah melangkah kembali dan meninggalkan Jimin yang masih bingung di sana.
Dasar aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...