"Park Hyesung?"
Nama yang asing. Jimin sama sekali tidak mengenal seseorang dengan nama itu. Tapi Bibi Jeon mengatakannya seolah-olah dia yakin sekali bahwa Jimin dan orang yang baru saja ia sebutkan itu memang memiliki hubungan. Mata indah itu seolah menyorot dengan berbagai perasaan. Terkejut, senang, menyesal. Entah apa yang terjadi antara wanita itu dan orang yang namanya disebutkan barusan.
Melihat bagaimana reaksi Bibi Jeon saat melihat foto Min Yoongi, sepertinya dia mengenal anak itu dulunya. Entah atas hubungan apa, tapi Bibi Jeon pasti sempat akrab dengan Min Yoongi itu. Lantas orang yang baru saja disebut sebagai ayahnya... apa itu benar? Lantas kenapa laki-laki itu tidak mencarinya atau apa? "Bibi mengenal Yoongi hyung?"
"Nak, aku adik dari ayahmu."
Adik? Ayah? Jimin tidak mengerti.
***
Sepertinya datang pagi-pagi buta ke cafe milik Namjoon telah menjadi hobi baru Suga. Setelah mengendap-endap pergi sebelum Jay bangun—meskipun nanti kakaknya itu pasti akan berubah menjadi makhluk jahat bertanduk jika sampai sadar—Suga menunggu diam di halte bus dekat rumah untuk menuju ke bangunan ini. Memilih untuk meninggalkan kunci mobil beserta kendaraan roda empat miliknya itu karena yakin jika Jay akan langsung sadar jika mendengar suara mesin menyala.
Jadi di sini Suga sekarang. Berjalan dengan tenang menyusuri area pejalan kaki, meninggalkan halte yang hanya berjarak dua puluh meter dari cafe. Dia bisa melihat sepeda Jihoon terparkir apik di halaman samping bangunan. Artinya dia tidak harus menunggu sampai bangunan ini tidak terkunci lagi untuk bisa masuk.
Suara dentingan bel pintu terdengar riuh akibat suasana yang masih lengang. Agaknya itu berhasil menarik atensi Jihoon yang langsung melongok dari pintu dapur untuk melihatnya. Berbeda dengan respon yang biasa ia dapat, ternyata pemuda tujuh belas tahun itu langsung keluar dan menghampiri Suga. "Hyung sudah sembuh?" Ah, ternyata kabarnya tersebar sampai sini.
Suga hanya mengangguk sebagai respon. Masih sibuk meneliti isi bangunan sebelum kemudian menatap Jihoon yang masih berdiri diam di sana. "Jimin belum datang, ya?" tanyanya memastikan. Biasanya anak itu akan datang pagi-pagi begini, tapi ternyata tidak ada. Sepanjang perjalanan di bus tadi juga dia tidak melihat Jimin berjalan atau apa.
"Entahlah. Kurasa Jungkookie rewel lagi. Jimin tidak akan bisa pergi jika anak itu terus menghalanginya." jawab Jihoon sembari melepas apron yang terpasang apik di tubuhnya. "Ngomong-ngomong terima kasih, hyung. Aku lupa mengucapkannya saat itu. Padahal hyung sudah mengantarku bertemu Jihyun."
"Jihyun?"
"Dia adikku. Hyung tidak sadar aku datang ke panti bersama Jimin untuk bertemu Jihyun, ya?" Jihoon hanya bisa menghela nafas kala mendapati Suga menggeleng pelan dengan dahi berlipat. Aneh sekali, pikirnya. Padahal Suga jelas memperhatikan mereka, bahkan tinggal sampai Jimin benar-benar meninggalkan panti. Bagaimana mungkin Suga tidak sadar jika Jihoon sedang berusaha keras melakukan pendekatan dengan Jihyun saat itu.
Jadi karena Jihoon pikir ini harus diperjelas—sekalian pamer karena berhasil menemukan adiknya—dia menoleh ke arah dapur dan berteriak memanggil sang adik. Hanya butuh beberapa sekon hingga seorang bocah setinggi pinggangnya muncul dari balik pintu. Menatap Jihoon sebentar sebelum kemudian melirik Suga—yang sedang menatapnya seolah ingin mencari keributan—tak kalah tajam. Diam-diam Jihoon mendengus. Adiknya lebih mirip dengan Suga jika begini.
"Nah, hyung. Ini adikku, Park Jihyun." Jihoon bersuara, memandang Suga yang nampak tak tertarik sebelum kemudian menoleh ke arah sang adik. "Jihyun-ah, beri salam kepada Suga hyung."
Agaknya bocah delapan tahun itu enggan menanggapi karena tampang Suga yang tak bersahabat sama sekali. Namun kendati demikian, dia tetap membungkuk singkat sembari memperkenalkan diri karena Jihoon nampak menantinya mengatakan sesuatu. Jika begitu kan Jihyun jadi tidak tega jika harus mengacuhkan kakaknya begitu saja.
"Hyung masih mengonsumsi obat, kan? Mau kubuatkan teh?" Karena sadar jika suasana tidak terlalu menyenangkan, Jihoon segera mengalihkan pembicaraan. Dia bahkan sudah berdiri, memakai apron kembali sembari menunggu jawaban dari tawarannya. Lantas setelah mendapati Suga mengangguk samar, Jihoon segera menuntun adiknya untuk kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan.
Baru saja Jihoon dan adiknya menghilang di balik pintu dapur, suara bel pintu berbunyi nyaring. Sukses menarik perhatian Suga yang langsung menoleh begitu sadar. Matanya segera menangkap presensi remaja yang sedari tadi ditunggu-tunggunya memasuki cafe. Tersenyum kala kedua mata sipit itu bertemu tatap sebelum kemudian berjalan menghampiri Suga yang masih duduk tenang di tempatnya. "Hyung sudah sembuh? Ini masih terlalu pagi untuk berkeliaran di luar."
"Gwenchana."
Jimin mengangguk singkat meski nampaknya agak ragu karena masih menangkap pias pucat berlebih di wajah yang lebih tua. Tapi jika Suga bilang tidak apa-apa, Jimin tidak mungkin membantahnya. Justru seharusnya dia merasa senang, kan? "Aku bertemu dengan Namjoon hyung dan Hoseok hyung di rumah sakit. Katanya Suga hyung kelelahan sampai pingsan di studio, ya? Lain kali jangan memaksakan diri, hyung. Bagaimana kalau nanti sakit lagi?"
Lagi-lagi Suga hanya mengangguk, tak bermaksud mengeluarkan suara untuk menanggapi ucapan Jimin. Karenanya remaja tujuh belas tahun itu hanya tersenyum tipis. Memeriksa jam yang tergantung pada dinding ruangan sebelum kemudian mengembalikan seluruh atensinya kepada yang lebih tua. "Kalau begitu aku pergi ya, hyung. Aku harus membantu Jihoon." Bibirnya kembali mengulas senyum. Memberi afeksi rumit yang sepertinya akan terasa berbeda bagi Suga untuk sekarang dan selanjutnya.
"Jimin-ah."
Si pemilik nama yang sudah hampir berbalik segera berhenti setelah suara Suga memanggilnya. Dia menatap Suga dengan bingung, seolah dengan menanyakan apa yang diperlukan laki-laki itu tanpa suara. "Kau... Sudah bertemu dengan hyung-mu?"
Jimin menggeleng tanpa perlu berpikir terlebih dahulu. Jangankan bertemu, mendapat petunjuk lain saja tidak. Sepertinya ini memang tidak semudah yang ia bayangkan. Apalagi karena yang ia lakukan sekarang bukan hanya mencari Min Yoongi itu. Dia harus bekerja, mencari cara untuk bertahan hidup, lalu mengurus Jungkook yang semakin lama jadi semakin tidak ingin menjauh darinya. Itu jelas menyita banyak waktu. "Kenapa bertanya begitu, hyung?"
"Tidak." Suga menjeda, menggaruk belakang kepala yang sebenarnya tidak gatal dan berpikir sejenak. "Hanya ingin tahu. Kenapa kau mencarinya setelah tujuh belas tahun?" lanjutnya.
Jimin tak langsung menjawab. Bahkan lengkungan senyum yang sedari tadi terpatri indah di wajahnya mulai pudar dengan perlahan. Sukses besar membuat Suga merasa bersalah karena sepertinya Jimin tidak menyukai pertanyaan itu. "Kenapa, ya? Aku juga tidak tahu. Tapi setelah dipikir-pikir, aku hanya ingin melihatnya sekali saja. Paling tidak memastikan bahwa Yoongi hyung sudah bahagia. Aku tidak ingin serakah dengan menuntut pengakuan darinya. Bagiku, melihat Yoongi hyung tersenyum sekali saja sudah cukup, kok."
Ah, siapapun Min Yoongi itu pasti telah menyelamatkan dunia di kehidupan sebelumnya sehingga dia diberkahi Tuhan dengan diberi adik sebaik Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...