Bagian 3 : Rumah Asing

746 113 4
                                    

"Sekali lagi, maaf atas kejadian ini."

Meski kalimat itu terasa sudah seperti disuarakan ratusan kali, Jimin masih mendapati si pengemudi mengucapnya sekali lagi. Dengan tubuh yang membungkuk dalam dan terlihat luar biasa tegang. Rautnya seolah tengah mengatakan bahwa dia merasa bersalah setengah mati, takut, khawatir, dan gelisah di saat bersamaan. Meski nyatanya Jimin merasa ini bukan salah si pengemudi, dia sama sekali tak mengatakan apa-apa. Hanya memperhatikan interaksi canggung itu antara si pengemudi dan si orang tua dalam diam.

Jimin tidak bisa menyalahkan siapapun di sini, terlebih karena dia merasa tidak memiliki hak untuk melakukannya. Barangkali ia hanya akan duduk diam di sana untuk beberapa saat, menunggu hingga otaknya dapat memutuskan apa yang harus dilakukan setelah ini, lalu pergi. Maka dengan helaan nafas yang terdengar lemah di telinga, Jimin menyandar pada dinding koridor. Mengistirahatkan kedua kaki yang telah menuntun tubuhnya ke sana kemari seharian ini. Sayang sekali, Jimin masih harus mengkhawatirkan dirinya sendiri dari pada orang lain.

Barangkali Jimin akan meloloskan satu helaan kecil kembali, merutuki keputusan sintingnya tentang berkeliaran di kota asing tanpa bersiap dengan benar. Namun pada sepersekian sekon selanjutnya, yang ia lakukan hanya menyandarkan tubuh pada dinding putih tulang di belakangnya, memandang lorong yang mulai kosong karena larut mulai menjemput. Bagus, Jimin. Kau sukses menjadi gelandangan di hari pertamamu mencoba keluar dari cangkang.

Mendadak otaknya memutar ingatan menyedihkan tentang salah satu kakak panti yang kembali sehari setelah memutuskan untuk pergi ke kota. Orang-orang itu berkata bahwa aku lebih mirip seperti berandalan brengsek yang hobi merampok dari pada anak yatim polos yang butuh pekerjaan, begitu adunya. Jika dipikir-pikir memang tidak salah, sih. Jimin saja masih sering terkejut jika pemuda yang sekarang sudah bekerja di layanan perbaikan barang elektronik itu mendadak muncul di depan hidungnya.

Jika dipikirkan sekali lagi, Jimin tidak ingat jelas bagaimana dirinya bereaksi atas cerita itu. Mungkin hanya turut bersimpati dengan setengah tertawa lalu mengatakan beberapa kalimat hiburan. Yang jelas pemuda yang selalu ia panggil kakak itu segera berlalu untuk menyebarkan pengalaman mengerikannya kepada semua orang. Siapa yang tahu jika sekarang dia malah berada di posisi yang sempat ditertawakannya itu. Miris sekali hidupmu, Park Jimin.

"Meskipun hanya sebulan, tapi bibi tahu jika kakakmu adalah anak yang baik."

Mendengus kecil, barangkali Jimin mulai berpikir bahwa ia  tak seharusnya terpengaruh oleh ucapan Bibi Lee dan adik-adiknya. Juga seharusnya ia bisa menekan rasa penasaran yang entah sejak kapan mulai merangsek dan menyabotase kewarasan. Jika begitu, mungkin sekarang dia sedang menggiring kumpulan anak-anak panti untuk masuk ke dalam kamar lalu tidur dan bukan terdampar di sini seperti paus yang tertinggal kawanannya.

Mungkin besok dia benar-benar akan kembali ke Busan jika tidak bisa mendapatkan pekerjaan atau tempat tinggal. Otaknya sudah memikirkan ide cerdik untuk memanfaatkan koneksi kakak panti jika memang ingin kembali ke kota ini. Maksudnya—hei, KKN tidak terdengar terlalu buruk untuknya saat ini. Tentu itu jauh lebih baik dari pada hidup sebagai gelandangan dan mati begitu saja di tempat yang tidak dikenal atau menjadi beban bagi Bibi Lee dan panti selamanya. Oke, Jimin. Ide bagus.

"Kau baik-baik saja?"

Tersentak kecil dengan jantung yang mendadak bertalu kelewat semangat, barangkali Jimin akan refleks mengepalkan tangan dan menghantam apapun yang ada dalam radius dua meter jika tidak mendapati wajah si pengemudi di depan hidungnya. Menatap dengan binar sok peduli yang entah kenapa terlihat tulus. Mungkin rasa bersalahnya juga bukan sandiwara kolot memuakkan karena dia bahkan masih berada di sini untuk sesuatu yang bukan benar-benar kesalahannya.

Tapi mendadak Jimin lebih tertarik untuk terpaku sejenak, meneliti wajah familiar di depannya itu dalam diam. Memaksa otaknya bekerja dengan benar dan mencari sedikit saja eksistensi si pemuda dalam slot memori di sana karena demi Tuhan, di mana ia pernah melihat pemuda ini sebelumnya? Padahal sepertinya tidak pernah.

"Ada luka lain? Katakan saja."

Barangkali aksi bungkam Jimin malah mengundang kecurigaan dalam benak si pemuda, di mana hal itu membuat rasa bersalahnya bercokol semakin kuat hingga mungkin meninggalkan bekas yang mengerikan. Maka dengan segaris senyum yang nyatanya sedikit dipaksakan, Jimin mengibaskan kedua tangan, memberi gestur tidak sembari berucap, "Aku baik-baik saja."

Meski Jimin harus mengakui bahwa skill acting ampasnya tidak akan terlalu membantu, tetapi pemuda itu tetap tak mengatakan apapun dan hanya mengangguk samar. Otaknya pasti cukup cerdas untuk menangkap fakta bahwa kalimat barusan tidak dikatakan untuk ditentang. Maka, setelah mengucap permohonan maaf kepada Jimin sekali lagi dan berpamitan kepada orang tua si anak—termasuk ucapannya tentang menanggung semua biaya pengobatan sebagai bentuk pertanggungjawaban—pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit. Barangkali Jimin juga akan berhenti meratapi kesialannya dan berpamitan kepada dua orang itu jika si wanita tidak bersuara tiba-tiba.

"Kau sudah mendapatkan kamar di penginapan itu, nak?" Kalimat yang sukses membuat Jimin menaikkan satu alis dan bungkam selama beberapa sekon. Dirinya? Penginapan? "Terima kasih karena sudah menolong anak bibi. Juga untuk membantu mendapatkan tas bibi tadi sore."

Ah, bibi yang mengantar ke penginapan rupanya.

"Anu ... sebenarnya semua kamar di sana sudah disewakan."  Jimin menjawab dengan senyum kecil yang dipaksakan. Mengusap belakang kepala dengan canggung karena demi Tuhan dia sama sekali tidak sadar jika telah bertemu dengan orang yang sama tanpa direncanakan seperti ini. "Setelah ini aku akan mencari penginapan lain."

Entah jawaban Jimin memang menyedihkan atau bagaimana, wanita itu mendadak melunturkan senyum, memandang Jimin dengan tatapan sendu seolah pemuda itu akan segera mati karena penyakit kronis atau semacamnya. Yah, tidak aneh. Pemuda kampung yang terombang-ambing dalam arus gemerlap kota yang mengerikan, tidak memiliki keluarga bahkan rumah, memangnya ada yang lebih pantas dikasihani dari pada itu?

Karenanya Jimin memutuskan untuk tidak mengulur waktu atau dirinya benar-benar tidur di jalanan. Dan demi Tuhan, itu jelas bukan opsi yang menyenangkan untuk dipilih. Ah, ralat. Sejak awal Jimin bahkan tidak memiliki opsi atau semacamnya. Maka Jimin kemudian berakhir dengan mengulum segaris senyum tipis untuk yang terakhir kali sembari berucap, "Aku harus pergi sekarang, bibi."

Barangkali Jimin sudah siap untuk menuntun kakinya untuk meninggalkan tempat itu setelah membungkuk singkat kepada pasangan itu, namun terhenti kala satu panggilan merangsek masuk ke dalam indera pendengaran. "Nak," panggil wanita itu. "Kau bisa tinggal di rumah kami jika memang belum menemukan penginapan."

Ide bagus, pikir Jimin. Paling tidak dia tidak akan terserang hipotermia karena berkeliaran sepanjang malam pada pertengahan musim gugur seperti ini jika menerima tawaran tersebut. Tapi mengingat dia hanya makhluk asing di antara keduanya, pun Jimin tidak merasa telah melakukan hal spektakuler yang mewajarkan dirinya mendapat kesempatan terhormat semacam itu, mendadak senyum dan helaan leganya tertahan di tenggorokan. Itu bukan ide yang bagus, ralatnya.

"Anu, bibi—"

"Kau akan pergi ke mana setelah ini?" potong wanita tersebut. Mendadak binarnya berubah sepudar goresan tinta tanpa warna, sukses mengirim Jimin pada perasaan bimbang dan kaku di saat bersamaan. "Paling tidak tinggalah barang semalam atau dua malam sampai kau menemukan penginapan yang kau inginkan."

Itu terdengar lebih baik, sih. Tapi...

"Tempat-tempat di sini tak seaman yang terlihat, nak."

Dan nyatanya Jimin tidak bisa menyangkal fakta itu.

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang