"Jimin-ah..."
Si pemilik nama segera menoleh, terkejut karena tiba-tiba dipanggil. Tapi sedetik kemudian ia mengernyit, agaknya bingung karena seseorang yang tak pernah ia sangka akan datang malah berdiri di sana. Dengan penampilan kacau yang membuatnya terpaku seketika. Mata merah, keringat yang mengucur dari dahi, juga coat yang sepertinya dipakai dengan terburu-buru. Apapun yang terjadi sebelum ini, pasti bukan hal yang baik.
"Suga hyung, apa yang terjadi? Apa ada masalah?"
"Bodoh!" geram Suga kesal. Dia segera masuk ke dalam ruangan itu sembari menutup pintu yang sebelumnya terbuka lebar. Menghampiri Jimin yang masih duduk di atas brankar sebelum kemudian berucap, "Seharusnya aku yang mengatakan itu. Apa yang terjadi sampai kau harus berada di sini?"
Merasakan kekesalan Suga, Jimin hanya bisa meringis sembari menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal. "Hanya kelelahan-kurasa." ujarnya dengan ragu. Ia kembali memandang penampilan Suga yang sekali lagi sebelum kemudian kembali berucap, "Tapi kenapa hyung tiba-tiba ada di sini? Tidak bekerja?"
"Jimin-ah, kau oke?" Suara lain yang menginterupsi hingga membuat keduanya spontan menoleh. "Kudengar dari Bibi Jeon kau sudah terlihat sakit sejak pagi. Kenapa memaksakan diri begitu? Aku bisa memberi libur untukmu." Laki-laki jangkung yang berstatus sebagai bosnya itu kembali bersuara. Melangkah masuk sebelum kemudian berhenti di sebelah Suga.
"Ah itu..." Jimin menggumam kecil. Melirik Suga yang nampak sudah siap memberi wejangan kepadanya sesaat sebelum menampilkan senyum konyol sambil mengisyaratkan permintaan maaf. "Tadi pagi aku masih baik-baik saja, kok."
Suga mendengus, cukup keras untuk menarik perhatian dua orang lainnya. Jimin yang sudah bersiap mengatakan sesuatu yang lain untuk membela diri mendadak bungkam. Suga jadi sepuluh-tidak, seratus kali lebih mengerikan dari biasanya. Dan Jimin tahu bahwa akan lebih baik jika ia diam dan mendengarkan wejangan suci dari laki-laki itu dari pada membela diri. Setidaknya itu akan lebih baik dari pada memancing amarah Suga lebih banyak lagi.
Entah apa yang harus ia jadikan sebagai reaksi kala Suga yang sudah membuka mulut mendadak menghela nafas sebelum kemudian mengatupkan kedua belah bibirnya kembali. "Itu konyol," komentarnya. Dari tatapan yang ia terima saja Jimin sudah merasakan kemarahan dari sana.
Huhu Suga hyung mengerikan.
Mengintimidasi dengan cara seperti itu memang Suga sekali, sih. Jujur saja Jimin lebih memilih nasihat panjang dari Seokjin dari pada diam dengan tatapan setan Suga yang terus terarah kepadanya. Itu seperti tatapan si laki-laki yang lebih tua bisa membunuhnya kapan saja. Lantas meskipun Jimin sudah cukup dewasa untuk mengetahui bahwa hal seperti itu tidak akan terjadi, dia tetap tidak berani membalas tatapan laki-laki itu dan memilih untuk menunduk memandang kakinya yang tertutup selimut. Jimin tak bisa bergerak banyak karena rasanya tatapan mengerikan Suga terus mengikuti pergerakannya. Dan demi Min Yoongi yang sampai sekarang masih belum bisa ia temukan, Jimin ingin sekali terbebas dari jangkauan pandang Suga.
Memandang interaksi tak menyenangkan antara kedua orang itu, Namjoon hanya bisa menghela nafas dengan tatapan jengah. Mau sampai kapan mereka dibekukan suasana begini? Jimin beruntung karena Namjoon berada di sini dengan alasan yang tepat. "Jadi tidak parah, kan? Apa harus rawat inap?"
Agaknya Jimin bisa bernafas lebih leluasa kala mendapati Suga mengalihkan pandangan setelah Namjoon bersuara. Bibirnya mengulas senyum kecil, berusaha menghalau kesan canggung yang sempat menguasai suasana beberapa saat yang lalu. "Katanya aku bisa pulang setelah diperiksa sekali lagi." jawabnya. Lagi pula kondisinya tidak buruk mengingat ia hanya harus berbaring selama beberapa saat. Jihoon berlebihan dengan membawanya ke rumah sakit di saat dirinya tak membutuhkan bantuan alat medis apapun. Tidak ada infus, nasal canula, atau AED. Oke, sebenarnya itu sedikit menakutkan.
"Baguslah. Tapi kau harus tetap beristirahat setelah pulang. Besok tidak perlu datang ke cafe."
Sebenarnya Jimin akan segera membantah dengan mengatakan bahwa beristirahat seharian ini sudah cukup untuk memulihkan kesehatannya. Tapi melihat Suga kembali memandangnya dengan tatapan iblis, Jimin lantas hanya tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi Jimin sungguh akan mengutuk siapapun yang membuat Suga-yang biasanya baik dan bersikap manis-jadi mengerikan begini.
Agaknya setelah mendapat respon begitu Namjoon berniat mengatakan beberapa hal lain, kentara dari belah bibirnya yang terbuka sebelum kemudian mengatup lagi kala mendapati pintu ruangan didorong dari luar. Mungkin mereka akan mengira jika itu adalah dokter jika tidak melihat dua kepala kecil melongok dari sana. Mengintip keadaan di dalam ruangan sebelum kemudian menyembunyikan diri saat mendapat atensi dari tiga pemuda itu.
"Itu orang jahat, ya?"
"Mana mungkin. Hyung hyung yang di sana sering membagikan ice cream."
"Tapi kelihatannya seram."
Jimin nyaris tertawa mendengar bisikan-bisikan dari sana. Tidak cocok dibilang berbisik, sih. Dari tempatnya saja ia bisa mendengar percakapan mereka meski samar-samar. Berbeda dengan Suga yang masih konsisten dengan tampang gangsternya, Namjoon sudah tertawa kecil kala mendapati dua kepala itu melongok ke dalam lagi. "Jungkookie, kenapa bersembunyi?"
Anak itu tersentak karena aksinya ternyata berhasil diketahui oleh pemuda yang lebih tua. Ia meringis, perlahan keluar dari tempat persembunyian sembari menarik lengan si anak yang bersamanya. Mereka berdiri bersebelahan di depan pintu, berjejer sembari memandang Namjoon seolah laki-laki itu akan segera memutuskan hukuman mati segera. "Hehe halo, Namu hyung." cengirnya salah tingkah.
Namjoon tersenyum melihat tingkah bocah tetangganya itu. "Eoh?! Dengan Jihyun, ya? Kenapa kalian ada di sini?" tanyanya setelah menyadari siapa anak yang berdiri di sana bersama Jungkook.
"Menjenguk Jiminie hyung!" jawab Jungkook cepat. Anak itu terlihat jauh lebih bersemangat dari bocah yang berada di sebelahnya itu. Jimin bisa melihat matanya berkilat kala pandangan mereka bertubrukan. Tapi jujur saja ia membutuhkan kejelasan kenapa anak itu berada di sini karena seingatnya hanya Jihoon dan Jihyun yang ada di tempat kejadian tadi siang. Jihoon tidak mungkin benar-benar menghubungi Jungkook hanya karena ini, kan? Itu sih namanya mencari masalah.
Namun tak seperti Jimin, agaknya Namjoon tak berniat mempermasalahkan dari mana kabar ini berhembus sebegini hebat. Kedatangan kedua bocah ini saja sudah ganjal untuknya. "Hanya berdua saja? Di mana Jihoon?" Bukan tanpa alasan bertanya begitu. Bisa saja terjadi masalah karena membiarkan dua bocah tanpa pengawasan di rumah sakit saja.
"Hoonie hyung masih di depan dengan eomma. Karena lama, jadi kami tinggal."
Kedua pemuda yang lebih tua hanya mengangguk-angguk mengerti sementara Suga nampaknya tak berniat memberi respon berarti. Agaknya itu yang membuat Jungkook mendekat ke arah Jihyun sebelum kemudian berbisik kepada bocah itu, "Hyung yang itu seram, ya?"
Jihyun menoleh ke arah Jungkook yang masih berdiri terlalu dekat dengannya. Ia masih sempat melirik Suga-seolah memastikan bahwa pemuda itu tidak tertarik untuk mendengarkan ucapannya-sebelum kemudian membalas, "Kau tidak tahu, ya? Kata Hoonie hyung, dia penyihir yang menyamar. Jika kau nakal, nanti dia akan memasukanmu ke kuali lalu merebusmu hingga lembek seperti bubur."
Astaga anak-anak ini. Sekalinya akur, ada-ada saja kelakuannya.
"Eoh hyung? Kalian di sini?" Jihoon tiba-tiba muncul sebelum mereka merespon komentar-komentar para bocah itu untuk Suga. Seorang wanita mengekor di belakangnya, masuk ke dalam ruangan itu setelah menarik kedua bocah itu agar tidak berdiri di depan pintu.
"Sedang ada yang datang, ya." Wanita itu tersenyum ramah, menggandeng Jungkook agar masuk ke dalam ruangan demi mencegah anaknya itu berulah lagi. Pandangannya jatuh kepada Namjoon yang tersenyum di sana sebelum kemudian berakhir pada lelaki putih pucat yang berdiri di sebelahnya. "Suga, ya?"
Dan Suga hanya bisa memaksakan seulas senyum untuk membalasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfic[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...