Bagian 31 : Barang Bukti

502 84 0
                                    

"Kau harus mengakui bahwa dia adalah detektif yang hebat. Ini bahkan baru seminggu dan dia sudah membawa kabar menyenangkan untukmu."

Suga hanya mengangguk samar. Ia sibuk membagi konsentrasinya kepada setiap ucapan Hoseok dan berbagai kalimat yang dijelaskan Daehyun lewat telepon pagi tadi. Dia jelas tidak peduli pada bunyi bel pintu yang berkali-kali terdengar, apalagi obrolan tak berguna dari orang-orang di sekelilingnya. Jika boleh jujur dia tidak berminat untuk menunggu pesanan kopinya bersama Hoseok di sini. Tapi karena laki-laki itu sudah menariknya ke tempat ini, nampaknya Suga harus rela bersabar.

Ngomong-ngomong Daehyun sudah mengatakan bahwa dia akan datang siang ini, saat jam makan siang tepatnya. Mereka sudah berjanji akan bertemu di rest room yang ada di lantai tempat studio ketiganya. Karena produser yang menggunakan lantai itu hanya tinggal mereka bertiga, jadi mereka bebas menggunakannya.

Sekarang sudah pukul satu siang. Seharusnya Daehyun sudah datang. Yoongi juga sebenarnya tidak tertarik untuk membuang-buang waktu. Tapi selain karena ajakan Hoseok, dia memang membutuhkan kafein untuk membuat matanya tetap terbuka.

"Ini pesanannya, hyung."

Keduanya menoleh, memandang Jimin yang menghampiri mereka dengan dua cup kopi di tangan. "Terima kasih, Jimin-ah." Suga meraih dompetnya, berniat mengambil sebuah kartu dari sana sebelum suara Jimin menghentikannya.

"Tidak perlu. Sudah kubayar."

Suga mengernyit sementara Hoseok bertepuk heboh. "Eoh? Kau sudah mendapatkan gaji pertamamu?" tanyanya dengan senyum lebar. Sekaya apapun dirimu, barang gratis adalah yang terbaik, begitu prinsipnya.

"Sudah. Namjoon hyung memberikannya kemarin." jawab Jimin antusias. Gaji pertamanya. Hasil dari jerih payahnya selama ini. Tidak ada yang lebih membuatnya bahagia dari pada hal itu. Setidaknya sampai saat ini. "Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena selalu baik kepadaku."

"Kau yakin?" Berbeda dengan Hoseok yang dengan senang hati menerimanya, Suga malah tertarik untuk memastikan bahwa Jimin tidak terpaksa melakukannya. Jika itu Suga, dia akan menyimpannya untuk diri sendiri. Mengapresiasi kerja kerasnya saat mendapat gaji pertama itu tidak ada duanya.

"Tentu, hyung."

Hoseok tertawa kecil. Dia bahkan tanpa takut memukul main-main lengan Suga. "Kau harusnya bersyukur." Ia menoleh ke arah Jimin sebelum melanjutkan, "Kalau begitu kami pergi sekarang, ya. Terima kasih kopinya, Jimin." 

Setelah mendapat respon dari Jimin, Hoseok segera mengambil cup kopinya lalu beranjak dari sana. Dia bahkan sempat menarik Suga agar bergerak lebih cepat. Daehyun mungkin sudah datang. Meskipun Namjoon ada di sana, tidak baik membuat orang lain menunggu lama.

"Aku tidak yakin kau memiliki adik semacam itu. Kalian bertolak belakang sekali." komentar Hoseok setelah keluar dari cafe. Kata Suga, sampai semuanya jelas, Jimin tidak boleh tahu. Jika akhirnya hanya kesalahpahaman, mungkin remaja itu akan kecewa.

Suga tak merespon banyak. Hanya mengulas senyum kecil dan memandang langit sembari menunggu lampu penyeberangan berubah warna. Banyak hal yang terjadi selama ini. "Yah, aku juga tidak mengerti kenapa malah berpikir kalau Jimin adalah adikku. Padahal tidak mengingat apa-apa," balasnya.

"Aissh, kenapa kau tiba-tiba ragu begitu? Kata orang, ikatan antara saudara itu tidak akan terputus."

Kalimat itu, ya? Suga hanya bisa mendenguskan tawa saat mendengarnya. Sejak dulu hal-hal kolot semacam itu selalu ia anggap omong kosong. Siapa yang mengira jika saat ini kalimat itulah yang digunakan untuk menenangkannya.

"Sepertinya salah satu member line-up debut girlgroup baru ada yang menyukaimu." Hoseok merangkul bahu Suga, membawanya berjalan lebih cepat

"Berhenti mengatakan omong kosong."

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang