Bagian 7 : Adik

685 103 5
                                    

Aku nggak bisa update setiap hari, maaf. Ujian sekolah semakin dekat dan aku butuh waktu buat fokus ke dunia nyata. Semoga kalian paham dan mau nunggu, ya. Aku berusaha tetap update meskipun nggak sering. Seminggu sekali atau dua kali maybe. Ditunggu, ya. Untuk saat ini, selamat membaca~

Jimin kembali cukup larut karena kafe baru ditutup pukul sembilan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jimin kembali cukup larut karena kafe baru ditutup pukul sembilan. Jihoon sudah berpesan agar dia berangkat agak pagi untuk bersiap-siap. Pagi-pagi sekali mereka harus memanggang roti dan membersihkan kafe. Namjoon juga selalu mengingatkan agar menyiram tanaman secara rutin dan memberi makan ikan di akuarium dengan teratur.

Melihat pekerjaan Jihoon seharian membuat Jimin mengagumi betapa cekatan anak itu. Dia bahkan mengurus kafe yang selalu ramai itu seorang diri karena Namjoon akan meninggalkan kafe kepadanya. Dia produser yang sibuk, jadi tidak pernah berada di sana cukup lama. Lagi pula kata Jihoon, Namjoon tidak membantu sama sekali jikapun ada waktu lama di cafe. Alih-alih membantu, laki-laki itu hanya akan membuat keributan.

Karena ini adalah hari pertamanya di sana, Jihoon hanya meminta Jimin memperhatikan sambil membantu sedikit-sedikit. Dia akan benar-benar mulai bekerja besok. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Ternyata bekerja seperti ini menyenangkan. Tahu begitu sedari dulu saja dia mencari pekerjaan. Jadi Jimin bisa membantu keuangan panti.

"Aku pu-"

"Hyungie!"

Jimin sedikit terdorong ke belakang saat merasakan seseorang menubruk tubuhnya cukup kuat. Bingung tentu saja. Apalagi saat dia sadar jika yang barusan menyerangnya adalah Jungkook. Bahkan sekarang anak itu masih memeluk perut Jimin dengan erat. Perbedaan tinggi mereka begitu kentara di saat semacam ini.

Tunggu. Ini bukan bagian dari halusinasi yang dialami Jungkook, kan? Bibi Jeon bilang Junghyun seumuran dengan Jimin, bahkan proporsi tubuhnya sama. Jangan-jangan Jungkook mengira jika Jimin adalah kakaknya yang telah meninggal? Lagi pula anak ini demam tinggi tadi pagi. Kenapa tiba-tiba sudah berlarian hingga hampir membuat Jimin terjatuh begini?

"Jungkookie?"

"Um..."

Jimin melarikan tangannya untuk mengecek suhu tubuh Jungkook. Untuk saat ini dia bisa bernafas lega karena demamnya sudah turun. Dengan perlahan Jimin melepaskan tangan kecil Jungkook yang melingkari perutnya, berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan anak itu. "Masih pusing, hum?" tanyanya dengan lembut.

Jungkook menjawab pertanyaan itu dengan anggukan singkat. Karena itu Jimin tersenyum tulus lalu menggendong anak itu dengan hati-hati. "Jungkookie tidur, ya? Tidak boleh tidur lewat dari jam delapan. Arachi?" ujarnya sambil terus berjalan.

Anak itu mengangguk patuh, bahkan mulai mendusalkan kepalanya di ceruk leher Jimin. Sepertinya Jungkook memang sudah mengantuk sejak tadi. Jadi Jimin segera Mambawa anak itu ke kamar lalu menidurkannya di sana. Jimin sendiri langsung mendudukkan diri di sisi tempat tidur lalu menyelimuti Jungkook. "Tidur, ya?"

"Tidur dengan Jimin hyung."

Mendengar itu, Jimin malah terpaku sejenak. Bukan karena permintaan Jungkook. Itu sudah biasa karena Jimin memang sering menemani adik-adiknya tidur. Tapi ia pikir Jungkook hanya sedang menganggapnya sebagai Junghyun. Ternyata anak ini sadar sepenuhnya, ya? Payah sekali karena Jimin bahkan tidak sadar. Lagi pula kenapa juga Jungkook jadi manja begini kepadanya?

Sebenarnya Jimin masih ingin berpikir lebih banyak, tapi Jungkook sudah menarik-narik lengan pakaiannya dengan bibir mengerucut lucu. Anak itu benar-benar membuatnya tidak tahan untuk tidak tersenyum. "Jungkookie tidur dulu, ya? Hyung mandi sebentar." ujar Jimin karena sungguh seluruh badannya berkeringat dan lengket.

"Tidak mau."

Jimin menghela nafas panjang. Ini memang sudah larut dan tidak baik jika Jungkook masih belum tidur juga. Jadi dia segera mengangguk lalu ikut membaringkan tubuh di sebelah Jungkook. Paling tidak sampai anak itu tidur dan Jimin bisa mandi setelahnya. "Sudah, tidur sekarang." ujarnya.

Jungkook memiringkan tubuh, memandang Jimin yang tidur terlentang di sebelahnya. Benar-benar seperti Junghyun. Tapi Jungkook tahu jika itu bukan kakaknya. Jimin itu orang lain karena sosok kakaknya masih berdiri diam di belakang sana. Katanya dia berhalusinasi, Jungkook mendengar itu dan mulai memikirkan semuanya. Kenapa otaknya memaksa untuk terus melihat sosok Junghyun di dunia ini?

"Hyung..."

Jimin menoleh, bergerak sedikit untuk menghadap Jungkook yang masih memandangnya. Dengan perlahan mengusap sejumput rambut yang menutupi dahi anak itu. Bibirnya membentuk lengkungan, melukis senyum menenangkan yang entah kenapa selalu Jungkook suka. "Kenapa?" tanyanya.

"Hyunie hyung mengajakku bermain. Tapi aku ingin Jimin hyung ikut."

Senyum Jimin menghilang seketika. Gerakan konstan di puncak kepalanya juga terhenti. Jungkook yang melihat itu ikut menegang, tapi hanya sebentar karena Jimin segera menangkup wajahnya. "Dengar, Jungkookie. Ini sudah malam. Tidur, ya?" ucapnya dengan lembut, setidaknya membuat Jungkook sedikit tenang.

Dengan Jimin yang menarik selimut dan memeluknya, Jungkook berusaha memejam meskipun otaknya masih menanggapi suara-suara di belakang sana. Dia bisa merasakan usapan lembut Jimin di belakang kepala. Menenangkan meskipun sebenarnya Jungkook merasakan sentuhan lain di tubuhnya. Entah memang kenyataan atau karena otaknya sedang mencoba bermain-main.

"Jungkookie tidak ingin bermain dengan hyung?"

Jungkook memejam semakin erat. Suara yang ia dengar dari belakang sana semakin jelas terdengar. Jika begini, apa dia harus percaya jika semua yang ia dengar memang hanya pemikiran otaknya belaka? Tapi itu terdengar begitu nyata.

"Padahal hyung sudah meluangkan waktu."

Jungkook masih ingat saat dia melihat tubuh sang kakak berpelanting jauh lalu berguling beberapa kali dengan ceceran darah di mana-mana. Dia masih ingat saat tubuh kaku kakaknya dimasukan ke kotak besar lalu dikubur di tempat yang jauh. Tapi setelah itu kakaknya kembali. Jadi seharusnya Jungkook senang, kan?

Junghyun selalu mengajaknya bermain dan berjalan-jalan seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada kecuali wajahnya yang lebih pucat dan beberapa goresan mengerikan di tubuh sang kakak. Dia masih kakak yang mengagumkan bagi Jungkook. Tak peduli seberapa sering dia harus terluka karena sang kakak, Jungkook senang karena bisa bersama dengannya lagi.

"Dia siapa? Kookie lebih sayang dia daripada hyung?"

Jimin berhasil menahannya saat Jungkook bergerak untuk mengintip apa yang ada di belakangnya. Mata bulat itu memandang Jimin yang tersenyum hingga matanya menghilang. Semakin mengeratkan pelukannya sebelum kemudian berkata, "Tidur, Jungkookie."

Menenangkannya dengan cara yang tak pernah ia dapat sebelumnya.

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang