Bagian 17 : Pulang

562 96 0
                                    

Sebenarnya Jimin tidak berharap banyak ketika Jihoon meninggalkan cafe kepadanya. Paling tidak dia pasti tidak akan datang hari ini. Dari nada suara dan tingkahnya kemarin, mungkin ini lebih buruk dari yang Jimin pikirkan. Karena itu pula dia berencana datang ke cafe lebih cepat dari biasanya. Tapi yang disayangkan adalah Jungkook yang sama sekali tidak melepasnya sejak bangun tidur.

Sepertinya anak itu mengalami mimpi buruk mengingat dia terbangun sambil menangis. Jimin bahkan belum bangun saat Jungkook mengetuk pintu kamarnya lalu tidak mau lepas sama sekali sampai sekarang. Mau mengajaknya ke kafe tapi tidak tega juga. Rasanya Jimin egois sekali jika sampai melakukan itu. Tapi meninggalkan kafe begitu saja juga tidak mungkin. Jimin bingung sekali.

"Hyungie tidak bekerja?"

Sumpah meskipun Jungkook terus menanyakan itu, tapi Jimin tidak tega jika harus mengajaknya ke sana. Apalagi karena katanya semalam dia sempat demam meskipun tidak parah. Kelelahan karena aktivitas sekolah. Ngomong-ngomong iya. Dia sudah masuk sekolah dua hari yang lalu. Jimin bahkan ikut mengantarnya.

Sebenarnya pengobatan psikis Jungkook juga berjalan lancar. Hanya saja dia masih sering berhalusinasi meskipun sudah jarang menanggapi. Mungkin mimpi buruk seperti ini juga salah satu gangguan yang disebutkan oleh psikiaternya. Jimin tidak terlalu mengerti, sih.

"Jungkookie, sudah tidak sakit lagi?"

Keduanya spontan menoleh begitu mendengar suara lain di sana. Itu Seokjin. Datang lengkap dengan setelan kebanggaannya. Dia pasti akan berangkat ke rumah sakit dan mampir kemari untuk memeriksa keadaan bocah satu ini. "Tidak sakit kok. Iya kan, hyungie?" jawabnya sembari menatap Jimin untuk meminta persetujuan.

Membalas binar yang menunggu jawaban darinya, Jimin hanya mengusak surai halus Jungkook sebelum kemudian memandang Seokjin yang sudah berdiri di dekat mereka. "Sudah tidak panas sih, hyung." ujarnya kepada laki-laki dua puluh tujuh tahun itu.

Seokjin hanya mengangguk mendengar penjelasan Jimin. Dia lantas duduk di sebelah bocah itu sebelum kemudian sibuk memperhatikan wajahnya. "Jungkookie habis menangis, ya? Benar sudah tidak sakit? Kok masih menempel pada Jimin hyung terus?"

"Tidak menangis, kok." Jungkook buru-buru menyahut. Tapi dia segera mengerucutkan bibir ketika sadar Jimin memandangnya dengan tatapan yang seolah mengatakan 'Jungkookie sudah berani berbohong?' Huh, Jimin tidak mengerti. Dia kan ingin terlihat keren. "Tadi bermimpi buruk. Takut." cicitnya.

Mendengar pengakuan menggemaskan dari bocah itu, Seokjin akhirnya hanya bisa mengulas senyum. "Kan hanya mimpi. Masa Jungkookie takut dengan mimpi." ujarnya sembari mengusak surai milik si anak.

"Tapi seram, hyungie."

Seokjin tertawa kecil, sukses membuat Jungkook yang sudah kesal semakin merengut. Orang dewasa tidak pernah bisa mengerti apa yang ia pikirkan. Seokjin yang sudah bisa menebak isi pikiran anak itu sontak kembali tertawa sebelum kemudian memandang Jimin. "Sepertinya Jungkook tidak akan membiarkanmu pergi kemana-mana. Bagaimana jika aku bilang ke Namjoon jika kau izin tidak bekerja? Membawa Jungkook ke kafe bukan pilihan bagus. Dia bisa saja drop lagi."

"Tidak sakit, hyungie."

Seokjin kembali tertawa. Sepertinya dia itu memang ramah dan mudah tertawa kepada semua orang. Dia selalu meninggalkan kesan baik. "Iya, iya, tidak sakit. Tapi tidak boleh keluar dulu, ya? Istirahat dulu di rumah." ujarnya kepada bocah delapan tahun itu.

Setelah memastikan Jungkook mengangguk, Seokjin lantas memandang Jimin. Meminta jawaban atas tawarannya tadi. "Tapi, Jihoon mungkin tidak bisa bekerja juga hari ini. Kemarin dia pergi karena ibunya sakit."

"Benarkah? Apa itu parah? Aku akan mengatakannya kepada Namjoon. Gwenchana. Tutup saja kafenya untuk hari ini."

Seokjin bahkan tidak menunggunya menjawab saat mengambil ponsel lantas menelepon seseorang—yang pasti Namjoon. Sukses membuat Jungkook langsung memandangnya meminta penjelasan. Anak itu pasti bingung karena Seokjin berbicara terlalu cepat. Tapi Jimin juga tidak memiliki kalimat yang bisa menjelaskan apapun. Jadi dia hanya mengendikkan bahu sembari menikmati acara 'mari bingung saja' bersama Jungkook.

"Nah aku sudah mengatakannya kepada Namjoon. Untuk hari ini tutup saja cafe-nya." ujar Seokjin sembari memasukan ponselnya ke dalam jas. "Lagi pula kau mungkin kerepotan jika hanya sendirian. Jihoon yang sudah dua tahun bekerja saja kadang mengeluh karena terlalu lelah."

Diam-diam Jimin menyetujui ucapan Seokjin. Jika sekarang Jimin ke cafe dan bekerja seperti biasa, mungkin kejadian kemarin akan terulang lagi. Lokasi tempat itu terlalu strategis, sih. Dekat stasiun, gedung agensi, gedung teater, perpustakaan nasional, bahkan universitas ternama. Tiba-tiba Jimin penasaran berapa uang yang harus dikeluarkan Seokjin untuk membeli tempat itu.

"Ngomong-ngomong kau habis membeli ponsel?" Ucapan Seokjin sukses membuyarkan semua pemikiran Jimin. Remaja tujuh belas tahun itu menoleh, mengikuti arah pandang Seokjin dan berhenti pada benda persegi pipih yang tergeletak di atas meja.

"Ah, Suga hyung memberikannya kepadaku. Katanya sudah tidak terpakai karena dia baru saja membeli yang baru." ujarnya. Benda itu tergeletak di sana sejak semalam. Begitu pulang Jimin langsung sibuk menemani Jungkook, sih. Anak itu rewel karena sakit.

"Dia memang sering mengganti ponsel, sih." gumam Seokjin, ikut memperhatikan benda itu dengan tatapan rumit. Dia mengambil ponselnya ketika suara dentingan kecil terdengar lantas berdiri. "Aku harus berangkat sekarang. Nanti datang lagi untuk memeriksa Jungkookie. Awas jika belum sembuh juga."

"Sudah sembuh, hyungie!"

Suara tawa Seokjin masih terdengar meskipun manusianya sudah hilang setelah barusan berlari-lari kecil keluar. Jimin kembali mengusak surai milik Jungkook, mencoba menarik perhatian anak itu sebelum kemudian berucap, "Hyungie buatkan sesuatu, ya? Jungkookie tidak makan sejak semalam."

Jungkook mengangguk. Dia segera berdiri mengikuti Jimin yang kemudian menggandeng tangannya ke dapur. Tapi baru saja Jimin mendudukkan anak itu di kursi bar dapur, suara bel rumah menggema keras. Menarik perhatian keduanya untuk sekadar menoleh. "Hyungie lihat siapa yang datang, ya? Jungkookie di sini saja."

Anak itu menggeleng cepat. Kembali turun dari kursi bar lantas menggenggam tangan Jimin. "Ikut." ujarnya.

Jadi Jimin tidak memiliki pilihan lain kecuali tersenyum dan berjalan menuju pintu utama dengan Jungkook yang masih setia mengikuti. Jimin pikir mungkin itu hanya kurir paket atau tamu Bibi Jeon. Tapi begitu membuka pintu, dia segera menemukan sosok Jihoon di sana.

"Eoh? Jihoon-ah, kau sudah kembali?" Jimin membuka pintu lebih lebar. Keluar dengan Jungkook yang masih mengekor di belakangnya. "Ada apa kemari? Namjoon hyung tidak bilang jika hari ini cafe tutup?"

Jihoon menggeleng cepat. Terlalu bersemangat hingga membuat Jimin mengernyit bingung. Seingatnya Jihoon panik sekali kemarin. Tapi sekarang dia sudah tersenyum selebar itu. Apa terjadi sesuatu yang begitu menyenangkan? Seolah mengetahui kebingungan Jimin, Jihoon lantas berujar dengan nada luar biasa semangat. "Jimin-ah, aku menemukan adikku."

"Benarkah?" Jimin tidak bisa menahan senyum. Pantas saja Jihoon sebegitu semangatnya. Jika Jimin berhasil menemukan kakaknya, mungkin dia juga akan sebahagia Jihoon.

"Kau tahu? Park Jihyun. Ibuku bilang dia ada di panti yang sama denganmu." Jihoon berucap lebih semangat dari sebelumnya. Entah dia sadar atau tidak jika Jimin cukup terkejut mendengar ucapannya. "Bisa temani aku ke sana? Akan lebih cepat jika kau bisa memandu jalan."

"O-oh, tentu."

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang