Bagian 26 : Identitas Sebenarnya

551 88 2
                                    

Satu kebenaran terungkap, tapi masih banyak sekali misteri yang bercokol di otak.

Kendati Jay sudah memaksanya tidur bahkan saat jam dinding baru menunjuk pukul tujuh, nyatanya sampai tengah malam begini Suga belum juga bisa memejam. Banyak hal yang terus berseliweran tanpa henti di otaknya. Berbagai pertanyaan terus menggaung keras tanpa jawaban.

Suga menoleh, meneliti ruangan dengan interior sederhana yang telah ia tempati sejak ingatannya bermula. Tidak banyak yang berubah. Ruangan bercat putih tulang ini masih sama seperti dalam ingatan masa kecilnya. Jikapun ada yang berubah, itu hanya rak buku kecil di samping nakas dan piano coklat yang merupakan hadiah dari ibu sebelum meninggal. Ah, benar. Sudah banyak hal yang berlalu sejak saat itu. Wanita yang menyunggingkan senyum paling indah di dunia saat Suga pertama membuka mata kini sudah tidak ada di dunia. Lalu laki-laki bijaksana yang menuntunnya saat seluruh otot yang ia miliki kaku akibat terlalu lama tidur juga tidak pernah berada di rumah.

Jika dipikir-pikir sudah sangat lama. Bahkan kalau dihitung sampai sekarang mungkin sudah hampir lima tahun sejak Suga harus tinggal berdua dengan sang kakak. Selama tiga tahun sebelum dia mulai merintis karir sebagai produser, selalu Jay yang melakukan berbagai hal sendirian. Mungkin ayah tetap mengirim uang dengan jumlah lumayan setiap bulan. Tapi Suga mendadak ingat jika saat itu kakaknya hampir selalu lembur karena kantor yang dirintis sang ayah dari nol hampir mengalami kebangkrutan. Jay sudah bekerja keras selama ini.

Diam-diam Suga bersyukur karena dia tidak perlu menambah beban pikiran sang kakak karena sore tadi-tepat setelah infus yang mengalirkan cairan ke tubuhnya dilepas-dokter sudah mengizinkannya pulang. Dengan catatan harus beristirahat selama seharian penuh tanpa bekerja atau stress berlebih. Yah meskipun sekarang Suga malah tetap terjaga dengan berbagai hal yang menusuk-nusuk kepala.

Tentang identitas aslinya-jika memang benar bahwa dirinya adalah si Min Yoongi yang dicari Jimin-kenapa dia memiliki marga yang berbeda dengan sang adik? Apa yang terjadi sampai dia harus meninggalkan Jimin di panti asuhan dan malah pergi sendirian ke Seoul? Di mana orang tua mereka? Lalu kenapa Jimin baru mencarinya setelah tujuh belas tahun?

Oke, mungkin Suga bisa mengabaikan pertanyaan terakhir. Bahkan saat ini Jimin baru berusia tujuh belas tahun. Itu berarti dia benar-benar masih bayi saat Yoongi meninggalkannya. Mungkin baru-baru ini seseorang memberitahu jika Jimin memiliki kakak. Jadi dia penasaran lalu mencoba mencari tahu. Jika begitu alurnya jadi terasa masuk akal. Suga juga bisa memastikan langsung kepada Jimin nanti. Tapi untuk tiga pertanyaan sebelumnya, dia tidak yakin Jimin mengetahui jawaban yang ia inginkan.

Saat itu hanya aku yang tahu. Tapi sekarang malah tidak mengingat apapun.

***

"Jungkookie, kau bisa jatuh jika begitu."

Jimin hanya bisa menghela nafas saat Jungkook tertawa-tawa lalu kembali menghambur ke atas sofa lantas melompat-lompat sambil menonton tayangan televisi. Entah apa yang membuat anak itu senang setengah mati. Sedari tadi Jungkook tidak berhenti bergerak bahkan sampai kartun-spons kuning konyol dan teman bintang laut idiotnya-yang biasa menjadi alasan kuat untuk duduk tenang dan memperhatikan dengan serius-seolah jika dia bergerak sedikit saja, akan ada ranjau yang meledak di bawah kakinya-hampir selesai.

Jimin sendiri sedang berniat mengangkut tumpukan piring yang digunakan untuk makan malam ke dapur. Tapi melihat seberapa aktraktifnya Jungkook yang terus bergerak seolah dia adalah bintang sirkus profesional, tiba-tiba Jimin khawatir jika bocah delapan tahun itu akan mengalami patah tulang karena terjatuh atau apa.

"Jungkookie..."

Bocah itu hanya tertawa, memamerkan gigi kelincinya kepada Jimin tanpa dipungut biaya. Lantas setelah detik-detik penuh perjuangan, Jungkook berhasil dibujuk untuk diam dan mulai fokus kepada tayangan kartun di depan sana. Karenanya Jimin juga sudah berani untuk melangkah pergi

"Maaf ya, Jimin. Jungkookie jadi sering merepotkanmu." Baru saja Jimin melewati pintu antara dapur dan ruang tengah, suara bibi Jeon sudah masuk tanpa hambatan ke telinganya. Wanita itu tengah berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa alat masak yang belum sempat dibersihkan.

"Aniya. Bukankah itu memang alasan kenapa aku ada di sini? Aku senang Jungkookie baik-baik saja. Dan aku berterimakasih karena bibi mau menerimaku di sini."

Mendengar ucapan Jimin, Bibi Jeon hanya tersenyum lalu mencuci tangannya. Dia menghadap Jimin yang mulai menurunkan piring-piring kotor di wastafel. Memperhatikan betapa gesit pemuda itu melakukan berbagai hal. Dalam sekali lihat saja ia mengerti jika Jimin sudah bekerja keras selama ini. Kendati pemuda itu terus berkata jika kehidupan di panti menyenangkan, tapi dia pasti juga kesulitan.

"Jimin-ah, kenapa kau menolak permintaan kami?"

Gerakan Jimin terhenti begitu saja. Permintaan? Pasti tentang dia yang akan diadopsi oleh keluarga Jeon ini. Jimin mengerti jika mereka ingin membuang status 'orang lain' agar dia merasa lebih nyaman di sini. Tapi entah kenapa seperti ada yang menahannya, membisikan kata tidak berulang kali. "Aku merasa lebih nyaman jika tetap begini, bibi. Lagi pula aku tidak ingin menempati posisi Junghyun. Dia pasti akan sedih jika aku malah mengambil semua hal yang menjadi miliknya."

"Aniya. Dia pasti senang karena kau bisa menjaga Jungkookie untuknya." Bibi Jeon terdiam sejenak, seperti mengumpulkan keberanian sebelum berucap, "Dia bilang penyesalan terbesarnya adalah karena tidak bisa melihat Jungkookie tumbuh dewasa. Dia berharap seseorang akan menjaga Jungkookie untuknya."

Menjaga, ya? Ternyata Junghyun memang sebegitu sayang kepada Jungkook. Dia kakak yang baik. Tapi entah kenapa setiap membicarakan kakak, Jimin selalu teringat pada Min Yoongi. Kehidupannya dengan Jungkook jelas berbeda. Sangat bertolakbelakang malah. Jadi tiba-tiba Jimin berpikir, apa Min Yoongi juga akan mengatakan hal yang sama jika ternyata dia sudah meninggal? Ah, Jimin bodoh! Apa yang kau pikirkan? Membayangkannya saja sudah mengerikan, batin Jimin. "Aku akan tetap seperti ini, bibi. Lagi pula aku masih memiliki seseorang yang harus kucari."

"Ah, hyung-mu. Kau belum menemukannya?"

Jimin menggeleng lantas tersenyum tipis. Dia bahkan belum mencari cara untuk menemukannya. Orang yang Namjoon janjikan belum bisa bertemu. Pertama karena Jimin tiba-tiba membatalkannya saat harus mengantar Jihoon ke Busan. Kedua, Namjoon harus berada di rumah sakit seharian karena Suga tiba-tiba sakit. Sepertinya ini bisa saja terus diundur seperti sebelum-sebelumnya.

"Apa kau tidak memiliki petunjuk apapun?

Jimin memilih untuk meletakkan piring terakhir ke rak sebelum menjawab. Dia berbalik, memandang Bibi Jeon sembari mengambil foto si Min Yoongi itu dari sana. "Aku hanya memiliki fotonya saat berumur delapan tahun. Ibu panti ikut memotretnya saat pemotretan anak-anak di sana."

Bibi Jeon mengambil foto yang diperlihatkan oleh Jimin. Memandang sosok yang terlihat di sana dengan saksama, namun sedetik kemudian air mukanya mendadak berubah. Jimin mengernyit, merasa aneh saat Bibi Jeon menatapnya dengan mata yang tiba-tiba berkaca. Ada apa?

"Jimin-ah, jadi kau anak Park Hyesung?"

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang