Bagian 33 : Makan Malam

512 88 3
                                    

"Kau tidak bisa tidur lagi?"

Suga mengangguk singkat. Ia memutuskan untuk tidak repot-repot memandang orang yang barusan bertanya karena masih banyak yang harus ia kerjakan. Efek tidak pernah menutup mata setiap malam, otaknya jadi tidak bisa berpikir dengan benar dan pekerjaannya jadi menumpuk begini. Padahal besok ada deadline. Sepertinya ini akan jadi minggu penuh kesialan baginya.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan, sih?" Hoseok ikut meneliti lembaran kertas yang berserakan di atas tuts piano. Kumpulan lirik yang bahkan nyaris dibuang jika dia tidak berkata akan membacanya sebentar. Itu pasti hasil berpikir Suga selama dua hari belakangan. Dia sampai tidak tidur begitu, tapi hasil kerja kerasnya malah dibuang begini.

"Aku tidak tahu."

Menyedihkan. Hoseok nyaris menyuarakan itu untuk menggambarkan bagaimana keadaan Suga saat ini. Dari pada kucing—seperti bagaimana Hoseok sering menjuluki Suga—pemuda itu lebih mirip dengan panda. Dan lagi apa katanya barusan? Tidak tahu? Otaknya pasti sudah menolak untuk berfungsi dengan normal.

"Kau butuh keluar dari ruangan pengap ini." putus Hoseok akhirnya. Siapa juga yang akan tetap waras di ruangan yang nyaris tak memiliki pencahayaan normal begini. "Dan berhenti meminum kopi." lanjutnya sembari menyingkirkan tujuh cup kosong yang ditumpuk beserta satu cup yang masih penuh. Suga pasti ingin mati cepat melihat dari tingkahnya itu.

"Aku ada deadline besok." tolak Suga terang-terangan. Dia masih sibuk mencoret-coret kertasnya meskipun kemudian dibuang lagi.

Hoseok hanya bisa menghela nafas mendengar jawaban Suga. Kalaupun memang begitu keadaannya, dia tetap harus keluar dari pada gila di dalam sini. "Kau butuh inspirasi di luar." ujarnya lagi. Tentu dia juga tahu bahwa Suga tidak tertarik untuk mendengarkan alasannya membujuk pemuda itu untuk pergi. "Jimin dan Jihoon menanyakanmu karena tidak pernah datang ke cafe lagi."

Gerakan tangan Suga berhenti. Hoseok nyaris bersorak karena paling tidak rencananya mengalami sedikit kemajuan. Tapi harapannya itu pupus begitu saja saat Suga kembali fokus pada kertasnya sembari berucap, "Katakan saja aku sedang sibuk."

Sialan! Dasar kucing menyebalkan! Jika tidak ingat jika laki-laki ini adalah temannya, Hoseok pasti akan langsung mencekiknya sekarang juga. Persetan dengan hukuman pidana karena membunuh seseorang. Kesabarannya sudah habis.

"Eoh? Kalian masih di sini?"

Jika Hoseok langsung menoleh karena mendengar suara orang lain di sana, Suga malah tidak peduli dan tetap fokus pada pekerjaannya. Padahal Hoseok sudah nyaris berteriak kenapa Namjoon bisa masuk begitu saja saat Suga berkali-kali mengubah password pintu. Sepertinya kekuatan cenayang Suga menular kepada Namjoon. Tapi kenapa dia tidak mendapatkannya?

"Apa?" tanya Namjoon bingung. Siapa juga yang bisa tetap maklum saat seseorang memeloti dirinya seolah ia baru saja membunuh ibu hamil dan bayinya?

"Kenapa kau bisa masuk? Password-nya?"

Sekarang malah giliran Namjoon yang mengernyit bingung. "Kau tidak tahu? Suga selalu mengganti password setiap dua hari sekali dan dia selalu mengulangi tiga password yang pernah digunakan. Kau hanya perlu memastikan polanya." jelasnya dengan tatapan aneh. Seolah mengetahui pola password seperti yang ia katakan adalah hal yang bisa dilakukan oleh semua orang dengan mudah. Memiliki teman jenius memang tidak menyenangkan, begitu kesimpulan Hoseok.

"Jika ingin berdebat keluar saja. Aku sedang sibuk." ujar Suga sembari melempar kertas yang barusan ia gunakan ke atas tuts piano. Entah yang ke berapa, Hoseok sudah tidak bisa menghitungnya.

"Aku tidak melihatmu keluar sejak kemarin. Tidak ada orang yang mengantarkan makanan juga. Kau berniat mati sebelum memastikan hubunganmu dengan Jimin, ya?"

Melihat bagaimana Suga terpaku setelah mendengar ucapan Namjoon, diam-diam Hoseok menarik pemikirannya barusan. Teman yang jenius tidak buruk juga. Dari pada pancingannya tadi, kalimat yang digunakan Namjoon agaknya mampu mempengaruhi Suga yang nyaris tidak bisa berpikir. Meskipun agak keterlaluan juga, sih.

"Lanjutkan saja jika kau memang tidak ingin memastikan semuanya. Aku akan mengabari Daehyun—"

Belum sempat Namjoon menyelesaikan ucapannya, Suga sudah berdiri sembari meremas kertas liriknya menjadi bola sebelum kemudian melempar benda itu ke tempat sampah. Berbalik seraya menyambar coat panjang yang tergantung di sisi ruangan lalu pergi dari sana tanpa mengatakan apapun. Sukses membuat Namjoon menyeringai penuh kemenangan sebelum kemudian menyusulnya dengan diikuti Hoseok.

Karena tidak keluar dari studio—bahkan tidak sempat melirik jam yang tergantung tak berguna pada dinding ruangan—Suga tak berpikir kalau langit sudah gelap di luar sini. Dua hari bukan waktu yang lama, sih. Jangankan mati seperti ucapan Namjoon, dia bahkan tidak lapar sama sekali. Tiba-tiba Suga mengutuk diri sendiri karena bisa dipengaruhi dengan begitu mudah.

"Kalian sudah menutup cafe?"

Sebenarnya Suga tidak terlalu peduli, tapi melihat lampu bagian dalam cafe dimatikan dengan Jimin dan Jihoon—Jihyun juga sebenarnya—berada di luar, sepertinya pertanyaan Namjoon tidak perlu dijawab. Sekali lihat pun sudah jelas bahwa mereka bertiga sudah berniat untuk pulang.

"Hyung tidak ingat? Hari ini cafe tutup sebelum jam delapan." balas Jihoon dengan tatapan jengah. Diam-diam Suga memuji keberaniannya. Pegawai mana sih yang berani bersikap begitu kepada bosnya selain Jihoon? Yah mungkin ada beberapa, tapi yang Suga kenal kan hanya dia.

"Benarkah? Sepertinya ingatanku memburuk."

Jihoon berdecak pelan, seolah tak menyetujui ucapan Namjoon barusan. Jika itu Suga, dia juga tidak akan percaya. Namjoon itu hanya terlalu sibuk untuk mengingat jadwal operasional cafe. "Kau masih terlalu muda untuk menjadi pikun, hyung."

"Eiii, hati-hati dengan ucapanmu, Jihoon-ah." ujarnya dengan nada bercanda. "Baiklah, selamat beristirahat. Kami akan pergi juga.  Sampai besok." lanjutnya sembari berjalan pergi. Berucap kepada dua temannya tentang tempat makan lain yang tak jauh dari sana.

"Suga hyung!"

Bukan si pemilik nama, dua temannya yang malah merespon lebih cepat. Apalagi setelah sadar jika itu suara Jimin. Meski entah apa yang ingin Jimin katakan, tapi sepertinya Suga sedang beruntung.

"Mau makan malam denganku?"

"Ne?" Jika bisa, Hoseok ingin sekali menertawakan ekspresi terkejut Suga saat mendengar kalimat yang barusan disuarakan oleh Jimin. Tidak salah, sih. Jika dalam posisi Suga, Hoseok mungkin juga akan terkejut. Tiba-tiba sekali.

"Dulu kan hyung sering membelikanku makan siang. Anggap saja kali ini aku membalasmu." Jimin tersenyum lebar, terlihat tulus dan penuh harap. Suga sedang tidak bisa berpikir, tapi kejutan ini sungguh terlalu tiba-tiba untuknya. Tuhan pasti sedang bermaksud untuk bercanda lagi.

Karena Suga tidak juga memberikan jawaban, Namjoon segera maju lalu merangkul pundak temannya itu. Berusaha menyadarkannya agar tidak terus-terusan diam dan membuat Jimin salah paham. "Kebetulan sekali, Jimin-ah. Hanya dia yang belum makan malam. Kami sedang ada pekerjaan. Kami serahkan kepadamu, ya." ujarnya.

"Jangan pulang terlalu malam. Suhu udara malam ini sampai minus empat." tambah Hoseok sebelum kemudian pergi bersama Namjoon ke gedung agensi lagi. Meninggalkan dua pemuda yang masih diam di sana.

Jimin masih memperhatikan Namjoon dan Hoseok yang mulai menghilang dari padangan sebelum kemudian mengalihkan atensi kepada Suga yang masih diam di sana. "Ada restoran Korea yang sering dikunjungi Jungkookie di sekitar sini. Mau ke sana, hyung?" tawar Jimin.

Suga tak langsung menjawab. Dia malah sibuk memperhatikan penampilan Jimin dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sukses membuat objek pandangannya itu ikut memperhatikan penampilannya sendiri. Kupikir tidak ada yang salah, pikir Jimin.

"Kita akan membeli mantel hangat untukmu terlebih dahulu."

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang