Bagian 34 : The Last Puzzle Piece

501 88 8
                                    

Lagunya diterima tanpa harus direvisi lagi. Entah Suga beruntung atau apa, tapi itu yang terjadi siang ini. Setelah menghabiskan hampir dua jam bersama Jimin tadi malam, Suga mengantarkan remaja itu pulang lalu tidak kembali ke studio. Dia benar-benar lupa jika ada deadline dan baru ingat pagi ini. Siapa sangka lagu yang ia buat beberapa jam sebelum presentasi langsung disetujui begini. Mungkin karena tiba-tiba ada banyak ide yang terlintas di otaknya setelah organ penting itu diistirahatkan semalaman penuh. Ternyata benar kata Hoseok, dia hanya perlu beristirahat sebentar.

"Eiii, kau terlihat senang sekali pagi-pagi begini. Bagaimana tadi malam?"

Suga hanya mendengus pelan kala mendapati Namjoon dan Hoseok berdiri di depan lift yang baru saja mengantarnya sampai ke lantai ini. Tanpa berniat untuk menjawab, ia melirik jam dari ponsel lalu melewati mereka begitu saja. Ini sudah jam dua siang. Pagi apanya? Mereka tidak melihat matahari sudah setinggi itu, ya?

"Kau terlihat lebih segar sekarang. Sudah bisa tidur dengan nyenyak? Lain kali kalau kau membuat masalah, aku akan membawakan Jimin-"

BRAKK!!!

Tanpa peduli apa kelanjutan dari ucapan Hoseok barusan, Suga segera menutup pintu dengan kasar lalu mengganti password dengan angka acak yang belum pernah ia gunakan. Sialan dua orang itu. Ini masih terlalu pagi untuk memancing amarahnya.

Oke, mungkin Suga sudah lupa jika barusan ia memastikan bahwa sekarang sudah jam dua siang.

Dari pada meladeni dua orang itu, Suga masih berniat untuk mengerjakan beberapa lagu yang ia janjikan untuk seorang penyanyi solo baru-baru ini. Meski masih memiliki banyak waktu, tapi akan lebih baik berjaga-jaga agar tidak terlambat, kan?

Tapi agaknya Hoseok dan Namjoon tak berniat untuk membiarkannya tenang barang sebentar saja dengan terus menelepon saat ia enggan menanggapi. Ingin mematikan ponsel, tapi tidak bisa. Dia mungkin menerima panggilan penting hari ini. Mute juga tidak mungkin. Jika sudah sibuk dengan pekerjaan, mana sadar jika ada telepon penting. Akhirnya karena mereka tidak menyerah dan terus menelepon, Suga akhirnya menerima panggilan itu.

"Hei, jangan marah-marah dulu."

Suga yang sudah nyaris menyuarakan kekesalannya benar-benar diam setelah mendengar peringatan dari Namjoon. Helaan nafasnya terdengar. Ia lantas kembali membuka file musik yang sedang ia kerjakan sembari menunggu Namjoon bersuara lagi.

"Semalam Daehyun menghubungiku. Katanya dia menemukan saksi atas kejadian tujuh belas tahun lalu. Dia akan datang sebentar lagi."

Saksi? Dia bilang saksi? Apa itu mungkin? Menemukan saksi sama dengan mendapatkan keajaiban dari Tuhan. Setelah tujuh belas tahun, bagaimana mungkin Daehyun tiba-tiba mendapatkan saksi?

"Suga?! Kau dengar?"

"Ah, iya." Tentu Suga mendengarnya. Tapi semua itu terlalu mengejutkan untuk saat ini. Ternyata Daehyun memang sehebat yang ia dengar.

"Cepat keluar! Daehyun sudah di jalan."

Telepon dimatikan secara sepihak. Suga masih terdiam, entah apa yang sebenarnya sedang ia pikirkan. Namun sedetik kemudian-tepat saat kesadarannya kembali-Suga segera mematikan komputer lalu bergegas keluar dari studio. Menemui Hoseok dan Namjoon yang langsung menariknya ke rest room.

"Katanya ponselmu mati semalaman, jadi Daehyun menghubungiku. Dia bilang akan menjelaskan semuanya saat sampai di sini." Begitu kata Namjoon saat mereka memasuki rest room yang selalu kosong.

Suga tak menanggapi. Ia memilih untuk mendudukkan diri ke sofa kuning yang terletak di tengah ruangan. Suasana cerah dan ceria dari ruangan ini sangat kontras dengan suasana hatinya. Sangat tidak cocok digunakan untuk membahas kasus pembunuhan begini. "Entahlah. Firasatku buruk."

Hoseok dan Namjoon saling berpandangan, seolah sedang mengandalkan kekuatan telepati untuk berkomunikasi. Ucapan Suga itu sering menjadi kenyataan. Entah serius atau tidak, tapi tiba-tiba mereka berdua juga merasa akan ada hal buruk yang terjadi. Menyebalkan sekali.

Entah hal buruk apa yang dimaksud Suga, tapi rasanya yak masuk akal sekali. Seharusnya semua ini jadi lebih mudah dengan keberadaan saksi. Alih-alih sesuatu yang buruk, Namjoon yakin sekali jika ini akan jadi sebuah titik terang yang menjelaskan semuanya. Meski berharap lebih juga bukan hal yang baik, tapi mengabaikan fakta ini juga bukan hal yang bisa dianggap benar.

"Maaf membuat kalian menunggu."

Suara yang mereka tunggu. Jadi setelah udara berhasil membawa getaran suara itu ke telinga untuk diterjemahkan otak, ketiganya segera menoleh untuk melihat si pemilik suara di sana. Namun setelah itu bukan Daehyun yang menerima seluruh atensi mereka, melainkan seorang laki-laki lain yang datang bersamanya.

Dan mungkin firasat buruk Suga memang benar.

"Ayah?" Hoseok yang pertama tersadar. Ia yang semula duduk tenang di salah satu sofa spontan berdiri karena terkejut saat mendapati laki-laki yang bahkan tadi pagi masih duduk bersamanya di meja makan malah berakhir di sini sekarang. Apa maksudnya saksi yang Daehyun maksud itu adalah laki-laki itu? "Apa yang ayah lakukan di sini?"

Agaknya Daehyun juga tidak mengetahui fakta bahwa laki-laki yang ia bawa adalah ayah dari teman kliennya. Terbukti dari tatapan terkejutnya saat kalimat-kalimat yang dipikirkan Hoseok tersuarakan. Dunia sempit sekali ternyata. "Tuan Jung adalah saksi yang kumaksud."

Entah apa yang Suga pikirkan saat kalimat itu diartikan otaknya. Dia hanya diam sembari memandang laki-laki yang ia kenal sebagai ayah temannya itu tanpa niat untuk bertanya atau apa. Sama seperti Hoseok, dia bahkan tidak berpikir bahwa kunci dari semuanya adalah orang yang ia kenal.

"Aku adalah polisi yang menangani kasus ini." Akhirnya laki-laki itu bersuara. Bola matanya bergulir, memandang sang anak sebelum kemudian berakhir dengan menatap Suga yang memilih tetap bungkam. "Juga orang yang menutupi kebenarannya."

Juga orang yang menutupi kebenarannya. Rasanya kalimat itu terus menggema dalam otak. Suga masih tidak mengerti kenapa dunia sesempit ini, tapi kalimat itu membuat beban otaknya bertambah berkali-kali lipat. "Apa maksud anda?"

Laki-laki yang nyaris menyentuh umur enam puluh itu tak langsung menjawab. Ia masih sibuk memandang Suga sebelum kemudian menghela nafas dan berucap, "Sebelumnya aku ingin mengatakan ini. Kau adalah Min Yoongi," terdiam sejenak, seolah kalimat yang akan ia katakan setelah itu tidak seharusnya disuarakan. "Dan yang seharusnya terbunuh hari itu adalah kau."

Lantas ruangan itu kembali hening sekali lagi. Tak ada yang menyangka kalimat itu akan mereka dengar. Sebelum ada yang sadar, mereka telah mengalihkan atensi masing-masing ke arah objek dari kalimat itu. Sementara Suga sendiri masih bungkam, berusaha mencerna mengapa ia harus mempercayainya sebagai fakta. Kenapa aku yang seharusnya mati?

"Kubunuh kau, anak sialan!"

"Yoongi, lari!"

Apa yang terjadi? Kenapa-?! "A-akh!"

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang