Bagian 30 : Bibi Jeon

507 90 4
                                    

Jimin mungkin tahu jika ini adalah sesuatu yang biasa terjadi, tapi dia sungguh khawatir saat tak menemukan Jungkook keluar dari bangunan sekolah setelah tak ada siswa lain yang nampak berkeliaran di sana. Lima belas menit menunggu juga tak membuahkan hasil. Anak itu masih tak terlihat hingga saat ini.

Seorang laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai security juga mengaku tidak melihatnya keluar. Tapi bukan berarti Jimin bisa tenang dengan itu. Bagaimana jika ternyata Jungkook diganggu oleh teman-temannya? Atau mungkin anak itu tiba-tiba sakit tapi tidak ada yang menolongnya. Oke, itu mungkin konyol. Tapi bagaimana jika ternyata memang itulah yang terjadi?

"Ahjussi..." Jimin memanggil laki-laki yang duduk di pos jaga itu sekali lagi. "Apa ada jadwal tambahan hari ini?" tanyanya.

Laki-laki paruh baya itu tersenyum tipis, agaknya cukup memaklumi kekhawatiran Jimin saat ini. Jungkook memang selalu keluar tepat waktu selama Jimin menjemputnya kemari. Dia anak riang yang menonjol—setidaknya begitu sebelum psikologisnya terganggu karena kematian sang kakak—jadi seluruh sekolah mengenalnya. Laki-laki paruh baya itu juga mengenal akrab Junghyun yang selalu datang menjemput Jungkook sepulang sekolah. Bahkan kadang anak itu membawakannya makanan. Saat mendengar anak baik itu meninggal akibat kecelakaan hingga kabar bahwa Jungkook mengalami gangguan mental karena itu, dia juga merasa kasihan dan prihatin. Jadi saat pertama kali melihat Jimin menjemput Jungkook, dia berpikir bahwa sudah ada seseorang yang menggantikan peran Junghyun dengan sangat baik.

"Ada bimbingan wali kelas secara individu setiap minggu. Mungkin Jungkookie sedang di sana." jawab laki-laki itu dengan tenang. Beberapa siswa yang pulang terlambat memang sudah biasa baginya. Terkadang memang wali kelas akan memberi bimbingan secara individu seperti yang ia katakan.

"Tapi teman-temannya sudah pulang. Aku melihat mereka semua keluar—"

"Jiminie hyung!"

Belum sempat Jimin menyelesaikan ucapannya, bocah yang sedari tadi ia tunggu nampak berlari-lari di koridor utama sembari meneriakkan namanya. Tapi saat ia hampir menghela nafas lega, atensinya terkunci pada plester kecil bermotif bebek kuning yang tertempel di lututnya.

"Jungkookie, kakinya kenapa?" tanya Jimin sesaat setelah Jungkook menubruk tubuhnya cukup kuat. Anak itu terbilang pendek jika dibandingkan dengan anak-anak seumurannya dan hanya bisa memeluk kaki Jimin.

"Terjatuh saat jam olahraga. Tapi, hyungie, tadi Jungkookie berlari paling cepat loh. Kata ssaem Kookie bisa menjadi atit. Tapi, hyungie. Atit itu apa?"

"Bukan atit, Jungkookie. Yang benar itu Atlet. Bagaimana ya menjelaskannya?" Jimin berpikir sejenak, mencari kalimat sederhana yang sekiranya mudah untuk dicerna oleh otak bocah ini. "Itu loh, yang biasanya ayah tonton di televisi. Ada yang lomba berlari, lomba berenang, lomba memanah. Yang seperti itu."

"Berarti nanti kalau Kookie jadi atlet bisa masuk televisi?"

Jimin terdiam sejenak. Bingung harus mengiyakan atau tidak. Kan tidak semua atlet bisa dimunculkan di televisi. Tapi melihat binar di mata bulat anak itu yang seolah menunggu kata 'ya' dari Jimin, akhirnya dia memilih untuk mengangguk dan mendengarkan sorakan kagum Jungkook setelahnya.

"Kalau begitu Kookie mau jadi altet. Kata Taehyungie hyung kalau masuk televisi itu hebat. Nanti Kookie bisa pamer kepada teman-teman."

Astaga bocah ini.

"Iya, nanti kalau sudah besar Kookie jadi atlet. Sekarang kita pulang, ya. Kakinya sakit tidak?"

"Sakit!"

Jimin tertawa kecil. Ia segera mengangkat Jungkook yang sudah merentangkan tangan minta digendong. Anak ini pintar sekali mencari kesempatan. Padahal tadi saja sudah berlari-lari untuk menghampirinya. "Kami pergi dulu, ahjussi. annyeonghigaseyo."

"Dah, ahjussi." Jungkook ikut menoleh ke arah laki-laki paruh baya itu sembari melambai-lambaikan tangannya dengan semangat.

"Hyung tahu tidak, tadi ssaem bercerita loh. Hmm tentang siapa, ya? Oh iya, Nolbo dan Heungbo." Jungkook bersuara lagi setelah Jimin menggendongnya melewati gerbang sekolah.

"Oh ya?"

"Iya! Kata ssaem, Nolbo mengusir Heungbo. Padahal mereka saudara." kesal Jungkook. Dia semakin mengeratkan pegangannya ke leher Jimin sebelum kemudian melanjutkan, "Jika Kookie yang diusir pasti dia sudah dicekik seperti ini."

"Kalau Kookie benar-benar mencekik begitu nanti Jimin hyung mati, loh."

Keduanya spontan menoleh begitu mendengar suara lain menginterupsi. Berbeda dengan Jungkook yang kebingungan, Jimin spontan mengernyit kala mendapati sosok yang dikenalnya berdiri di sana. "Suga hyung? Sedang apa di sini?" tanyanya.

"Menemani Jay hyung." jawabnya sembari menunjuk ke arah laki-laki yang dimaksud. Ternyata benar, Jay sedang berdiri di seberang jalan, nampak sedang berbicara dengan seorang wanita asing. "Tiba-tiba kekasihnya datang, jadi aku pergi."

Jimin mengangguk mengerti. Ia mengembalikan atensinya kepada Suga sembari meneliti penampilannya. Sepertinya mereka memang hanya jalan-jalan. Padahal biasanya sibuk mengurung diri di studio. Meskipun itu juga hanya bocoran dari Hoseok, sih.

"Kalian akan pulang, kan? Mau sekalian kuantar?" tawar Suga.

Jimin tak langsung menjawab. Ia melirik ke arah Jay yang nampak masih sibuk dengan pembicaraannya dengan sang kekasih. Jika dia jalan-jalan dengan Suga, berarti mereka berbagi kendaraan, kan? Artinya Suga ingin meninggalkannya. Begitu? "Jay hyung?"

"Kekasihnya membawa mobil."

"Oh, baiklah. Terima kasih, hyung."

Suga tersenyum kecil. "Tentu. Lewat sini." ujarnya sembari berbalik untuk mencapai tempat mobilnya terparkir. "Ngomong-ngomong kau tidak bekerja, Jim?"

"Aku akan kembali setelah menjemput Jungkookie. Bibi Jeon sedang menerima tamu di rumah, jadi tidak bisa menjemput."

Suga mengangguk singkat. Tak memberi respon lain dan segera menjalankan mobilnya. Sejenak hanya deru mesin kendaraan dan klakson yang terdengar. Jungkook yang biasanya cerewet juga mendadak bungkam karena ada orang asing macam Suga di sana. Dia jelas tidak senang karena itu, terbukti dari wajah masamnya itu. Beruntung jarak dari sekolah ke rumah tidak terlalu jauh, jadi kurang dari sepuluh menit kemudian mereka telah tiba di tempat tujuan.

"Kau akan kembali ke cafe, kan? Masuklah, kutunggu di sini."

Jimin yang sudah nyaris membuka pintu mobil langsung menghentikan gerakan untuk memandang Suga yang masih tenang di posisinya. "Tidak perlu, hyung. Aku mungkin akan lama." Tentu saja pasti akan banyak ulah Jungkook yang menahannya.

"Gwenchana. Aku sedang tidak memiliki pekerjaan."

"Kalau begitu masuklah terlebih dahulu."

"Aku bisa menunggu di sini."

"Kalau begitu tidak perlu menunggu."

Suga menghela nafas panjang, akhirnya menyerah atas perdebatan mereka. Dia segera mengekori Jimin yang sudah berjalan terlebih dahulu. Rumah ini, ya? Padahal Suga sering datang ke rumah Namjoon, tapi tak pernah memperhatikan rumah yang berada tepat di sampingnya ini. Terlihat nyaman.

"Maaf ya, Jimin. Padahal sedang bekerja, tapi bibi malah merepotkanmu."

Rentetan kalimat itu berhasil menarik atensi Suga sepenuhnya. Ia segera mendapati presensi seorang wanita—yang sepertinya ibu Jungkook—di sana. Senyumnya terlihat tulus dan menenangkan. Huh, kapan terakhir kali ia melihat senyum semacam itu, ya?

"Suga hyung mengantar kami."

Mendengar namanya disebut, Suga segera mengalihkan pandangan kepada Jimin yang barusan bersuara. Astaga, ia sungguh membenci suasana ini. Tapi kendati demikian ia kembali memandang wanita itu, tersenyum kikuk sembari membungkuk lantas memperkenalkan diri.

"Ah, jadi ini ya. Taehyung juga sering membicarakanmu."

Kalau begitu aku akan membunuh anak itu nanti.  Untuk sekarang lebih baik tersenyum saja.

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang