Akhirnya setelah hiatus yang katanya nggak akan lama. Terima kasih buat yang masih nunggu. Selamat membaca~
Kim Daehyun.
Laki-laki itu terlihat seperti manusia supel yang bisa membaur dengan orang asing dalam waktu singkat. Tubuhnya sedikit lebih tinggi dari Namjoon. Surainya dipotong pendek rapi dengan mempertahankan warna asli, jauh berbeda dengan Namjoon dan antek-anteknya yang lebih suka mengganti warna rambut tiap bulan sekali. Benar-benar tipe orang yang bekerja untuk instansi pemerintah.
Saat pertama kali melihatnya, Jimin langsung menilai jika laki-laki itu pasti tipe orang yang populer. Lalu jika melihat bagaimana caranya membawa diri di antara orang-orang asing, dia pasti sudah berpengalaman dalam situasi semacam ini. Tidak heran, sih. Detektif sepertinya memang harus bertemu dengan orang-orang asing dan bekerjasama dengan mereka untuk memecahkan kasus. Bukankah justru aneh jika Daehyun tidak bisa menyesuaikan diri dengan cepat?
"Jadi hanya foto, ya? Sepertinya akan sulit. Jika aku badan intelijen negara mungkin akan ditemukan dengan cepat. Tapi kan aku hanya detektif rendahan." begitu katanya tadi. Entah berniat merendah atau memang ini adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Intinya begitu saja sudah membuat Jimin kehilangan semangat juangnya. Lagi pula dia juga sudah sadar sejak awal jika menemukan Min Yoongi hanya memiliki peluang kurang dari dua puluh persen.
Sekarang laki-laki itu masih berada di cafe bersama dengan Namjoon dan dua manusia lain yang jujur saja Jimin anggap sebagai pengikut setianya. Entah apa yang sedang mereka bicarakan karena Jimin bahkan tidak sempat menguping akibat terlalu banyak pelanggan. Tapi sepertinya sesuatu yang serius. Kentara dari bagaimana raut mereka yang tak terlihat senang sama sekali. Dari pada senyum karena-katanya-ini pertama kalinya Daehyun dan Namjoon bertemu lagi setelah wisuda, mereka terlihat begitu tegang seolah ada pembunuh bayaran yang akan menghabisi mereka pada detik selanjutnya.
"Kurasa terapi juga tidak akan membantu. Kau tahu persis tentang itu." Mungkin hanya rentetan kalimat tersebut yang berhasil Jimin dengar karena melewati meja mereka saat mengantar pesanan. Sesuatu yang jelas membuatnya semakin bingung. Jimin tidak yakin kepada siapa kalimat itu disuarakan. Tapi yang jelas bukan untuk Kim Daehyun si detektif itu. Meskipun laki-laki itu terlihat serius mendengarkan dan menanggapi, sih. Tiba-tiba saja Jimin merasa aneh karena di pertemuan pertama mereka malah membahas hal semacam itu. Dari pada 'baru pertama bertemu', mereka malah terlihat seperti teman lama.
"Jimin-ah, kau akan mendapat complain jika sibuk menguping dan bukannya mengantar pesanan."
Lantas Jimin hanya bisa tersenyum kikuk kala menyadari bahwa Jihoon telah menangkap basah aktivitas tak berbudi yang ia lakukan. Bahkan Jihyun yang berdiri tak jauh dari laki-laki itu sudah sibuk memberikan tatapan julid yang sumpah membuat Jimin ingin menggorok lehernya saat ini juga. Mungkin jika dunia ini tidak menerapkan peraturan bahwa membunuh adalah sebuah kejahatan, Jimin akan benar-benar melakukannya.
Lantas karena tak ingin Jihoon memergokinya merencanakan hal-hal sadis kepada sang adik, Jimin bergegas mengambil nampan berisi segelas frappuccino dan secangkir latte untuk diantarkan ke meja nomor tujuh yang berada tepat di sebelah meja yang ditempati Namjoon dan antek-anteknya. Sekalian menguping lagi.
"Jimin-ah."
Tersentak kecil, Jimin segera berbalik menghadap keempat laki-laki yang lebih tua setelah meletakan pesanan di meja tujuan. Anggap saja rencana mengupingnya sudah hancur total karena sekarang mereka bahkan beralih fokus kepadanya. Entah siapa yang barusan memanggil, Jimin tidak sempat berpikir.
"Aku akan mengabarimu jika ada perkembangan. Tolong catat nomor teleponmu di ponselku, ya." Daehyun menyodorkan ponselnya kepada Jimin, meminta pemuda itu untuk melakukan apa yang ia katakan. "Jika ada petunjuk lain kau bisa mengatakannya kepadaku juga," lanjutnya.
Jimin hanya mengangguk singkat. Ia segera mengetikkan nomor teleponnya lalu mengembalikan ponsel milik Daehyun tanpa banyak berkomentar atau bertanya. Sepertinya laki-laki masih memiliki hal lain yang harus dilakukan karena dia langsung pergi setelah mendapat nomor telepon Jimin. Meninggalkan tiga orang lain yang masih sibuk dengan pembicaraan mereka sendiri.
"Ngomong-ngomong aku dua tahun lebih tua dari kalian. Kenapa tidak mulai memanggilku hyung mulai sekarang?"
Dari tempatnya berdiri, Jimin bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Yoongi barusan. Setelah dilihat-lihat sudah tidak banyak pelanggan yang datang. Jadi setelah memberi isyarat kepada Jihoon bahwa ia akan beristirahat sejenak, Jimin memutuskan untuk menguping lebih banyak lagi kendati mungkin pembicaraan ketiga orang itu takkan bisa ia mengerti atau mungkin tidak penting sama sekali.
"Sebaiknya kau tidak berlagak, Suga-ssi. Sampai semuanya jelas, kau tetap jadi yang paling muda di antara kami. Jadi berhenti bersikap sok paling dewasa." Namjoon jelas menentang ucapan Yoongi sebelumnya dengan mengatakan itu. Dari ekspresinya saja Jimin yakin sekali jika laki-laki sangat enggan menerima pernyataan itu sekalipun nantinya terbukti menjadi kenyataan. Tapi kenapa Suga hyung jadi yang tertua? Benar kata Namjoon hyung, dia yang paling muda di antara trio itu.
"Sebaiknya kau tidak bersikap kurang ajar begitu, Namjoon-ssi." Suga menyesap kopinya sebelum kemudian melanjutkan, "Tapi kau yakin terapi tidak akan membantu?"
"Kau jadi bodoh ya setelah mengetahui semuanya." komentar Namjoon ringan. Dia bahkan masih berani menghabiskan kopi dari cangkirnya saat Suga sudah geram ingin membunuhnya saat itu juga. "Kudengar itu hanya untuk gangguan psikologis. Kasusmu jelas karena kerusakan fisik. Lagi pula selama ini kau tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengingat semuanya lagi."
Mengingat apa?
"Setidaknya kau kan bisa menghiburku."
Namjoon menggeleng tegas, jelas tidak setuju dengan ucapan Suga. "Teman yang baik tidak akan mengatakan kebohongan meskipun itu menyenangkan. Kau tahu, itu hanya euphoria yang akan segera berakhir," ujarnya.
Suga memincing mendengar ucapan Namjoon. Dia kembali menegakan tubuh. Mengambil cangkir kopinya dan memilih untuk menyahut sebelum kemudian meneguknya hingga habis. "Kurasa kau memang hidup hanya untuk menjadi penyair."
"Ayo kembali, Seok-ah." Suga menoleh ke arah Hoseok yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. Jika boleh menebak sepertinya laki-laki itu tidak tertarik atau mungkin tidak terlalu mengetahui masalah 'terapi' yang mereka bicarakan atau semacamnya. "Aku sudah mengaransemen bagian sebelumnya. Kau bisa memeriksanya hari ini."
"Oh, baiklah." Hoseok segera bangkit, mengikuti Suga yang sudah berjalan pergi terlebih dahulu. Sepertinya dia juga sudah sepakat untuk mengacuhkan Namjoon yang masih menunggu untuk diajak pergi juga.
"Jadi kalian memang hobi meninggalkanku, ya." kesalnya sembari bergegas mengejar kedua manusia itu.
Total abai kepada Jimin yang mendadak mematung di tempat. Ingatan, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...