Bagian 37 : First Snowfall

619 87 1
                                    

Kau itu anak yang terlahir karena kesalahan. Alasan kenapa kedua orangtuamu bertengkar hebat sampai saling membunuh. Orang yang menelantarkan adiknya begitu saja selama belasan tahun.

Rasanya seperti pernyataan-pernyataan itu terus berputar di otak meskipun Suga telah berusaha keras untuk melupakannya sebentar. Itulah yang menyebabkan ia menyerah untuk terus mengurung diri di studio meski beberapa hari lagi ia harus menyerahkan lagu-lagunya kepada agensi. Lagi pula percuma. Bukannya bekerja, Suga mungkin hanya akan melamun berjam-jam hingga tidak sadar jika waktu telah berlalu begitu cepat untuknya.

Lagi pula jalan-jalan keluar seperti yang ia lakukan saat ini mungkin akan membuat otaknya bisa berfungsi lebih baik. Meski langit seolah mencegah siapapun untuk keluar, banyak orang yang berlalu lalang di sana. Pasangan yang sedang berkencan, sekumpulan anak remaja yang menghabiskan waktu bersama, pegawai kantor yang sedang menghabiskan jam makan siang, bahkan beberapa orang tua yang tertawa bersama anak-anak mereka. Suga tidak terlalu tertarik untuk mampir ke salah satu toko dan mengisi perut yang seingatnya belum diisi sejak kemarin. Meskipun sebenarnya ia harus beberapa kali berhenti karena kepalanya pening bukan main.

Sepertinya benar kata Namjoon. Ingatannya tidak akan kembali meski seberapa keras ia mencoba. Bahkan setelah dipicu berbagai hal, yang bisa ia ingat hanya beberapa kalimat dan bayangan buram yang tak mampu diartikan otak. Dan sialnya hal-hal semacam berusaha mengingat apa yang terjadi hanya akan membuat sakit kepala hingga ia berpikir bahwa bagian itu akan pecah menjadi berkeping-keping jika terus dipaksakan. Suga sudah tidak ingin melakukan itu lagi setelah nyaris menggelinding dari tangga karena berusaha mengingat-ingat sepanjang waktu. Cedera otaknya bisa semakin parah jika itu sampai terjadi.

Tapi jika diingat-ingat ternyata sudah lama semenjak Jimin datang ke Seoul. Entah kenapa belakangan ini Suga sering memikirkan itu. Mungkin karena Jimin terlihat berbeda dari orang-orang yang ia temui sebelumnya, jadi Suga cenderung mengingat kebersamaannya dengan anak itu. Ah, atau mungkin karena sebenarnya mereka saudara? Entahlah. Bahkan sampai sekarang Suga masih tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakan itu kepada Jimin.

Saat itu pertengahan musim gugur, kali pertama ia bertemu dengan Jimin. Remaja tanggung yang berani dan tulus, tapi juga canggung di saat bersamaan. Suga sempat menertawakan alasan Jimin repot-repot datang ke Seoul untuk mencari kakaknya yang mungkin sudah menghilang entah ke mana. Siapa yang menyangka kalau sekarang ia malah harus terikat dengan masalah itu. Siapa sangka kakak yang tak bertanggungjawab itu adalah dirinya. Terkadang panggung sandiwara Tuhan memang lucu sekali.

Jika Suga mengakui semuanya kepada Jimin, apa yang mungkin akan terjadi? Bagaimana reaksi anak itu nanti? Bagaimana kalau ternyata hubungan mereka jadi canggung? Meskipun Jimin nampak tak akan berkomentar macam-macam selain 'aku senang ternyata hyung bahagia selama ini', tapi Suga tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi. Bagaimanapun juga dia jelas harus bersiap untuk kemungkinan semacam itu.

Tentang Hoseok, jujur awalnya menjadi sedikit canggung. Tapi tadi pagi laki-laki itu sudah bersikap normal dan bahkan membagikan kopi untuk mereka bertiga. Dia terlihat tidak ingin membahas masalah itu lagi, jadi Suga tetap diam untuk satu hal itu. Lagi pula meskipun kebenarannya telah ia ketahui, dia tidak ingin merusak rumah tangga orang lain dengan menyatakan diri sebagai anak hasil hubungan gelap. Itu memalukan meskipun kenyataannya begitu. Pikirannya saat ini hanya berfokus pada bagaimana caranya menjelaskan semua itu kepada Jimin. Tapi sialnya semakin lama dipikirkan, semakin banyak kemungkinan buruk yang berseliweran di otak.

"Suga hyung?"

Demi Tuhan yang menciptakan dunia dan seisinya, Suga hampir saja mengeluarkan rasengan kala mendengar suara orang yang sedang ia pikirkan secara tiba-tiba. Ia sungguh tak tahu harus bereaksi seperti apa kala mendapati Jimin-entah dari mana dan sejak kapan-sudah berdiri di belakangnya dengan senyum khas yang tersungging apik di wajah. Tapi tunggu! Kok dia ada di situ? Padahal Namjoon sudah memberinya libur agar bisa beristirahat.

Seolah mengerti alasan kenapa Suga memandangnya dengan tatapan tak menyenangkan begitu, Jimin tertawa kecil sembari memasukan telapak tangannya ke saku coat. Itu hasil menghabiskan uang Suga kemarin malam ngomong-ngomong. "Aku hanya jalan-jalan sebentar, hyung. Sambil mencari sup hangat untuk makan siang," jelasnya tanpa diminta.

"Kau tidak lihat cuacanya seperti ini?" Suga jelas tak setuju dengan alasan Jimin. Siapa yang tahu apa yang mungkin terjadi saat pertengahan musim dingin seperti ini. Suhu udara hari ini nyaris nol dan Suga sudah cukup kedinginan karena berjalan selama itu di luar. Dia jelas tahu bahwa udara yang terlalu dingin tidak bagus untuk kesehatan. Lalu ini Jimin, orang yang baru kemarin keluar dari rumah sakit sudah berani berkeliaran di luar saat udara sedingin ini. Cari mati. "Lagi pula jam berapa ini? Kau belum makan? Obatmu?"

"Hyung jadi cerewet, ya?" Jimin tertawa kecil, total acuh pada ekspresi Suga yang berubah masam seketika. "Tidak apa-apa, kok. Aku suka. Ngomong-ngomong aku sudah makan. Aku akan pulang, tapi melihat hyung di sini." lanjutnya. Jika dilihat dari penampilannya sekarang dia memang terlihat baik-baik saja, sih. Lagi pula apa ini? Suga jadi mudah khawatir hanya karena Jimin pernah sakit sekali.

Tapi melihat lingkungan di sekitarnya, ini jelas terlalu jauh dari rumah Jungkook. Bahkan dari gedung agensinya juga, sih. "Kau pergi sejauh ini hanya untuk mendapatkan sup hangat?" Anak ini pasti sudah gila. Jika itu Suga, dia akan memilih menggunakan layanan pesan antar yang lebih praktis dan efisien. Tapi baru saja memikirkan itu, dia jadi ingat bahwa Jimin belum lama memiliki ponsel dan mungkin dia tidak tahu bagaimana caranya membuat pesanan lewat aplikasi. Lain kali Suga harus mengajarinya.

"Eoh?! Salju turun!"

Suga ikut mendongak, memandang langit seperti yang Jimin lakukan. Sejenak ia melupakan fakta bahwa Jimin bahkan tidak menjawab pertanyaannya dan berniat membawa anak itu pergi dari sana untuk menghindari salju. Tapi bahkan sebelum ia sempat menarik Jimin, gerakannya harus terhenti kala mendapati anak itu tengah menautkan kedua tangannya di depan dada sembari memejam.

"Semoga Yoongi hyung selalu bahagia."

Samar, tapi Suga berhasil mendengarnya. Yoongi, Min Yoongi. Itu dirinya. Jimin baru saja menyebut nama itu di hadapannya lagi. Dan yang ia katakan selalu kalimat dengan maksud yang sama. "Apa yang kau lakukan?" Entah kenapa suaranya sedikit bergetar saat mengatakan itu. Suga tahu, tapi ia berharap Jimin tak menyadarinya.

Remaja itu tersenyum kembali. Agaknya benar-benar tak menyadari bahwa Suga sedang berusaha mati-matian untuk menahan perasaannya sendiri. "Hyung tidak tahu ya? Katanya harapan yang diucapkan saat salju pertama turun akan menjadi kenyataan." jelasnya antusias.

Jimin selalu bersemangat jika sedang membicarakan Yoongi. Meskipun dia tidak pernah melihat wajah kakaknya itu-setidaknya karena dia bahkan tidak tahu bahwa si Min Yoongi itu sedang berusaha untuk tidak menangis saat ini juga. Dia benar-benar anak yang baik. Adiknya tumbuh dengan sangat baik meskipun tanpa kehadiran seorang kakak pecundang seperti dirinya.

Suga mengepalkan tangannya di balik saku, mencoba tersenyum meskipun yang ingin ia lakukan saat ini adalah memeluk Jimin dan mengatakan bahwa Min Yoongi yang selama ini ia cari sedang berada tepat di hadapannya. Pelan-pelan. Suga harus menjelaskannya dengan sabar. "Jimin..." Remaja itu menoleh, mengalihkan atensi dari butiran salju yang terus berjatuhan kepada Suga sepenuhnya. "Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu."

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang