Menghabiskan hampir sepuluh menit penuh di mobil Suga ternyata bukan hal yang terlalu buruk untuk dibayangkan (tapi biar kutebak. Kalian berharap bisa melakukan itu paling tidak sekali sebelum mati, kan?). Ternyata Suga juga tidak sekaku itu. Dia selalu menyahuti ucapan Jimin. Bahkan ikut tertawa seolah menikmati konversasi singkatnya bersama remaja tujuh belas tahun itu. Entah benar atau tidak Jimin tidak terlalu peduli Toh Suga sudah berbaik hati mau menawari tumpangan.
Begitu sampai di cafe ternyata mereka sudah dapat melihat dengan jelas sepeda milik Jihoon yang terparkir apik di halaman samping Sepertinya laki laki itu memang berangkat pagi-pagi sekali. Pasti banyak yang harus disiapkan Jadi tanpa menunggu lama Jimin segera masuk dengan diikuti oleh Suga Benar saja, Jihoon sudah sibuk di sana dengan adonan cupcake warna-warni yang sepertinya menyenangkan.
"Eoh? Jihoon pagi sekali."
Bukan menjawab sapaan itu, atensi Jihoon langsung teralih sepenuhnya kepada Suga yang tiba-tiba masuk setelah Jimin Aneh. Bukan agak, tapi sangat. Apa yang sedang dilakukan jelmaan es sepertinya di tempat semacam ini. Datang bersama Jimin yang baru ia kenal kemarin di pagi buta begini pula. Padahal biasanya paling anti dating kemari, apalagi dengan orang asing. Tiba tiba Jihoon sangsi jika itu adalah Suga "Kalian datang bersama?" tanyanya memastikan.
Jimin mengangguk tanpa ragu. Menyambar celemek yang tergantung pada dinding pojok dapur lantas menjawab, "Kami bertemu di jalan Suga hyung datang untuk kopi gratis." lantas membantu pekerjaan Jihoon tanpa perlu diperintah.
"Kopi gratis?" ulang Jihoon tak mengerti. Hei, ini cafe. Bukan kantin amal atau semacamnya. Apalagi Jihoon bukan pemilik tempat ini. Seenaknya saja meminta kopi gratis. Sudah kaya begitu masih pelit. Pantas saja jodohnya diblokir Tuhan.
Tapi saat Jihoon menoleh ke arah Suga, laki-laki itu sudah berdiri bersandar di sekat dapur sembari memandanginya seolah sedang berkata, 'Apa ada masalah dengan itu?' tanpa bersuara. Laki-laki yang menyebalkan. Jihoon baru saja akan menyahut. Tapi Suga sudah berkata, "Benar. Tanpa gula. Aku menunggu." lantas pergi dan duduk tenang di meja dekat jendela.
Jimin yang awalnya sibuk mengisi cetakan cupcake kini ikut memandang Suga karena Jihoon entah sudah menghela nafas berapa kali sangking banyaknya. Wah, ternyata melihat wajah Suga saja sudah bisa membuat Jihoon naik darah. Ini informasi baru yang didapat Jimin hari ini.
"Hah seenaknya saja." omel Jihoon meskipun dia tetap meninggalkan seloyang cupcake yang sudah dihias untuk membuat kopi. Lagi pula siapa sih yang berani menentang laki-laki itu jika sudah mengeluarkan aura tidak menyenangkan begitu. Awas saja. Jika Namjoon datang nanti, Jihoon akan mengadukannya.
"Ngomong-ngomong, Jim." ucapan Jihoon menarik perhatian Jimin sekali lagi. Dari pada mengisi cetakan cupcake seperti tadi, dia langsung menoleh untuk mendengar apa yang akan Jihoon katakan selanjutnya. "Kepalamu kenapa? Apa terjadi sesuatu kemarin?" tanya Jihoon sembari menunjuk kepalanya sendiri, merepresentasikan bagian yang ia maksud kepada Jimin.
Jimin tanpa sadar ikut menyentuh bagian yang dimaksud oleh Jihoon. Wajahnya berubah masam mengingat kejadian semalam namun segera ia netralkan. "Ah, ini. Ada kecelakaan kecil kemarin. Tidak parah, kok." jawabnya dengan senyum lebar yang menenggelamkan kedua matanya.
"Kau yakin tidak parah? Kelihatannya sakit sekali." Jihoon meringis bahkan hanya dengan membayangkannya saja. Dia memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi luka di bagian itu—bahkan sampai diperban begitu—pasti artinya luka di sana cukup parah. "Kenapa kau malah datang, sih? Seharusnya di rumah saja jika sedang sakit."
"Sudah diobati Seokjin hyung, jadi baik-baik saja."
"Huh keras kepala."
Jimin hendak membalas, tapi suara bel pintu menghentikan konversasi keduanya. Ini masih pagi dan cafe bahkan belum dibuka. Siapa lagi yang datang? Awalnya Jihoon berpikir begitu sambil bersungut-sungut. Tapi ketika melihat Namjoon yang masuk ke dalam sembari menyipitkan mata ke arah satu tanaman bonsai di dekat pintu—seolah menemukan setitik masalah yang akan mengakibatkan kehancuran dunia nantinya—Jihoon merasa harus melakukan jasa besar agar statusnya tidak berubah menjadi pengangguran.
"Eoh Suga? Tumben sekali datang lebih cepat. Kupikir harus menunggu bulan purnama berganti baru kau datang."
Diam-diam Jihoon menghembuskan nafas lega. Setidaknya Namjoon langsung duduk di hadapan Suga tanpa memprotes hal sepele yang akan menjadi masalah baginya. Dia tak sadar sama sekali jika Jimin yang baru saja memasukan loyang cupcake ke dalam oven langsung menatapnya heran. Ada apa, sih? Pikirnya.
"Jimin-ah, tolong antarkan kopi milik si pucat itu, ya?"
Jihoon sudah menyodorkan nampan berisi segelas kopi kepada Jimin. Tapi pemuda itu malah menelengkan kepala, seolah bingung dengan apa yang diucapkan Jihoon sebelumnya. "Si pucat itu siapa?"
"Itu loh, Suga Hyung. Astaga. Masa kau tidak tahu? Kau lihat kan kulitnya putih pucat seperti mayat?"
"Benarkah? Aku tidak pernah melihat mayat soalnya."
"Aissh sudahlah. Antar saja sana."
Jimin hanya tertawa kecil lantas mengambil alih nampan dari tangan Jihoon. Dia tidak tahu sih kenapa Jihoon memintanya melakukan itu. Tapi karena dia tidak merasa dirugikan, kenapa tidak? "Ini kopimu, hyung."
"Terima kasih."
"Eoh? Jimin-ah, kenapa kau datang? Lukamu sudah baik-baik saja?" Berbeda dengan Suga yang nampak santai-santai saja melihat Jimin berada di sana, Namjoon malah heboh sendiri mengingat kejadian tadi malam. Apalagi saat ingat apa yang Seokjin katakan kepadanya, "Anak itu kuat juga. Padahal untuk luka seperti itu, biasanya pasien sudah pingsan karena kekurangan darah loh."
"Masih agak sakit, sih. Tapi jika hanya begini sih aku masih bisa." Lagi-lagi Jimin menggunakan senyum andalannya sebagai senjata pamungkas. Memang jika dilihat sekilas dia seperti sudah baik-baik saja, sih. Syukurlah. "Ngomong-ngomong kenapa kalian bertemu pagi-pagi begini? Apa memang sering begini?" tanyanya kemudian.
"Ah, katanya Suga akan sibuk beberapa hari ke depan. Jadi aku mengajaknya bicara hari ini saja. Bukan masalah besar, kok. Hanya pekerjaan." jawab Namjoon dengan senyum yang tak kalah lebar. "Ngomong-ngomong, Jimin-ah. Aku tiba-tiba ingat kau bilang datang kemari karena mencari hyung-mu."
"Hyung? Kau punya saudara?" sahut Suga tiba-tiba. Apa kali ini juga hanya dia yang tidak tahu? Huh, ternyata dia memang sibuk selama ini. Tapi jika Jimin memiliki saudara, karena Jimin selama ini tinggal di panti asuhan, maka kakaknya juga ada di sana kan? Berarti kemungkinan karena diadopsi. Jika begitu, kenapa susah-susah mencari?
Tapi bukannya menjelaskan dengan kalimat yang mudah dimengerti, Jimin malah ikut memasang wajah bingung lantas berkata, "Ah, ceritanya panjang."
"Aku memiliki teman yang mungkin bisa membantu. Kalau kau mau, nanti kukenalkan." Namjoon kembali mengambil alih pembicaraan. Dia memandang Jimin yang masih berdiri di sana lantas tersenyum. Dia memikirkan ini semalaman. Ikut campur atau membiarkan anak itu menyelesaikan semuanya sendirian.
"Tentu, hyung. Terima kasih." Namjoon yakin Jimin akan bersorak sangking senangnya jika dia dan Suga tidak berada di sana. Terlihat jelas. Selebar apapun senyum Jimin selama ini, dia tidak pernah terlihat sebahagia ini. Kakaknya itu pasti orang yang sangat berarti bagi Jimin. Semoga mereka segera bertemu.
"Sebelumnya, siapa nama hyung-mu?"
"Min Yoongi."
Suga mengernyit. Min Yoongi? Nama yang familiar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...