Karena aku lagi luang, jadi bisa nulis dan update hari ini. Selamat membaca~
Orang bilang rumah adalah istanamu, tempat paling nyaman yang tidak akan bisa ditemukan di tempat lain meskipun kau mencarinya sampai ke ujung dunia. Sekarang Jimin harus mengakui itu. Tinggal hampir lima belas tahun di panti membuatnya terbiasa dengan suasana di sana. Biasanya dia baru bisa tidur setelah memastikan jika adik-adiknya sudah terlelap. Meninggalkan mereka membuat Jimin mengkhawatirkan banyak hal.
Jam dinding yang terpasang di kamarnya sudah menunjukkan pukul dua dini hari, tapi Jimin masih belum bisa menutup mata. Ada perasaan aneh yang bersarang di otak. Rasanya tidak nyaman berada di tempat asing seperti ini. Apa yang dirasakan kakaknya saat pergi sendirian dulu? Dia pasti lebih kesulitan dari pada Jimin sendiri.
Helaan nafasnya terdengar. Jimin bangkit dari posisi tidur lantas berjalan ke arah jendela. Mendongak, memandang langit yang sedikit lebih cerah dari sebelumnya. Tanpa sadar bibirnya membentuk lengkungan senyum. Langit selalu berhasil membangkitkan suasana hatinya yang buruk.
Sudah memasuki musim gugur. Meskipun dedaunan sudah mulai berjatuhan dari rantingnya, angin yang berhembus menjadi lebih dingin dari pada sebelumnya. Jimin terbiasa mengamati perubahan di sekitarnya, menghitung tahun demi tahun yang ia habiskan bersama kakak dan adik-adiknya.
Merasakan jika udara dingin sudah mulai membuat dirinya menggigil, Jimin buru-buru mengunci jendela lantas berniat kembali ke tempat tidur. Tapi gerakannya harus terhenti saat menangkap sosok familiar di depan rumah. Jimin berusaha memfokuskan pandangannya, mencaritahu siapa itu meskipun dengan pencahayaan minim.
Menyadari siapa yang berada di sana membuat Jimin panik seketika. Dia segera berlari keluar dari rumah dan berusaha mencari keberadaan anak itu. "Jungkookie, berhenti!" teriaknya saat melihat si anak sudah hampir berhasil membuka gerbang.
Tanpa pikir panjang, Jimin segera berlari mendekati Jungkook lantas menahan tangannya agar berhenti bergerak. Tapi anak itu malah menepis tangannya dengan kasar lalu berusaha bergerak lagi secepat yang ia bisa. Jimin bisa melihat genangan air mata yang bergumul di pelupuk mata meskipun sudah banyak yang berjatuhan membasahi pipinya. Kenapa Jungkook menangis?
Karena terpaku, Jimin malah tidak sadar jika gerbang sudah terbuka dan Jungkook hampir berlari menjauh. Tapi Jimin langsung mencekal tangan kecil itu sekali lagi lalu menarik tubuhnya untuk direngkuh. Tidak peduli pada perlawanan si anak yang meminta untuk dilepaskan. Jimin bisa merasakan tubuh kecil itu bergetar dengan isakan yang semakin keras. Sakit sekali mendengarnya.
"Jungkookie, kita masuk ya? Di sini gelap sekali. Jungkookie tidak takut hantu?" bisiknya dengan suara selembut mungkin. Tidak ingin menakuti atau menyakiti si anak yang semakin gencar memberontak.
"Tidak! Hyunie hyung... Mau hyunie hyung..." Jungkook masih terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari Jimin yang semakin erat merengkuhnya. Jimin bisa merasakan sesuatu membasahi pakaiannya, pasti karena Jungkook masih menangis kencang. Tangan kecilnya menggapai udara kosong, seolah sedang meminta seseorang untuk membantunya.
"Tunggu Kookie! Tidak! Hyunie hyung, tunggu!"
Jimin terdorong cukup keras saat Jungkook berhasil melepaskan diri. Anak itu langsung berlari secepat mungkin, berusaha mengejar angin yang berhembus kencang. Mengabaikan perih di telapak tangannya karena bergesekan dengan jalanan yang kasar, Jimin segera bangkit dan mengejar Jungkook sebelum anak itu berlari terlalu jauh. Semakin mempercepat langkah saat melihat Jungkook tersandung lalu jatuh tak berdaya.
"Jungkookie, sudah. Jangan berlari lagi." Jimin berusaha menahannya saat si anak berusaha berdiri meskipun kakinya terluka dan mengeluarkan darah. Tapi Jungkook masih berusaha berlari meskipun langkahnya tertatih, menangis semakin kencang sembari terus meracau. Meminta seseorang yang bahkan tidak ada untuk menunggunya.
"Jungkookie, lihat hyung." Jimin menangkup wajah Jungkook dengan kedua tangan, meminta anak itu untuk menatap matanya. "Tenang, ya? Ada hyung di sini. Kita pulang, oke?" ucapnya sembari mengusap surai lembut si anak yang masih sesenggukan.
"Mau Hyunie hyung..."
Jimin mengangguk lembut, berusaha memberi harapan kepada Jungkook meskipun dia sendiri tidak yakin. Dia masih tidak mengerti masalah apa yang sedang terjadi di sini. "Kita menyusul Hyunie hyung besok, ya? Obati luka Kookie agar Hyunie hyung tidak khawatir. Setuju?"
Jungkook tidak menjawab, masih sibuk menangis hingga Jimin khawatir anak itu akan sesak nantinya. "Sudah, jangan menangis." ujarnya sembari menghapus buliran air mata yang terus mengalir dari mata bulat itu. Dia membawa Jungkook untuk direngkuh sekali lagi sebelum kemudian menggendongnya kembali ke rumah.
Jimin bisa mendengar jika isakannya mulai berhenti, tapi dia tidak bisa tenang begitu saja karena sadar jika nafas anak itu mulai memberat. Suhu tubuhnya tinggi sekali. Sejak keluar dari rumah sakit, Jungkook langsung demam. Itu pasti semakin parah karena dia berkeliaran saat udara sedingin ini.
"Gwenchana?" tanyanya setelah berhasil membaringkan tubuh Jungkook ke atas tempat tidur. Dia masih bergerak dengan telaten, mengambil selimut yang terjatuh ke lantai lalu membungkus tubuh yang lebih muda menggunakan kain tebal itu.
"Sakit... hiks..."
"Gwenchana. Sekarang tidur, ya? Hyung akan mengusir sakitnya supaya pergi, oke?"Jimin tersenyum tulus, mengusap surai lembut Jungkook dengan hati-hati. Anak itu menurut, menutup mata meskipun masih ada sisa isakan yang keluar dari belah bibirnya.
Setelah yakin jika Jungkook tertidur, Jimin segera bangkit lalu mengambil kotak obat di nakas. Sepertinya anak ini memang sering terluka. Ada beberapa bekas yang terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Bukan kekerasan dalam keluarga, kan? Jimin tidak bisa membayangkan jika anak sekecil ini harus menerima perlakuan tidak pantas dari keluarganya sendiri.
Mengenyahkan pemikiran itu sejenak, Jimin sedikit menaikan selimut yang menutupi kaki Jungkook untuk melihat lukanya. Dia terjatuh cukup keras tadi. Jimin berusaha mengobatinya dengan hati-hati, tak ingin membangunkan Jungkook yang mungkin akan kacau lagi. Setelah selesai, dia segera menyelimutinya lagi dan membereskan barang-barang yang ia pakai.
"Akh..." Jimin meringis pelan kala merasakan perih di telapak tangannya. Baru sadar jika tadi dia juga terjatuh karena dorongan Jungkook. Gerakannya terhenti, memandang luka lecet di telapak tangannya lalu beralih kepada Jungkook yang masih tidak bisa tertidur dengan lelap. Jimin berdiri lalu mencuci lukanya di kamar mandi yang terhubung langsung dengan kamar Jungkook. Mengoleskan obat di sana sebelum kemudian kembali duduk di sisi tempat tidur anak itu.
Jimin ragu untuk kembali ke kamarnya. Jungkook bisa saja bangun dan tiba-tiba pergi lagi. Dia tidak ingin mengambil risiko dengan meninggalkan anak ini begitu saja. Paling tidak malam ini Jungkook harus diawasi. Dan sepertinya Jimin memang harus mengorbankan waktu tidur untuk menjaganya.
Maka Jimin menarik kursi dari meja belajar dan membawanya ke sisi tempat tidur. Duduk di sana sambil mengelus surai si anak dengan teratur, mencoba memberinya rasa nyaman agar tidurnya sedikit tenang. Berharap saat dia bangun esok hari, sudah tidak ada air mata yang tumpah dari kelopak indahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...