"Tidak disangka akan jadi seramai itu, kan?"
Jimin hanya tersenyum tipis untuk menanggapi ucapan Suga yang baru saja masuk ke dalam mobil lantas mengemudikan kendaraan itu untuk mengantarnya pulang. Dia dengan senang hati menerima sebotol air mineral yang disodorkan Suga lantas meneguknya hingga setengah. Benar, siapa yang menyangka cafe jadi seramai itu setelah Jihoon meninggalkannya sendiri.
Beruntung Suga yang katanya sudah tidak memiliki pekerjaan di studio segera membantunya. Jika tidak, mungkin Jimin akan kewalahan mengingat dia belum bisa secepat Jihoon dalam melayani. Tapi berkat itu semua bahan yang tersisa habis sebelum jam tujuh. Jadi Suga mengusulkan untuk menutup cafe sedikit lebih awal mengingat Jimin sudah bekerja keras seharian ini. Dan tentu saja kenapa Jimin harus menolak saat tubuhnya juga lelah?
"Maaf karena membuatmu kerepotan, hyung." ujar Jimin dengan nada menyesal. Tentu saja dia tidak pernah berpikir akan melibatkan Suga. Hanya saja situasi semacam tadi terlalu tidak terkendali untuk menolak sebuah bantuan.
"Tidak masalah. Jihoon dulu juga begitu, kok."
Sungguh Jimin sudah gatal sekali ingin mengatakan 'benarkah?' atau 'apa dulu hyung juga membantunya?' tapi kemudian urung entah atas alasan apa. Rasanya Jimin terlalu banyak bertanya untuk ukuran orang yang baru saling mengenal. Yah meskipun mereka juga sudah lumayan akrab.
"Ngomong-ngomong saat Jihoon mengatakan jika dia kecewa kepada ibunya, kupikir hubungan mereka sudah tidak baik. Tapi melihat dia sebegitu panik saat mendengar kabar ibunya sakit, mungkin tidak begitu ya?" Akhirnya Jimin memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Berusaha tidak terlalu penasaran dengan menanyakan hal-hal yang telah terjadi.
"Dia terlihat kecewa sekali. Tapi setiap tanggal dua puluh lima setiap bulan, dia selalu mengunjungi ibunya."
Jimin sungguh berpikir jika Jihoon sangat membenci ibunya karena peristiwa itu. Pembunuhan itu tindak kriminal yang tidak bisa dimaafkan. Tapi melihat dia sebegini pedulinya kepada sang ibu, mungkin Jimin sudah banyak keliru. Bagaimanapun juga kata Jihoon semua itu terjadi karena ayahnya ringan tangan dan hampir selalu melakukan kekerasan. Jimin sedikit bisa merasakan kemarahan atas hal itu. Mungkin jika Jimin dalam posisi yang sama, dia juga akan meledak sewaktu-waktu.
Lagi pula sekarang hanya wanita itu yang Jihoon punya. Adik yang selama ini ia tunggu kehadirannya sudah menghilang entah kemana. Terpaksa dibuang dengan harapan bisa bertahan hidup di tangan orang lain. Seperti menggadaikan takdir. Jimin berpikir apa jadinya jika tidak ada orang yang merawat bayi itu? Mengerikan.
Jimin merasa harus banyak-banyak bersyukur karena dulu kakaknya benar-benar memastikan jika dia bisa bertahan hidup. Meskipun kemudian pergi dan tidak pernah kembali seperti ini, tapi setidaknya Jimin tidak dibuang begitu saja. Kakaknya telah menjamin kelangsungan hidupnya terlebih dahulu sebelum pergi.
Entah apa yang dulu terjadi pada keluarganya, kepada ayah dan ibu yang sama sekali tak ia ingat wajahnya. Jimin sama sekali tidak mengetahui perihal apa yang membuat sang kakak menyembunyikan dirinya dari dunia dengan meninggalkan Jimin di panti asuhan. Tapi entah kenapa dia percaya jika kakaknya tidak pernah berniat buruk. Min Yoongi itu pasti orang yang sangat luar biasa. Jimin tidak akan bosan memujinya meskipun sang kakak mungkin tidak akan pernah mendengar kalimat-kalimat itu.
"Hyungmu..."
"Ne?" Ucapan Suga yang begitu tiba-tiba berhasil menarik atensi Jimin sepenuhnya. Laki-laki itu bahkan berhasil membuyarkan semua bayangan mengenai Min Yoongi dari otak Jimin. Meninggalkan tanda tanya besar mengenai apa maksud kalimat yang baru saja terucap itu.
"Sudah menemukan petunjuk tentang hyungmu?"
"Ah, belum. Namjoon hyung bilang temannya baru bisa bertemu akhir pekan ini." Jimin terdiam sejenak. Meremat benda persegi pipih milik Yoongi yang kini telah menjadi miliknya. "Lagi pula satu-satunya petunjuk yang aku punya hanya nama dan fotonya saat berumur delapan tahun. Itu sudah lama sekali. Jika dihitung-hitung sekarang dia sudah berumur dua puluh lima."
Suga hanya mengangguk-angguk mengerti. Tetap fokus pada jalanan meskipun masih mendengarkan berbagai kalimat yang Jimin ucapkan. "Begitu, ya? Dua tahun di atasku." gumamnya kepada diri sendiri. "Kuharap kalian cepat bertemu. Semoga saja hyungmu itu memiliki alasan yang cukup baik mengenai kenapa dia pergi dan tidak pernah kembali."
Jimin tertawa kecil, entah karena apa. "Bertemu dengannya saja sudah cukup kok. Aku tidak ingin mengganggu hidup yang ia bangun selama ini." ujarnya. Memang sejak awal tujuannya hanya memastikan siapa Min Yoongi itu. Lantas meskipun ada kemungkinan jika laki-laki itu tidak menerimanya, Jimin tidak masalah asal sang kakak baik-baik saja.
Sepertinya Suga tidak setuju dengan pernyataan Jimin yang terkesan seperti pasrah begitu. Tapi dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dan karena itu konversasi mereka lantas terhenti untuk yang ke sekian kali. Mereka memang biasa begitu. Kehabisan bahan pembicaraan dan tiba-tiba hening. Tapi entah kenapa suasana tidak berubah menjadi canggung. Salah satu dari mereka pasti akan menemukan topik baru yang menarik.
Jimin masih sibuk memperhatikan Suga yang nampak terlalu fokus pada lalu lintas di hadapannya. Surai hitam yang Jimin lihat saat pertama kali bertemu telah berganti menjadi coklat gelap. Jimin ingat laki-laki itu mengubah warna rambut beberapa hari yang lalu. Telinganya sudah tidak dipenuhi piercing lagi. Suga melepas semuanya meskipun Jimin masih bisa melihat beberapa lubang tindik di sana.
Suga itu terlihat seperti berandal karena penampilannya. Tapi bahkan semua idol begitu dan Jimin baru tahu. Yang seperti itu ternyata sudah biasa. Benar kata Suga, Jimin benar-benar tidak mengetahui trend.
"Hyung, kenapa berhenti di sini?" tanya Jimin heran. Pasalnya Suga bukan mengantar pulang, tapi berhenti di depan restoran Korea. Aduh, padahal Jimin sudah bilang akan pulang lebih awal kepada Jungkook. Dia melakukannya demi mencoba menggunakan ponsel yang diberi Suga. Jungkook pasti sudah misuh misuh di rumah.
"Sekali-kali temani aku makan malam. Setelah ini aku harus ke studio lagi. Mungkin tidak sempat makan malam karena malas." jawab Suga sembari melepas seatbelt dan keluar dari mobil.
"Katanya tadi sudah tidak ada pekerjaan."
Mendengar teriakan kesal Jimin, Suga hanya tertawa kecil tanpa ada niat menanggapi. Dia bahkan menunggu Jimin keluar untuk mendengar omelannya lagi sebelum remaja itu diam karena Suga menariknya masuk ke dalam restoran. Mungkin terdengar menjengkelkan. Tapi melihat Jimin merenggut kesal karena dibohongi lagi begitu memang menyenangkan bagi Suga. Rasanya seperti kepuasan saat menggoda seorang adik. Padahal Suga yakin jika dia hanya memiliki seorang kakak. Jimin itu sesuatu pokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...