Padahal niatnya mau update teratur, tapi kena writer block terus. Maaf, ya. Kalian bosan nunggu, kan? Iya, aku tahu kok. Tapi maaf lagi. Aku lagi di masa-masa ujian, jadi waktu buat nulis lagi aku batasi. Untuk sementara, aku mau hiatus sampai ujianku selesai. Doakan semoga dapat nilai yang memuaskan, ya. See you and happy reading~
Ternyata cafe memang ditutup lebih awal. Jauh lebih awal dari yang sempat Jimin bayangkan. Jam dinding yang tertempel di sana saja belum menunjukan pukul empat, tapi sudah tidak ada pembeli yang diizinkan masuk. Selama hampir seperempat jam mereka berbincang-bincang ringan setelah acara tiup lilin oleh laki-laki yang dipanggil Suga itu. Hari ulang tahunnya mungkin. Pantas saja Jimin melihat lingkaran merah yang dihiasi gambar kue pada tanggal 27 September di kalender dapur.
Mereka berempat terlihat akrab. Sementara Jimin hanya memperhatikan dengan Jungkook yang masih menempel dengannya. Dia bahkan hampir tidak bersuara sama sekali semenjak Suga datang. Mungkin hanya kata terima kasih saat Jihoon memberikan sepotong kue untuk Jungkook yang ia suarakan selama itu. Terasa diasingkan meskipun Jimin memang orang asing sebenarnya.
"Ngomong-ngomong ini Jimin. Hanya kau yang belum mengenalnya. Dia bekerja di sini sejak kemarin." ucapan tiba-tiba Hoseok membuat Jimin spontan menoleh karena terkejut. Tiba-tiba sekali.
"Annyeonghaseyo Park Jimin imnida."
Laki-laki itu tidak langsung menyahut. Justru memandangi Jimin cukup lama sebelum kemudian bersuara, "Suga imnida." Tanpa ekspresi dan terdengar dingin. Nada suaranya berbeda sekali dengan kalimat-kalimat yang terucap sebelumnya. Seperti Suga sebenarnya tidak suka karena bertemu Jimin yang langsung canggung setengah mati.
"Apa-apaan ini? Kaku sekali."
Ucapan Hoseok langsung mengalihkan perhatian pemuda itu. Membiarkan Jimin tenang sejenak karena terbebas dari tatapannya yang terasa seperti mengintimidasi. "Wae? Aku hanya memperkenalkan diri seperti biasanya." balas Suga tak mau kalah. Dia menoleh ke arah Jimin lagi. Kali ini memandang anak yang masih diam di pangkuan Jimin. "Ngomong-ngomong siapa bocah itu? Dia terlihat seperti anak kelinci yang tersesat."
"Jungkookie. Dia tetanggaku." Namjoon yang menjawab. Suga yang mendengar hanya mengangguk paham karena sebenarnya beberapa hari yang lalu Namjoon pernah membicarakan bocah ini. Kecelakaan lalu kakaknya meninggal dan sekarang psikologisnya terganggu. Anak yang malang. Tapi seingatnya tokoh bernama Jimin tidak pernah disebut dalam cerita itu. Terserahlah. Apa pentingnya juga memikirkan dua manusia asing seperti mereka.
"Aku masih ada pekerjaan. Sampai di sini saja ya main-mainnya." Suga berdiri, memasukan ponsel ke dalam saku dan bersiap untuk pergi. Sejak awal dia hanya dipaksa untuk datang padahal masih ada banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Ada deadline minggu ini. Dia harus menyiapkan beberapa lagu untuk grup baru yang debut di agensinya. Jika tidak selesai tepat waktu, kakaknya bisa mengomel panjang lebar.
"Kau selalu sibuk, ya? Kenapa tidak berhenti bekerja sebentar dan bersenang-senang? Kami bisa membantu jika kau mau."
"Tidak, terima kasih."
Dan yang selanjutnya terjadi adalah kepergian pemuda itu, tanpa salam perpisahan atau apa. Sepertinya Jimin harus mengubah kesan pertamanya kepada Suga. Dia tidak semanis dan semenyenangkan yang Jimin kira sebelumnya. Dari pada kesan friendly, pemuda itu tebih terlihat seperti manusia berkepribadian ganda yang dapat mengubah sifatnya dalam sedetik.
"Kalau begitu kita pulang juga saja." suara Namjoon menginterupsi semua pemikiran yang bersarang di otak Jimin. Begitu ia menoleh, yang ia lihat adalah Namjoon yang sudah berdiri dan membereskan barang-barang dengan Hoseok yang mengikuti. "Jihoon-ah, kau masih mengajar anak-anak? Aku akan ikut lagi kapan-kapan."
Sepertinya Jimin memang memerlukan banyak waktu untuk mengerti semuanya.
***
Harinya di cafe berakhir dengan pulang bersama Namjoon. Laki-laki itu yang menawarkan karena rumah mereka jelas bertetangga. Lagi pula Jungkook terlihat lelah untuk diajak berjalan dengan jarak yang lumayan. Dia bahkan langsung tertidur sesaat setelah masuk ke dalam mobil.
Ternyata menjadi orang asing di antara orang-orang yang telah lama saling mengenal itu tidak menyenangkan. Saat mereka saling mengobrol, Jimin hanya bisa mendengarkan dalam diam. Tapi mengeluh pun rasanya tidak pantas. Selama ini Jimin berpikir akan menjalani aktivitas yang selalu ia lakukan, menjalani kehidupan yang sama. Kejutan karena sekarang dia malah berada di kota asing seperti ini.
Mungkin Jimin hanya akan menjadi katak dalam tempurung jika tidak pergi dari panti. Benar, ternyata sekali-kali mencari pengalaman ke dunia luar memiliki sisi menyenangkan dan penuh tantangan. Meskipun dia menyukai kehidupan stabil yang menyenangkan, siapa yang tahu takdir ingin bagaimana?
Menginjak tanah yang baru. Menghirup udara yang baru. Semuanya terasa asing pada awalnya. Tapi seiring waktu berjalan, kehidupan akan berlalu begitu saja. Perlahan semuanya menjadi tak asing lagi. Meskipun sebenarnya Jimin harus ekstra mengakrabkan diri.
"Oh ya, Jimin-ah, aku sudah menyiapkan gajimu untuk bulan ini. Kau benar-benar akan pergi dari rumah Jungkook?"
Pertanyaan dari Namjoon setelah keheningan lama memecah semua pemikiran Jimin. Pindah, ya? Sepertinya akan sulit. Sekarang saja Jungkook menolak sebegini kerasnya. Lagi pula bagaimana keadaannya jika Jimin pergi? Bibi Jeon bilang kondisi anak itu sedikit membaik setelah Jimin datang. Mungkin benar jika Jungkook hanya terlalu kehilangan sosok kakak dalam hidupnya.
Jimin menunduk, memperhatikan wajah tenang Jungkook yang tertidur di pangkuannya. Jimin tidak ingin membayangkan jika wajah manis itu akan hilang lagi. "Aku tidak tahu, hyung." jawabnya sembari mengelus surai lembut Jungkook yang mulai memanjang. Pendiriannya goyah. Jimin sekarang bingung harus bagaimana.
Setelah reaksi penolakan spontan Jungkook tadi pagi, orangtuanya berbicara serius dengan Jimin. Kata psikolognya, Jungkook mulai tenang karena menemukan sosok lain untuk menggantikan. Jika Jimin tiba-tiba menghilang saat Jungkook mulai membaik, mungkin keadaan anak itu akan jauh lebih parah dari pada sebelumnya. Jimin tidak ingin mengambil risiko seperti itu.
Bibi Jeon memintanya untuk tetap tinggal, justru sebenarnya itu menguntungkan Jimin. Dia tidak perlu menghabiskan uang untuk menyewa penginapan. Tapi merepotkan orang lain terus menerus juga tidak menyenangkan. Di lain sisi, membuat Jungkook sakit lagi juga bukan pilihan. Ini tidak nampak seperti sesuatu yang sulit diputuskan. Tapi entah kenapa Jimin malah memikirkannya terus menerus.
"Kau bingung karena Jungkook?" Jimin hanya mengangguk. "Kau tahu? Seokjin hyung sering bolak-balik ke rumah Jungkook sejak kematian Junghyun. Dia sering sekali terluka, bukan sekali atau dua kali. Aku juga sering melihat dia menangis sendirian di kamar. Tapi belakangan ini dia membaik. Aku juga sering bermain bersama Junghyun dan Jungkookie saat masih kecil. Mungkin saat itu dia masih bayi? Karena terlalu tua untuk bermain bersama anak seumuran Jungkook, aku lebih dekat dengan Junghyun. Aku tidak bermaksud apapun, tapi kau memang mirip sekali dengannya. Mungkin itu yang membuat Jungkook nyaman bersamamu."
Jimin terdiam. Awalnya dia pikir itu hanya dugaan semata. Jimin sama sekali tidak pernah bertemu dengan Junghyun. Dia tidak tahu sama sekali seperti apa kakak Jungkook itu. Tapi mendengar cerita Namjoon begini, rasanya semuanya menjadi sedikit jelas. "Aku tidak tahu, hyung. Rasanya hanya akan merepotkan jika terus tinggal."
"Astaga, kau hanya mengkhawatirkan itu?" Namjoon menoleh sekilas, memandang wajah Jimin—yang kesal karena kekhawatirannya ditertawakan—sebelum kemudian kembali fokus ke jalanan. "Kau harus berpikir lebih jauh, Jimin-ah. Sekarang Jungkook membutuhkanmu. Karena itu dia ingin kau tinggal. Di sisi lain kau membutuhkan tempat tinggal. Bukankah itu semacam hubungan mutualisme yang saling menguntungkan? Kenapa kau malah bingung begini?"
Ah, benar juga. Kenapa Jimin malah bingung begini? Tidak. Kenpa otaknya malah berpikir sebegitu rumit jika sebenarnya ini sangat sederhana? "Sepertinya aku tidak akan pindah, hyung. Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...