Bagian 38 : Last Winter

804 94 0
                                    

"Aku sudah tahu."

Tiga kata yang sukses membuat mata sipit Suga membola seketika. Sudah tahu katanya. Jadi Jimin sudah mengetahui semuanya tanpa ia beritahu. Sekarang pertanyaan mengenai kenapa remaja itu memilih untuk diam selama ini yang terus berputar di otaknya. Bagaimana dia bisa tahu, itu tidak penting.

"Jangan terkejut begitu, hyung." Jimin tertawa kecil. Mungkin sedang berusaha mencairkan suasana yang nyaris membuatnya sesak nafas. "Aku kan sudah bilang, tidak penting apakah Yoongi hyung mengenaliku atau tidak. Aku tidak terlalu peduli pada pengakuannya. Selama dia baik-baik saja, aku tidak ingin egois dengan menuntut lebih." Senyum itu semakin lebar hingga menjalar ke mata sipitnya. "Lagi pula sekarang aku bisa melihatnya tersenyum setiap saat. Jadi tolong terus begitu, hyung."

Suga mendengus kecil, tawa paksa yang tertahan di tenggorokan. Ia sedikit menunduk, mengusap matanya yang berair entah karena apa. Tiba-tiba semuanya menjadi begitu menyesakkan. Sangat sesak hingga mungkin dadanya akan meledak saat ini juga. "Jadi selama ini hanya hyung, ya."

Hyung...

Mendengar Suga menyebut dirinya sendiri dengan panggilan itu saja sudah terasa begitu membahagiakan untuk Jimin. Ternyata semuanya berakhir dengan sesederhana ini. Padahal Jimin tidak pernah berharap jika kakaknya itu akan mulai mengetahui semua ini. Ingatannya hilang permanen, siapa sangka dia akan mempercayai hal-hal yang bahkan telah hilang dari ingatannya.

"Bagaimana kau tahu? Aku pergi saat kau masih bayi."

"Entahlah." Jimin terdiam sejenak, memandang sang kakak yang bahkan masih terasa asing untuk bisa ia sebut sebagai saudara sedarah. "Hyung menarik sejak awal." Bercanda, tapi memang begitu kenyataannya. Suga dan sikap manis yang tertutup oleh kesan dingin saat awal mereka bertemu adalah momen pertama yang terasa aneh saat diingat kembali. Rasanya berbeda saat menyandingkannya dengan momen pertemuannya dengan Hoseok, Namjoon, Seokjin, Taehyung, atau bahkan Jungkook.

"Bibi Jeon bilang dia adik ayah. Awalnya memang tidak sadar, tapi Bibi Jeon mengenali wajah hyung saat aku menunjukan foto ini." ujarnya sembari menunjukkan satu-satunya foto Yoongi yang ia miliki. "Katanya hyung tidak pernah ditemukan meskipun sudah dicari kemana-mana. Mungkin Bibi Jeon juga tidak akan menemukanku jika aku tidak muncul di sana saat itu. Jadi beliau memintaku untuk melupakan hyung saja."

Jimin tersenyum tipis, memandang foto usang yang nyaris robek itu dalam diam. Sudah banyak hal yang terjadi selama ini. "Ingat saat hyung bertemu dengan Bibi Jeon? Katanya hyung mirip dengan Yoongi hyung. Memang mirip, sih. Habisnya itu kan memang hyung." ujarnya dengan tawa kecil di akhir kalimat.

"Aku..." Jimin meremat foto dalam genggamannya. "Aku melihat foto kecil hyung saat mengambil obat untuk Jungkookie di rumah Seokjin hyung. Kata Taehyung itu memang foto hyung saat liburan dengan Namjoon hyung dan Hoseok hyung."

Air mata yang sedari tadi Jimin tahan akhirnya meluruh juga. Satu tetes, dua, tiga. Semakin keras ia berusaha menghentikannya, liquid bening itu semakin deras mengalir. "Ah, aku tidak tahu kenapa aku menangis. Padahal aku senang hyung mengetahui semuanya."

Tanpa mengatakan apapun lagi, Suga menarik tubuh sang adik untuk direngkuh. Tak peduli lirikan aneh dari pengunjung lain yang mungkin hanya sedang berteduh di restoran ini seperti mereka. Total acuh pada bisik-bisik yang mulai mendengung semakin keras karena adegan yang mungkin terlalu aneh untuk dipertontonkan di publik seperti ini. "Mian, ssaeng. Padahal hyung yang bilang akan kembali. Maaf karena membuatmu menunggu selama ini."

Lalu apa yang mungkin Jimin katakan? Tak ada. Dia juga tidak bisa menyalahkan Suga atas kecelakaan yang jelas bukan keinginannya. Untuk saat ini dia hanya bahagia karena kakak yang ia cari selama ini telah mengakui keberadaannya. Mungkin Tuhan sedang dalam mood baik hari ini dan Jimin jelas bersyukur untuk itu. "Yoongi hyung..." Akhirnya dia bisa menyebut nama itu dengan leluasa. Untuk yang pertama kalinya dan itu terasa beribu kali lipat lebih menyenangkan dari yang sempat ia pikirkan.

Tiba-tiba Suga melepaskan pelukannya. Bola matanya bergerak cepat, meneliti wajah Jimin yang entah kenapa terlihat lebih pucat dari biasanya. "Kau oke? Apa dingin?" Dia jelas bisa merasakan bahwa Jimin gemetar hebat. Bukan karena tangis karena bekas air matanya bahkan sudah hampir mengering. Ini yang ia khawatirkan sejak tadi.

"A-ayo pulang, hyung."

Dan saat itulah Suga menyesal karena meninggalkan mobilnya di agensi. Niatnya memang hanya jalan-jalan untuk menjernihkan pikiran. Siapa sangka akan terjadi hal semacam ini pada akhirnya? Berlama-lama di sini bukan hal yang bagus, tapi di luar salju sedang turun deras. Suga masih cukup waras untuk tidak membiarkan Jimin yang sedang sakit berjalan menembus salju.

Suga mungkin bisa memesan taksi jika ada driver yang masih beroperasi. Masalahnya tumpukan salju di luar mulai tebal dan Suga cukup yakin bahwa jalan akan ditutup sebentar lagi. Paling tidak sampai mobil pengeruk salju membersihkan butiran putih itu agar kendaraan lain bisa melaju di sana. Dari tempatnya duduk, Suga bisa menghitung dengan jari kendaraan yang melintas selama lima belas menit terakhir.

Sial! Suga menyesal karena tidak langsung membawa Jimin pulang saat pertama melihatnya tadi. Padahal dia tahu jika anak itu baru sembuh.

Mungkin masih sempat. Mungkin Suga bisa membawa Jimin ke rumah sakit jika dia memiliki kendaraan. Membiarkan anak itu tetap di sini hanya akan membuat keadaannya memburuk. Mereka jelas harus menunggu lama untuk bisa pulang karena salju yang turun tak menampakkan tanda-tanda akan segera berhenti. Mungkin dia bisa meminjam kendaraan milik seseorang, kan?

"Jeogiyo." Suga memanggil seorang laki-laki tua pemilik restoran yang kebetulan lewat di dekatnya. "Jwesonghamnida, ahjussi. Apa kami boleh meminjam mobil yang di depan? Adikku sakit." tanyanya dengan nada memohon.

Laki-laki tua itu memandang Suga sebentar sebelum kemudian melirik Jimin yang hanya bisa bersandar pada tubuh kakaknya. Mata sipitnya nyaris benar-benar tertutup dan hanya mengerjap lemah beberapa kali. "Tapi berbahaya berkendara di saat seperti ini." Agaknya laki-laki itu menaruh simpati kepada Jimin, tapi ucapannya benar juga. Salah sedikit saja, mungkin mereka akan terjebak di luar. Itu jelas jauh lebih buruk dari pada terjebak di restoran sederhana yang tak memiliki penghangat ruangan seperti ini.

Sial! Apa yang harus aku lakukan sekarang?

"Rumah sakit tidak jauh dari sini." Tiba-tiba suara lain menyahut. Menarik atensi Suga dan laki-laki pemilik restoran untuk sekadar menoleh dan melihat siapa yang barusan bersuara. Laki-laki muda yang mengenakan seragam serupa dengan si pemilik toko. Mungkin pegawainya. "Jalan akan ditutup sebentar lagi. Jika pergi sekarang mungkin masih sempat."

Merasa didukung, Suga menoleh ke arah laki-laki pemilik restoran untuk mendapat keputusan akhirnya. Benar, kan? Mungkin masih sempat. "Aku yang akan mengantar mereka. Ayah kan tahu kehebatanku saat berkendara." Pemuda yang sempat ia kira pegawai kembali bersuara. Ternyata anak pemilik restoran. "Cepat putuskan. Kalau tidak nanti saljunya semakin tebal."

Suga tahu bahwa si pemilik restoran itu masih tidak yakin untuk membiarkan mereka pergi. Tapi melihat keadaannya sekarang, akhirnya ia menghela nafas dan mengangguk. "Baiklah. Tapi meskipun buru-buru, kalian harus tetap berhati-hati."

"Dimengerti." Pemuda itu mengangkat sebelah tangannya, memberi gestur hormat kepada sang ayah sebelum merogoh saku untuk mengeluarkan kunci mobil. "Ayo pergi sekarang." ucapnya kepada Suga.

Setelah pemuda itu bergerak untuk menyiapkan mobil, Suga segera melepas syalnya lalu melilitkan benda itu ke leher Jimin. Ia mencoba untuk bergerak hati-hati, memapah Jimin keluar dari bangunan itu setelah mengucap terima kasih kepada si pemilik restoran.

"Aku akan mengemudi. Kau duduk di kursi belakang saja agar bisa menjaga adikmu." Maka tanpa membantah, Suga masuk ke dalam mobil dengan si pemuda yang membantunya memastikan Jimin duduk dengan benar. Lantas beberapa sekon selanjutnya, mobil itu bergerak perlahan sebelum kemudian meluncur di jalanan yang tertutup salju. Ternyata tidak setebal yang sempat ia kira. Mungkin alasan kenapa jalanan jadi setenang ini karena orang-orang malas keluar saat salju turun. Atau mungkin mereka sempat berpikir jika salju tebal menutupi jalan, sama seperti pikiran Suga sebelumnya.

Menit-menit pertama dihabiskan mereka dalam diam. Suga pikir mereka baik-baik saja selama itu. Tapi kala menyadari gelagat aneh dari pemuda yang sedang mengemudi, pikirannya meliar seketika. "Ada apa?" tanyanya, berusaha tak terlihat panik meskipun sebenarnya itu yang ia rasakan.

"Remnya tidak berfungsi dengan baik."

Apa?!

Last Winter For Us [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang