Sebenarnya Jimin tidak berpikir jika dia akan mendapat pekerjaan secepat ini. Jujur saja dia gugup setengah mati bahkan saat masih di rumah. Dia tidak pernah melamar pekerjaan sebelumnya. Bahkan Jimin tidak tahu cafe itu apa. Di desa tempat tinggalnya dulu tidak ada tempat semacam itu. Pantas kan jika Jimin gugup setengah mati?
Tapi menyerah sebelum mencoba jelas bukan gayanya sekali. Karena itu, di sinilah dia sekarang. Berdiri gugup di depan bangunan yang lumayan besar. Memandangi orang-orang yang keluar masuk dengan berbagai suasana hati lalu berpindah kepada gaya interior yang begitu nyaman dan estetik meskipun dia hanya melihat dari luar. Jimin harus mengakui kecerdasan adik Seokjin dalam memilih hiasan-hiasan dan furniture yang digunakan.
Setelah lama memperhatikan cafe, Jimin menghela nafas panjang. Berusaha meyakinkan diri sebelum kemudian masuk ke dalam. Ramai sekali. Bahkan sampai ada antrean di depan kasir. Ternyata jika di lihat dari dalam seperti ini, suasananya lebih bagus. Pemiliknya benar-benar mempunyai selera tinggi.
"Selamat datang, ingin memesan apa?"
Imajinasi Jimin terhenti ketika seorang laki-laki di depan kasir menyapanya. Ternyata dua perempuan yang tadi berada di depannya sudah pergi. Jimin maju dengan kaku, memastikan jika di belakangnya sudah tidak ada antrean sebelum kemudian berkata, "Aku ingin bertemu pemilik kafe. Bisa tunjukan di mana dia?"
"Ah, dia baru saja datang. Aku akan memanggilnya sebentar. Silakan tunggu di sana saja." Laki-laki itu tersenyum ramah sembari menunjuk meja di ujung ruangan. Jimin mengangguk singkat lalu berterimakasih. Berjalan ke sana sementara laki-laki itu memanggil sang pemilik.
Jika dilihat-lihat, kafe ini memiliki furnitur yang cukup unik. Meskipun Jimin tidak tahu banyak tentang itu, tapi gaya interiornya memang nyaman dan tidak membosankan. Banyak tanaman hidup di sini, kebanyakan bonsai. Sementara di luar ruangan, ada banyak tanaman gantung. Bahkan ada yang menjalar dengan indahnya dan di bentuk memutari papan nama di depan ruangan. Di sini ada akuarium kecil berisi ikan-ikan hias yang lucu. Huh, ternyata memang nyaman berlama-lama di sini.
"Halo. Maaf karena menunggu lama."
Perhatian Jimin teralihkan. Dia segera membungkuk kecil dengan senyum ramah saat melihat seorang laki-laki menempati kursi di hadapannya. Terlihat berkarisma dengan penampilannya saat ini. "Aku sudah dengar dari Jin hyung. Kau yang ingin bekerja di sini?" tanyanya memastikan.
"Ah, benar. Park Jimin imnida." Jimin membungkuk dalam, memperkenalkan diri kepada laki-laki itu. Debaran di dadanya semakin kencang mengingat ini adalah pertemuan pertama dengan orang yang akan menjadi bosnya. Semoga kesan yang ia tinggalkan tidak terlalu buruk.
"Haha santai saja. Namaku Kim Namjoon. Karena aku berumur dua puluh tiga tahun, jadi panggil saja Namjoon hyung, jangan sebutan lain." Laki-laki itu memperkenalkan diri dengan ramah. Jimin bisa melihat cekungan dalam di pipi kirinya ketika tersenyum. Namjoon terlihat baik di matanya. "Ngomong-ngomong berapa umurmu?" tanyanya kemudian.
"Ah, aku tujuh belas."
"Benarkah?" Namjoon justru terkejut mendengar jawaban Jimin. Dia masih muda sekali dan sudah ingin bekerja? "Kau tidak sekolah?"
Jimin tersenyum canggung. Memang seharusnya dia masih sekolah sih di usia sekarang. Tapi tidak ada gunanya juga. Jimin sudah berhenti sejak lulus dari sekolah tingkat pertama. Entah secerdas apapun dia saat itu, Jimin tetap tidak bisa membebani Bibi Lee dengan tetap sekolah. "Aku berhenti sekolah, hyung. Keuangan kami tidak bagus." jawab Jimin sekenanya.
"Di mana rumahmu sebelumnya? Apa pekerjaan orangtuamu tidak bagus?"
Jimin terdiam sejenak. Sebenarnya dia tidak nyaman dengan pertanyaan Namjoon. Tapi laki-laki itu pasti hanya ingin mengenalnya lebih jauh mengingat Jimin akan bekerja di kafe miliknya. "Aku tinggal di Busan. Orangtuaku meninggal saat aku masih bayi, jadi aku tinggal di panti sejak saat itu."
"Oh, maaf."
Jimin menggeleng. Senyumnya mengembang, berusaha menghilangkan canggung di antara keduanya. "Tidak apa-apa, kok. Aku bersenang-senang di sana. Aku tidak merasakan apapun lagi saat membahas itu." ujarnya dengan senyum lebar.
Namjoon masih diam, tentu tetap merasa bersalah karena harus membuat Jimin menceritakan peristiwa itu kepadanya. Namjoon tahu rasanya kehilangan kedua orang tua. Tahun lalu kedua orang tuanya menjadi korban kecelakaan pesawat saat dalam perjalanan ke luar negeri. Rasanya dia tidak bisa melakukan apapun selama berhari-hari setelah mendengar kabar itu.
"Kim Namjoon, berani sekali pergi dari studio dan hanya meninggalkan lirik."
Atensi keduanya teralihkan. Di sana seorang laki-laki berjalan dengan wajah seram yang dibuat-buat. Fokusnya masih kepada Namjoon hingga tidak menyadari keberadaan Jimin. "Maaf. Aku ada janji, jadi harus pergi dulu. Setelah ini aku pasti kembali, kok." ujar Namjoon.
Kalimat itulah yang mengalihkan atensi laki-laki itu. Matanya sedikit membelakak saat melihat Jimin duduk tenang di sana. "Kau yang kemarin." ujarnya hingga berhasil membuat Namjoon mengernyit. Jadi mereka sudah saling mengenal? "Lenganmu sudah baik-baik saja?" tanyanya lagi. Membuat kernyitan di dahi Namjoon semakin dalam.
"Kalian saling mengenal?"
Laki-laki itu memandang Namjoon sekilas. "Tidak juga. Aku hampir menabraknya kemarin." Namjoon sudah membelakak, hampir saja mengomel jika temannya itu tidak berkata kepada Jimin, "Jadi kenapa kau di sini?"
"Dia bekerja di sini mulai sekarang."
Laki-laki itu mengangguk-angguk mengerti. Meskipun dia mengharapkan jawaban dari Jimin, bukan Namjoon. "Kalau begitu perkenalkan, aku temannya. Namaku Jung Hoseok. Umurku sama dengan Namjoon, jadi panggil hyung saja. Tidak perlu terlalu kaku."
"Ne, Park Jimin imnida."
"Kalau begitu kau bisa bekerja mulai hari ini. Pelan-pelan saja. Kau bisa menanyakan semua yang tidak diketahui kepada Jihoon." Namjoon berhenti bicara. Menoleh ke arah orang yang berdiri di depan kasir sebelum memanggilnya, "Park Jihoon, kemari sebentar."
Laki-laki yang dipanggil Jihoon itu menoleh cepat lalu berjalan ke arah mereka. "Aku harus kembali ke studio. Mulai sekarang Jimin akan bekerja di sini. Tolong ajari dia, ya?"
"Siap, hyung."
Namjoon tersenyum kecil. Dia segera berdiri lalu menepuk pundak Jihoon. "Jangan terlalu keras kepadanya. Jimin belum mengetahui banyak hal. Awasi dia untuk seminggu ke depan." ujarnya sebelum kemudian menoleh ke arah Jimin. "Jangan memaksakan diri. Bertanya saja jika tidak tahu. Kami pergi sekarang."
Jihoon dan Jimin mengangguk serentak. Melihatnya membuat Namjoon kembali tersenyum sebelum kemudian berjalan pergi bersama Hoseok. Ke studio katanya? "Jihoon-ssi, Namjoon hyung memiliki pekerjaan lain?"
"Panggil Jihoon saja. Aku menguping tadi, umur kita sama." Pemuda itu mengedip sekali dengan senyum lebar yang tersungging apik di wajahnya. "Mereka berdua itu produser musik. Solois juga jika sedang ingin." lanjutnya.
Lagi-lagi Jimin dibuat mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja dia merasa familiar saat pertama melihat Hoseok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fiksi Penggemar[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...