Bahkan langit pun masih cerah hari ini. Matahari seolah sedang dalam mood yang baik untuk membagikan sinar panasnya kepada penghuni planet hijau bernama Bumi. Lelaki yang baru saja menginjak umur tiga puluh itu jelas tahu saat ia mendongak sembari melepas kaca mata hitam yang sebelumnya bertengger di atas hidung. Terlalu terik untuk ukuran hari di awal musim gugur.
Suga menghela nafas perlahan, melempar kaca matanya ke dalam mobil sebelum kemudian menutup pintunya. Pandangannya bergulir, menyusuri lahan luas itu sekali lagi sebelum melangkah masuk ke dalam sana. Lantas setelah menghabiskan nyaris dari satu menit untuk menyusuri petak-petak tanah yang berjajar itu, langkahnya terhenti di tempat yang biasa ia kunjungi selama tujuh tahun terakhir itu. Hanya diam di sana sembari memandang apapun yang ada di hadapannya.
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
Seharusnya Suga tak perlu bertanya. Toh takkan ada yang menjawabnya. Tapi meski telah bertahun-tahun semenjak kejadian itu, dia masih akan terus datang ke tempat ini dengan tujuan yang sama. Hanya diam selama bermenit-menit, memandangi sebuah nisan dengan nama sang adik sebelum kemudian melontarkan pertanyaan yang telah ia suarakan hampir ribuan kali.
"Aku sering datang karena aku takut kau kesepian," Jemarinya bergerak perlahan, menyapu ukiran nama sang adik yang tercetak jelas di sana. Ia tersenyum kecil—sedikit dipaksakan—sebelum kemudian menyingkirkan bunga yang sudah hampir mengering di sana lantas menggantikannya dengan bunga baru yang ia bawa.
"Sudah lama, ya? Belakangan ini aku merindukanmu. Kau tidak ingin datang ke mimpiku atau apa?
Sudah lama memang. Musim dingin tujuh tahun yang lalu. Saat mobil yang ia tumpangi bersama Jimin dan satu pemuda lain saat itu akhirnya tergelincir dan menabrak pembatas jalan hingga terguling dan berhenti di tepi Sungai Han. Ia ingat saat itu telah berusaha keras mendekap tubuh Jimin agar tak mengalami terlalu banyak benturan. Tapi tenaganya hilang saat mobil itu terbalik untuk yang ketiga kalinya. Lantas penyesalan terbesarnya adalah karena ia tak memiliki cukup kekuatan untuk mempertahankan tubuh sang adik hingga pemuda tujuh belas tahun itu menjadi satu-satunya yang kehilangan nyawa karena tubuhnya terguling keluar dari mobil dan tenggelam di dalam air.
Mungkin saat itu Suga memang orang yang terluka paling parah. Tapi dia beruntung karena mendapat pertolongan medis lebih cepat dari Jimin. Sementara adiknya itu harus dinyatakan hilang selama delapan jam di dalam air sedingin itu dan baru bisa dievakuasi dalam keadaan kaku dan nyaris membeku. Suga tak melihat dengan matanya sendiri karena ia bahkan tak bisa membuka mata selama nyaris dua hari penuh. Tapi ia benar-benar melihat tubuh sang adik yang telah terbujur tanpa nyawa sesaat sebelum dimakamkan. Tidak terluka banyak, tapi dia harus menjadi satu-satunya yang pergi.
Suga ingat sekali bahwa ia banyak menangis hari itu. Mengucapkan kata maaf berkali-kali kepada Jungkook yang menangis keras karena tak berhasil melindungi Jimin hingga mereka harus kehilangan sosok pemuda itu. Lalu entah bagaimana dia dan anak itu jadi semakin dekat dari seiring waktu berjalan.
Hari itu tidak banyak yang datang ke pemakaman Jimin. Hanya orang-orang yang mengenalnya beserta keluarga pemilik restoran yang merasa ikut bertanggungjawab atas kejadian itu. Mungkin karena Suga masih dalam keadaan lemah saat itu, dia tidak terlalu memperhatikan. Dia bahkan berhasil menimbulkan kepanikan karena tiba-tiba kehilangan kesadaran sebelum kembali ke rumah sakit. Jika mengingat keadaannya saat itu—di mana ia baru saja siuman dan masih membutuhkan banyak perawatan medis—rasanya ikut ke pemakaman Jimin sama saja dengan aksi bunuh diri.
Tentang si pemuda yang mengemudi, dia tidak terluka terlalu parah. Ia sadar dari pingsan tiga jam setelah kejadian. Suga jelas tidak bisa menyalahkannya karena pemuda itu hanya berniat membantu meski akhirnya malah harus mengalami kecelakaan parah. Mungkin seharusnya hari itu dia tetap di restoran sampai cuaca sedikit lebih baik. Jika itu yang terjadi, mungkin Jimin masih bisa tersenyum konyol seperti biasa. Dan mungkin Suga tidak akan merasa sekacau ini dalam waktu lama.
Yoongi hyung. Suga tidak pernah berpikir bahwa hari itu adalah kali pertama dan terakhir baginya untuk mendengar Jimin memanggilnya dengan nama itu. Nama spesial yang hingga saat ini hanya Jimin saja yang bisa menyebutnya. Karena pada kenyataannya ia tetap menggunakan nama Suga dan menyimpan nama dan identitas aslinya hanya untuk dia yang telah lama pergi.
"Semoga Yoongi hyung selalu bahagia."
"Hyung tidak tahu ya? Katanya harapan yang diucapkan saat salju pertama turun akan menjadi kenyataan."
Mungkin jika tidak mengingat kalimat yang diucapkan Jimin hari itu, Suga akan benar-benar kehilangan dirinya sendiri. Dia tidak tahu apakah ia pantas untuk bahagia atau tidak. Tapi setidaknya dia akan berusaha melakukannya agar harapan Jimin benar-benar menjadi kenyataan. Setidaknya... Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk adiknya.
Entah sudah seberapa jauh ia berkembang selama ini. Mungkin untuk sekarang namanya sudah dikenal hampir setengah masyarakat Korea karena berhasil menciptakan banyak lagu populer dan sebuah novel yang sempat menjadi buku paling banyak dicari pada masanya. Entah dari mana ia memiliki keinginan untuk menulis kisah yang dibukukan.
Suga hanya merasa telah banyak hal yang terjadi. Ia tahu bahwa ada kemungkinan suatu hari ia akan melupakan hal-hal yang pernah terjadi di masa lalu. Jadi ia berusaha menyimpan semuanya dalam buku. Mengisahkan bagaimana ia bisa sekacau ini bahkan sejak ia belum dilahirkan.
Suga berniat untuk bangkit, tapi tubuhnya tersungkur kembali hingga kemudian ia menyerah untuk mencobanya. "Sepertinya aku bekerja terlalu keras belakangan ini. Maaf, ya. Aku akan beristirahat setelah kembali dari sini." Tapi untuk sekarang ia perlu mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dan membawa tubuhnya pergi. Mungkin Jimin sedang ingin menahannya lebih lama di sini.
"Suga hyung?"
Mendapati suara yang familiar di telinganya, Suga menoleh hingga mendapati sosok seorang remaja di belakangnya. Masih dengan seragam sekolah menengah sambil mendekap rangkaian bunga di depan dada. "Eoh? Jungkookie, kau datang juga?"
Anak itu mengangguk. Ia bergerak untuk berjongkok di sebelah Suga lantas meletakkan bunga yang ia bawa ke atas nisan Jimin. Jemarinya bergerak perlahan, menyapu nama Park Jimin yang dicetak di sana seperti yang dilakukan Suga beberapa saat yang lalu. "Aku datang, hyung." lirihnya.
Jungkook menoleh, memandang Suga yang sengaja memperhatikan apa yang ia lakukan sembari berucap, "Aku lulus dari sekolah menengah hari ini, jadi harus pamer kepada Jimin hyung." Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi kelinci yang membuatnya terlihat menggemaskan. Pasti sengaja, pikir Suga.
"Kau selalu datang untuk pamer, ya? Saat menang kejuaraan taekwondo dan panahan juga kau kemari." balas Suga hingga berhasil membuat anak itu tertawa kecil. Tepat sekali memang. Dia selalu datang untuk pamer ke Junghyun dan Jimin setiap mendapat kabar baik lalu mengeluh beberapa kali karena hal-hal yang tak menyenangkan.
"Karena aku sudah lulus, hyung tidak ingin membelikanku makanan atau apa?"
Suga hanya berpura-pura mendesah kecewa saat mendengar ucapan Jungkook. Membelikan makanan saat anak itu mendapat pencapaian jelas hanya omong kosong. Nyatanya Jungkook selalu memeras uangnya setiap bertemu. Tapi meskipun begitu dia akan selalu menyodorkan kartunya kepada anak itu tanpa pernah mengatakan tidak. "Baiklah, aku juga belum makan."
"Eiii pantas hyung terlihat hanya tinggal tulang saja." Jungkook segera bangkit. Membantu Suga untuk berdiri sembari melanjutkan dengan nada pamer, "Aku saja sudah hampir memiliki otot perut. Hyung payah."
"Haha iya, iya." Suga mengikuti langkah Jungkook yang membawanya pergi dari sana. Menoleh ke arah makam Jimin yang akan ia tinggalkan sebelum kemudian mengulum senyum tipis. Aku akan bahagia, Jimin-ah. Jadi jangan khawatir lagi.
-Last Winter for Us-
Written by SitiAzizah903
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfic[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...