Ternyata jalur yang dilewati mobil Suga tidak sejauh rute bus yang tadi mereka tumpangi. Tentu karena Jimin yang duduk di sebelah laki-laki itu terus menginstruksikan Suga untuk mengambil jalan yang menurutnya akan mempersingkat waktu. Tidak banyak persimpangan, mungkin memang hanya itu akses jalan satu-satunya yang dimiliki desa. Aspalnya sudah retak dan berlubang di mana-mana. Masih bisa dilewati, tapi cukup memakan kesabaran. Meskipun begitu Suga mengerti kenapa Jimin memilih rute ini. Jika melewati jalan yang lebih layak dilalui mungkin akan memakan lebih banyak waktu. Dan dari penglihatannya, Jihoon tidak memiliki kesabaran ekstra untuk itu. Laki-laki tujuh belas tahun itu pasti menaruh banyak harapan karena Suga bersedia mengantar.
Sepanjang jalan yang mereka lewati, ada banyak pepohonan dan tumbuhan liar karena memang jalur itu berada di pinggir hutan. Kata Jimin masih banyak binatang liar di sana. Suga sih iya iya saja selama tidak ada singa atau harimau yang menyerang mobilnya. Apalagi kawanan gajah yang kemungkinan tiba-tiba menginjak kendaraan itu karena tidak melihat-lihat jalan. Tidak terima kasih. Ini saja mobil Jay. Bisa mati dikuliti dia jika sampai mobilnya tergores barang sedikit saja. Umurnya masih dua puluh tiga dan Suga masih ingin menghabiskan setengah abad lagi untuk sukses, menikah, dan memiliki keluarga yang bahagia. Enak saja harus mati hanya karena hewan liar sialan begitu.
"Tidak ada binatang buas, hyung. Jangan berpikiran macam-macam." Jimin bersuara, seolah tahu betul apa yang sedang Suga pikirkan saat ini. Dia bahkan sudah memasang wajah tak menyenangkan seakan menyatakan bahwa laki-laki dua puluh tiga tahun itu adalah manusia paling aneh di muka bumi.
Suga memilih untuk tidak menjawab. Dia masih fokus untuk menjalankan mobilnya tanpa harus menabrak pepohonan karena demi Tuhan jalan di sini sempit sekali. Jimin pasti sengaja menguji kemampuan berkendaranya. Seseorang harus membangun desa ini agar memiliki fasilitas yang lebih memadai. Jika begini terus keterjangkauan fasilitas umun—yang kebanyakan ada di kota—tidak akan bisa dicapai oleh masyarakat desa.
"Itu dia tempatnya." Suga harus menutup telinga karena tiba-tiba Jimin berteriak keras. Dia bisa melihat bangunan sederhana di sisi kanan jalan. Dari posisinya saat ini hanya berjarak lima puluh meter. Semakin dekat, Suga bisa melihat berbagai tanaman bunga di sekitar bangunan. Tempat yang indah dan menyenangkan.
Sesuai dengan instruksi Jimin, Suga memarkirkan mobil di halaman depan bangunan. Kedua pemuda yang lebih muda sudah turun begitu tak mendapati kendaraan itu bergerak lagi sementara Suga masih harus mematikan mesin lalu menguncinya. Begitu Suga keluar, yang ia lihat pertama kali adalah anak-anak yang berebut untuk naik ke gendongan Jimin. Dia populer sekali di mata anak-anak.
Bangunan itu terlihat lebih sederhana dari yang Suga duga. Selain bunga dan pepohonan yang tumbuh indah di sekitarnya, Suga hanya melihat kotak pasir dan jungkat-jungkit di sana. Kemudian saat atensinya berpindah, sumur kecil yang terlihat agak di belakang bangunan berhasil membuatnya terdiam. Objek itu terlihat berbahaya untuk kumpulan anak-anak yang mungkin terlalu ceroboh. Tanpa pelindung atau dinding apapun di sekitarnya. Jika seseorang terpeleset lalu jatuh ke dalam, itu akan sangat berbahaya. Selain itu dinding kayu dan pilar yang menopang bangunan itu sudah terlihat rapuh. Suga cukup sangsi jika itu akan bertahan tanpa renovasi secepatnya.
Jadi ini tempat Jimin dibesarkan? Menyedihkan sekali.
Dinding bangunan dicat menggunakan warna coklat dan cream yang nampak tenang. Sebagian besar warnanya sudah memudar dan tidak terlihat akan dicat ulang. Lantainya terbuat dari kayu yang bahkan terlihat bisa hancur begitu saja jika diinjak terlalu kuat. Hal-hal yang asing, tapi sesuatu mendesak Suga untuk mengakuinya seperti hal yang tersimpan di sudut gelap dalam otaknya. Ingatan yang bahkan tidak bisa ia temukan dan berhasil membuat kepalanya pening dalam seketika.
"Suga hyung, kenapa diam di sana?"
Panggilan keras dari rumah itu membuat Suga berhenti memaksa otaknya untuk bekerja ekstra. Laki-laki itu menoleh lantas mendapati Jimin berdiri sendirian di depan pintu. Agaknya semua anak yang ada di sana sudah masuk ke dalam rumah. Menyisakan Jimin karena masih harus memanggil Suga yang terlihat berminat untuk berpura-pura menjadi patung.
Karena tak mendapati respon berarti dari yang lebih tua, Jimin bergegas berlari menghampirinya dengan raut kesal yang begitu kentara. Niatnya ingin langsung menarik Suga untuk masuk menyusul yang lainnya. Tapi begitu sadar jika jemari panjang laki-laki itu sedikit bergetar, Jimin justru mengernyit karena demi Tuhan dia tidak mengerti apa yang terjadi di sini.
"Hyung kenapa? Sakit?" tanyanya dengan raut khawatir yang tercetak jelas di wajah. Berusaha menangkap sedikit saja pergerakan dari Suga meskipun nyatanya laki-laki itu hanya terdiam sembari memandangi bangunan di hadapan mereka. Mendadak saja—di mata Jimin—wajah Suga yang dasarnya sudah pucat menjadi bertambah pucat. "Hyung sakit, ya? A-ayo masuk dulu. Atau ke rumah sakit saja? Hyung jangan membuatku takut dong."
Suga mengerjap sekali. Jimin masih memperhatikannya saat laki-laki itu menggeleng kuat dengan mata terpejam. Rasanya semakin bingung karena Jimin benar-benar belum pernah melihat Suga begini sebelumnya. "Gwenchana. Ayo masuk saja." ujarnya berjalan mendahului Jimin yang mendadak membeku di tempat.
Setelah Suga membuka sepatu yang ia pakai di depan pintu, Jimin baru tersadar dan buru-buru berlari menghampiri laki-laki itu. Dia masih mengekor di belakang yang lebih tua sembari mempertahankan atensinya. "Hyung yakin tidak apa-apa? Hyung sakit, ya? Kenapa pergi sejauh ini jika sedang sakit? Bukannya beristirahat dengan benar."
Jimin nyaris menabrak punggung Suga karena laki-laki itu tiba-tiba menghentikan langkah. Beruntung dia segera berhenti meskipun bingung karena hal itu. Dia belum sempat bersuara saat Suga berbalik, memandangnya tanpa mengatakan apa-apa. Membuat Jimin mengernyit sekali lagi karena Suga tiba-tiba bersikap aneh setelah tiba di sini.
"Hyung benar-benar sakit, ya?"
"Kurasa Jihoon menunggumu." Bukan jawaban yang Jimin tunggu. Tapi begitu mendengarnya, Jimin segera tersadar dan buru-buru melewati Suga untuk menemui Jihoon yang kemungkinan sedang bersama anak-anak. Bisa dikuliti hidup-hidup dia jika sampai membuat Jihoon menunggu.
Suga sebenarnya berniat untuk mengikuti pemuda itu, tapi seketika urung ketika menyadari bahwa dirinya tidak membawa ponsel. Jadi Suga segera berbalik untuk kembali ke mobil dan mengambil benda persegi pipih itu—yang seingatnya ia letakkan di dalam tas—sebelum ikut menemui anak-anak. Seharusnya tadi dia membeli sesuatu untuk dibagikan kepada mereka.
Saat membongkar isi tasnya, Suga menemukan sebuah dompet dan ponsel di kursi sebelah kemudi. Pasti milik Jimin karena ponsel itu terlihat sama persis dengan ponsel yang diberikannya kepada pemuda itu kemarin. Jadi dengan niat baik agar Jimin tidak kebingungan mencari kedua benda itu, Suga ikut mengambilnya setelah menemukan ponsel yang ia cari.
Suga melihat sebuah foto terjatuh dari dompet milik Jimin. Jadi dia segera mengambilnya untuk dikembalikan. Tapi begitu melihat foto itu dia malah terdiam. Anak laki-laki yang terlihat familiar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Winter For Us [END]
Fanfiction[방탄소년단 × 박지민] "Katanya dulu aku punya keluarga." Menjalani hari-hari dengan kumpulan anak di panti asuhan membuat hidup seorang Park Jimin terasa spesial. Memiliki banyak teman, kakak, dan adik hingga ia tak pernah merasakan kesepian. Atas suatu ala...