***
"Hai Zara."
Semua mata memandang Fahriza penuh dengan penuh tanya. Iya, mereka merasa bingung siapa yang disapa oleh laki-laki berwajah oriental yang berdiri bersampingan dengan Rofa. Ayu memperhatikan arah pandang Fahriza. Tersenyum cerah saat mendapati bahwa yang dipandang laki-laki itu adalah Khanza.
"Kok, lo manggil Zara, sih?" Rofa bertanya dengan wajah kebingungan.
Fahriza menoleh dengan senyum penuh arti di bibirnya.
"Dia emang Zara," jawabnya."Wah, lo salah manggil, Bro." Rofa menepuk pundak kiri Fahriza. "Nama dia Khanza, bukan Zara," lanjutnya dengan jari telunjuk yang mengarah pada perempuan berkacamata bulat.
"Kagak, Bro. Gue bener, kok, ya, kan, Zara?" Fahriza beralih menatap Khanza yang duduk dengan pandangan ke arah mejanya.
Merasa dipanggil, Khanza pun mendongak, tatapannya tertuju pada sosok Fahriza. "Eh, iya."
Fahriza menjentikkan jarinya girang. "Nah, kan."
Semua masih memasang wajah bingung, belum mengerti mengapa Fahriza memanggil Khanza dengan nama Zara. Merasa teman-temannya masih bingung dengan apa yang mereka dengar, Fahriza pun kembali membuka suara.
"Zara itu nama panggilan Khanza sejak kecil, ya, kan, Zara?" Lagi-lagi Fahriza melibatkan Khanza dalam perkataannya. Khanza mengangguk pelan membenarkan perkataan Fahriza. "Iya, Riza."Hah?"
Lagi-lagi mereka terbengong mendengar panggilan itu. Mereka benar-benar baru tahu panggilan masa kecil teman-temannya.
"Apa kabar, Zara?" Fahriza mengalihkan topik obrolan mereka karena niat awalnya menghampiri meja itu untuk menyapa teman kecilnya. Laki-laki itu menarik kursi Isna ke samping Khanza, lalu mendudukinya.
Khanza mengerjap. "Ah, alhamdulillah, baik. Canggung, itulah yang Khanza rasakan saat ini. Sudah lama ia tak bertemu bahkan berbincang dengan Fahriza. Di masa kecil pun, mereka tak terlalu dekat.
"Gak nanya balik, nih?" tanya Fahriza, bersedekap dada. Khanza menggaruk pipi, tersenyum kikuk. "Gue— eh, aku baik, kok," sambungnya.
"Lama gak ketemu, rumah masih di sana, kan?" Fahriza kembali melontarkan pertanyaan agar mampu memecahkan rasa canggung yang melanda perempuan di sampingnya yang sedari tadi memasang wajah kikuk.
"Masih."
"Nanti aku boleh ma—"
"Makanan datang," seru Fathah di ambang pintu. Laki-laki iti membawa nampan berisi empat mangkuk mie diikuti Alif yang membawa kresek putih di tangan kanannya berjalan menuju bangku mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
KhanFa ✔️
Teen FictionBaca aja dulu :) Fiksi remaja Menyimpan rasa pada lawan jenis memang hal wajar, tetapi cara menyikapi rasa tersebutlah yang harus diperhatikan. Khanza Azzara, perempuan dengan kacamata berbingkai bulat yang selalu membingkai wajahnya itu mulai mer...