Bab 21 || Pernah Tidak?

73 12 12
                                    

Langit sore ini nampak cerah dihiasi awan putih yang bergulung indah terkena sinar jingga dari sang mentari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit sore ini nampak cerah dihiasi awan putih yang bergulung indah terkena sinar jingga dari sang mentari. Manik mata yang tak kalah indah itu tertuju memandang langit sebelum akhirnya mengerjap kaget saat sesuatu yang terasa dingin menempel di pipi kanannya.

"Boba untuk Zara." Setelah satu cup minuman tersebut berpindah tangan, si pemberi pun mengambil ruang di samping Khanza.

Keduanya duduk di bangku taman belakang kediaman Fahriza yang nampak seperti hotel itu. Setelah Faiq terlelap, Fahriza mengajaknya untuk duduk di sana menikmati minuman bernama Boba yang laki-laki itu beli di taman kota yang terkenal enak di daerah sana. Waktu terus berlalu, tetapi belum ada yang membuka suara memecah hening yang menyelimuti.

Menaruh minuman di samping kanan, Khanza menoleh sekilas pada Fahriza yang ternyata sedang menatap hamparan langit.

"Em ... Riza pernah gak—"

Sebelum kalimat itu selesai, Fahriza sudah menoleh dan memotong ucapan nya dengan bertanya, apa? Bibir basah Khanza merenggut karena hal itu, ia kan belum selesai bicara!

Melihat raut kesal Khanza yang jarang nampak membuat laki-laki yang menyandarkan tubuh di bangku taman terkekeh. "Maap,maap, yuk terusin. Mau bilang apa?"

Kini tatapan Khanza tertuju pada taman bunga di hadapannya. "Kamu pernah gak merasa down akibat cibiran orang lain?"

Satu alis Fahriza terangkat, jika seperti ini mungkin perempuan di sampingnya sedang merasakan hal yang ditanyakan karena ia sempat diberitahu oleh Ayu jika ada yang sedang membuat Khanza merasa down untuk terus berkarya. Untuk itu, otaknya langsung menyusun kalimat yang membangun semangat.

"Hmm ... mungkin pernah, oh bener pernah!" ungkapnya, ada jeda dua detik sebelum memulai cerita. "Dulu, ada yang bilang gini, "dia mau santai-santai juga gak masalah, toh duitnya terus ngalir dari orang tuanya yang tajir melintir" terus ada juga, "anak orang kaya mana mau diajak susah apalagi kerja keras. pasti taunya cuma neima uang tanpa kerja" gitu."

Fahriza meneguk Boba miliknya sebelum melanjutkan cerita. "Gini, terkadang orang hanya melihat dari satu sisi atau ya, bisa di bilang hanya melihat cover. Iya, mungkin orang-orang taunya aku anak orang kaya yang kalo mau apa-apa tinggal ngadahin telapak tangan ke hadapan orang tua dan langsung di kasih, tapi nyatanya orang tuaku tak menerapkan sistem manja dalam keluarga. Semua harus berproses, Ra. Dulu, aku pingin handphone juga Ayah nyuruh aku lakuin sesuatu yang kreatif dulu baru di kasih. Meski  orang tuaku akan memberi fasilitas yang memadai untuk kebutuhan anak-anaknya." Fahriza mengembuskan napas pelan. "Saat ada orang yang bilang gitu, aku mulai paham kalo terkadang orang hanya  memandang dalam satu sisi saja, padahal kalo memandang sesuatu dari berbagai sisi, kan, hasilnya akan berbeda. Kita akan mendapat jawaban dari sejuta pertanyaan dan gak akan mandang dari luar aja."

Khanza mengangguk setuju. Faktanya memang banyak orang yang lebih suka memandang seseorang dari luarnya saja dan men-jugle berdasarkan apa yang dilihatnya secara sekilas. Padahal terkadang tidak semua isi akan sama dengan cover, maka dari itu marilah mencoba memandang dari berbagai sisi.

KhanFa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang