Perempuan berkacamata bulat itu duduk di tempatnya dengan bol poin berkepala Doraemon di tangannya. Matanya terfokus pada buku di depannya. Sibuk menulis tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya yang begitu berisik.
Tabuhan meja dan nyanyian tak jelas di belakang sana tak membuat fokusnya teralihkan. Hingga pada saat sebuah tangan menepuk pundaknya.
Ia mendongak sambil menggangkat bol poin. "Dih, kaget."
"Serius amat." Nafdhita duduk di kursi samping Khanza. "Lagi apa, sih?" Perempuan itu mencondongkan tubuh ke arah Khanza, hendak melihat apa yang ditulis temannya.
Dengan segera Khanza menutup buku diary bersampul unggu itu dam menjauhkannya dari jangkauan Nafdhita.
"Liat, dong."
Khanza menggeleng, lalu dengan cepat menyimpan buku tersebut ke dalam tas.
"Nulis apa, sih? Cerpen?" tebak Nafdhita. Satu kebiasaan Khanza jika jam kosong. Ia akan menulis di buku diary yang selalu dibawanya kemana-mana. Nafdhita pernah membacanya. Di dalam buku terdapat kumpulan cerpen, qoutes, dan referensi artikel dll.
"Rahasia," balas Khanza dengan nada menggoda. Tangan Nafdhita terulur untuk mencubit gemas pipi temannya itu.
"Sssttt, Pak Budi dateng." Suara Alif membuat suasana seketika hening. Tak lama dari itu, Pak Budi memasuki kelas.
Suasana kelas mulai kondusif. Pak Budi mulai mengabsen satu per satu murid di sana. Menyuruh mereka membaca materi terlebih dahulu sebelum beliau menjelaskan.
Lima belas menit berlalu dengan keadaan kelas yang hening, tiba-tiba seorang murid yang duduk di bangku keempat dari depan memekik diiringi suara benda jatuh hingga menarik atensi seluruh penghuni kelas termasuk sang guru.
"Ada apa?" tanya Pak Budi.
Murid laki-laki berkacamata itu menggeleng sambil unjuk gigi. "Tidak, Pak. Maaf."
Pak Budi hanya menggeleng, lalu kembali memeriksa beberapa lembaran berkas didepannya. Tak lama beliau beranjak.
"Bapak keluar dulu, jangan ribut, ya," pesannya. Kemudian berjalan meninggalkan kelas sambil membawa berkas.
"Lo kenapa?" tanya Fahriza pada temannya yang tadi berteriak.
"Main game cacing. Kaget gue pas ada cacing gede nabrak punya gue. Jadi refleks teriak dan hp jatuh," jelasnya.
Teman satu bangkunya tertawa sambil menepuk pundak temannya. "Gue juga kaget."
"Untung kagak ketahuan." Laki-laki berkacamata itu mengelus dada.
***
Tak ribut saat tak ada guru di dalam kelas bukanlah kelas Khanza. Sama seperti kali ini setelah memastikan Pak Budi sudah jauh dari kelas, para murid kembali rusuh hingga menimbulkan kegaduhan dalam kelas.
Ayu membalikkan posisi duduknya. Menatap bergantian dua temannya. "Jajan, yuk," ajaknya.
Nafdhit menatap Ayu. "Emang boleh?" tanyanya.
"Si Isna barusan keluar mau jajan katanya."
"Ayo, deh." Nafdhita menyetujui. Sebelum beranjak perempuan itu memaksa Khanza agar ikut bersamanya.
Saat akan tiba di kantin yang sepi. Tiba-tiba Nafdhita berhenti berjalan dan berkata, "Aku gak jadi jajan, deh. Aku duluan, bye." Tanpa membuang waktu lagi, Nafdhita berbalik dan berlari meninggalkan dua temannya yang nampak binggung.
"Lho, kenapa?" Khanza masih dengan wajah binggungnya. Ayu mengedikkan bahu.
"Kebelet mungkin," balasnya asal. Perempuan itu menggandeng lengan Khanza, mengajaknya kembali berjalan. Empat meter lagi mereka sampai di kantin, tapi ...
Sebuah suara bariton mengejutkan mereka. "Hey, kalian! Ngapain di situ?"
Suara itu ... suara Pak Budi! Keduanya menoleh ke arah sumber suara, dan benar saja, di depan koprasi berdiri seorang guru yamg jam pelajarannya sedang berlangsung di kelas mereka. Jantung kedua perempuan itu langsung berdetak kencang.
"Lari, Za!"
Keduanya berbalik badan dan berlari terbirit-birit di koridor sekolah yang sepi karena masih jam KBM. Keduanya berlari saling senggol saat berbelok dan masuk ke dalam kelas dengan tawa yang tak bisa ditahan lagi.
Napas mereka memburu, Khanza berjongkok di dekat pintu sedangkan Nafdhita berselonjoran.
"Parah banget!" kata Nafdhita sambil tertawa. Keduanya beranjak dengan tawa yang belum mereda.
"Kenapa?" Via bertanya dengan wajah kebingungan. Tak ada yang menjawab karena yang ditanya masih sibuk tertawa dan mengatur napas.
Tak lama setelah Khanza berhenti tertawa, ia memilih kembali membaca materi. Sepuluh menit kemudian Pak Budi kembali.
Ayu dan Khanza diam-diam menahan tawa yang akan meledak saat itu juga. Menghela napas dan menghembuskan napas pelan guna menahan tawanya.
***
Khanza merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah membereskan tugas sekolahnya. Mengingat kejadian tadi di sekolah, perempuan itu terkikik geli.
Memilih beranjak dan mengambil buku diary dalam tas dan duduk di kursi yang beberapa saat lalu ia duduki.
Menuliskan sebuah kisah yang tak akan terlupakan sampai kapanpun. Kisah konyol yang baru pertama kali Khanza alami di bangku sekolah. Kisah yang ia beri judul 'Tercyduk'.
***
Yeyyyyyyy alhamdulillah double update 🥳😁
Gimana? Ada yang ingin disampaikan pada :
Khanza?
Ayu?
Atau yang lain?
Krisar selalu kutunggu 🙏
Utamakan membaca Al-Qur'an, yaaaaa.
Jazakumullah sudah berkenan membaca cerita ini. 🙏🤗💜
See you next part, Insya Allah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
KhanFa ✔️
Teen FictionBaca aja dulu :) Fiksi remaja Menyimpan rasa pada lawan jenis memang hal wajar, tetapi cara menyikapi rasa tersebutlah yang harus diperhatikan. Khanza Azzara, perempuan dengan kacamata berbingkai bulat yang selalu membingkai wajahnya itu mulai mer...