"Jadi menurut kamu orang lain lebih penting?
Apa kamu yakin mereka mau tanggung jawab sama kebahagiaan kamu?
Kadang kesannya emang jahat, tapi ada kalanya kita harus egois.
Nggak bisa ngalah terus, apalagi kalau udah tau nantinya bakal paling tersakiti."*****
[Enam bulan sebelumnya]
"What. The hell?"
Setelah melangkah dengan hak sepatu sengaja dihentak-hentakkan, kusodorkan layar ponselku tepat di depan hidung Doyoung.
"Apa?" dia sekilas menatap ponselku lalu mendongak menghadapi tampang marahku.
"Ini apa-apan? Kamu pikir saya pelacur? Perempuan murahan?' desisku, sengaja dengan nada rendah supaya tidak ada yang dengar ㅡwalaupun di dalam kantor CEO ini hanya ada kami berdua.
"Wow, waitㅡ saya nggak pernah bilang kamu pelacur atau perempuan murahan," Doyoung tertawa garing.
Sejenak aku memejamkan mata untuk menekan emosi, kemudian menatap galak lagi. "Terus ini apa? Pernikahan kontrak? Apa maksudnya, kita bahkan baru kenal beberapa hari yang lalu!"
"Hm... kayaknya ada salah paham," gumam Doyoung kalem. "Duduk dulu. Saya nggak pernah punya maksud jelek, oke? Kamu salah paham."
Aku makin tidak mengerti dengan orang ini. Tapi tampaknya dia memang bukan orang mesum atau jahat. Selain itu di depan ruang CEO ada sekretaris, kalau dia macam-macam aku tinggal teriak.
"Jelasin. Sekarang," tukasku, duduk sambil melipat lengan di depan dada. Tentunya masih menatapnya tajam.
Dia tersenyum. "Relax, saya cuma minta kamu jadi istri saya. Mau kan?"
"Seriously?" aku mendecih. "Beberapa hari yang lalu kita ketemu waktu saya batal bunuh diri, karena apa? Saya benci pernikahan."
"Iya tau, saya juga. Makanya saya mau kita menikah," ujarnya santai. Bisa-bisanya?
Dahiku mengernyit frustasi. "Jadi? What's your point actually??"
Lagi-lagi Doyoung tersenyum. Bukan senyum mesum atau mengerikan. Senyum semacam itu kutemui pada orang-orang yang antusias mengajak rekanan berbisnis.
"Marry me. Saya yakin kita bisa jadi pasangan serasi," ucapnya lugas, singkat, dan jelas.
Aku menggeleng. "Berapa kali saya harus bilang? Saya nggak terㅡ"
"Iya iya, saya juga nggak mau punya komitmen dan tanggung jawab sebagai suami. Saya mau hidup bebas selamanya tanpa terkekang. Kamu juga kan? Itu yang kamu mau?" dia memotong kalimatku. "Makanya, saya mau kita menikah. Cuma sebagai status. Marriage with benefits. Menikah tapi tanpa tanggung jawab pernikahan. Saya bebas, kamu bebas."