"Maaf, Jess. Karena perempuan itu aku butuh waktu yang lama buat sembuh. Maaf, selama ini aku nggak sanggup menyentuh kamu..." Jeff berkata sambil terisak.
*****
Laki-laki yang menikahiku hampir setahun yang lalu, Jeff, adalah seorang CEO di perusahaan fashion pria terkenal di Asia. Kaya? Tentu, dia sangat kaya ㅡbahkan terkenal karena kekayaannya. Dan aku, hanya seorang yatim piatu yang kebetulan pernah jadi salah satu karyawan biasa di perusahaannya.
Mungkin kisah kami terdengar seperti dongeng. Aku baru bekerja sekitar dua tahun dan selalu jadi karyawan teladan karena kepintaranku. Katanya sih itu yang pertama menarik perhatian Jeff, sehingga dia memutuskan untuk mengenalku lebih lanjut. Padahal, kudengar dari para karyawan lama kalau CEO kami belum pernah terdengar tertarik pada wanita mana pun.
Wowㅡ tentu saja saat itu aku merasa sangat istimewa dan berbunga-bunga.
Kebetulan saat itu Jeff sedang sering dirumorkan suka dengan sesama jenis saking lamanya single. Gosip santer terdengar kalau CEO kami pacaran dengan temannya yang pengusaha hotel dan tidak pernah tertarik pada perempuan juga. Tapi gosip itu musnah seketika waktu teman Jeff akhirnya menyebar undangan pernikahan, lalu di hari yang sama aku dia ajak makan siang bersama.
"Nama kamu Jessie kan?"
Aku masih ingat kalimat pertama yang dia tanyakan padaku. Saat itu wajahnya memantulkan pendar lampu dalam remang cuaca mendung.
"Iya," jawabku dengan senyum polos.
Jeff tersenyum lagi sambil menyuap British Roast ke mulutnya. "Kamu lumayan terkenal, karyawan baru yang ambisius. Kontribusi kamu ke perusahaan lumayan besar loh."
"Saya tau," ucapku percaya diri, saat itu sudah super yakin akan naik jabatan.
"Smart, harworker, young, and beautiful. Perfect," ujar Jeff. "Berapa orang yang pernah puji kamu kayak saya?"
Sejujurnya sangat tersanjung, tapi tetap kupertahankan image tangguhku.
"Bapak sendiri, udah puji berapa orang kayak gitu?"Jeff tertawa, lesung pipinya tercetak indah dan menghipnotisku.
"As expected. Intelligent," ujarnya."Thank you," aku tersenyum lebar. Anak buah mana yang tidak senang dipuji bosnya?
Kedua mata Jeff yang tajam tampak beberapa kali menelusuriku, seperti memperhatikan setiap detail tanpa membuatku risih. Aku sangat yakin mau naik jabatan hari ini, jadi tentu saja sudah berdandan secantik mungkin.
"Um...Jessie," akhirnya bosku buka suara lagi.
"Ya?"
"Hari Sabtu kamu ada acara?"