ㅡ💮 Mortician, Chenle

10.4K 2.2K 1K
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Selama ini aku sudah sering membantu kakak-ku merias jenasah.
Tapi baru sekarang jenasahnya... bangun."


*****














"Mereka keluarga kaya, bayarannya pasti sebanyak keluarga yang minggu lalu."

"Tapi... ini kasian kak. Sekeluarga meninggal semua? Pasti keluarga yang tersisa sedih banget," ucapku.

Kakakku hanya mengangkat bahu. Memang ironis, kami mengambil keuntungan dan berbahagia di antara orang-orang yang berduka. Setiap ada orang meninggal, itu artinya kami bisa dapat uang untuk menyambung hidup. Dan untuk tabungan kuliahku.

Pekerjaan kakakku adalah mortician ㅡperias jenasah. Tidak semua orang mau jadi perias jenasah, tentu saja. Banyak yang masih menganggap ini pekerjaan menakutkan. Kakakku juga awalnya tidak mau, tapi kami butuh uang sejak orang tua bercerai. Ibu kabur entah ke mana, ayah menikah lagi. Makanya hati kakakku sudah sekeras batu. Tidak ada lagi yang ia takuti, apalagi jenasah.

Upah merias jenasah bisa dibilang lumayan, tapi tetap saja kakakku tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Dia memilih mengalah, yang penting kami bisa tinggal di tempat yang layak, makan layak, dan aku tidak putus sekolah. Itulah alasan kenapa aku sangat sayang pada kakak-ku. Cuma dia yang kupunya sekarang.

Oh iya, namaku Liu Cherry, dan kakak perempuanku Liu Tamra. Kami sedang di taksi menuju rumah mewah yang pemiliknya baru saja meninggal tragis. Sepasang orang tua dan dua anaknya meninggal dalam kecelakaan. Kasihan sekali, entah kenapa aku ikut sedih.

"Cherry, kamu bisa tunggu di luar kalau takut," kata kakak-ku begitu kami sampai.

"Aku bukan takut, tapi nggak tau kenapa rasanya sedih," jelasku.

"Tapi kamu belum pernah bantu merias korban kecelakaan. Yakin mau ikut?"

Jujur, aku agak gentar. "Separah apa?"

"Katanya mereka meninggal karena benturan di kepala sih. Jadi jasadnya utuh."

"Anaknya laki-laki atau perempuan?"

"Laki-laki semua, seumuran kita," jawab Tamra lagi. "Jadi gimana? Mau ikut masuk?"

"Um... ikut," aku akhirnya memutuskan dengan yakin.

"Oke. Ayo, nanti malam kita makan enak," Tamra tersenyum.

Kudengar kami akan dibayar belasan juta untuk satu jenasah, yang artinya tentu saja panen uang. Enam puluh juta sehari, jarang sekali Tamra dapat uang sebanyak itu. Tapi produk kosmetik yang kami gunakan juga mahal sih, apalagi keluarga ini korban kecelakaan. Jadi menurutku tarifnya sebanding.

Lagipula, enam puluh juta sepertinya hanya harga alat makan keluarga kaya ini. Rumah mereka indah sekali, dipenuhi orang-orang berbaju hitam yang bertampang muram. Hanya Tamra yang berjalan dengan pundak tegak penuh semangat.

"Selamat siang," Tamra menyapa seorang wanita tua dengan seragam pelayan.

"Siang. Tapi... maaf, kami cuma sewa satu perias," kata orang itu.

"Ahㅡ ini adik saya kok, dia sendirian di rumah jadi mau ikut. Tidak perlu dibayar," jelas Tamra.

"Oh... oke. Sebelah sini," perempuan itu membuka pintu di sampingnya.

Kami melewati beberapa lorong dan ruangan demi ruangan dalam rumah besar ini. Sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan yang terasa mencekam. Empat jenasah terbujur kaku di atas tempat tidur khusus mayat. Aku merinding saking sepinya.

"Silakan, jenasah sudah dimandikan dan diawetkan, siap dirias," kata pelayan tadi. "Saya permisi dulu, kalau sudah selesai bisa temui saya di tempat yang tadi."

"Iya," Tamra mengangguk sopan.

Orang tadi pergi, tinggal aku dan Tamra bersama empat jenasah yang siap dirias. Aku mengikuti kakak-ku berjalan menghampiri mayat-mayat itu. Dia memang punya ritual mengajak bicara mayat sebelum melakukan pekerjaannya.

"Tuan, nyonya Zhong, dan anak-anaknya, nama saya Liu Tamra. Saya perias terakhir kalian sebelum dimakamkan. Oh iya, saya dibantu adik saya, namanya Cherry. Terima kasih sudah mempercayai saya untuk merias, saya minta izin untuk melakukan pekerjaan ini," ucap Tamra, santai dan panjang lebar.

"Apa aku juga harus ngomong kayak gitu?" tanyaku.

"Terserah," Tamra mengangkat bahu. "Nggak harus kayak aku barusan sih. Yang penting jangan kasar dan hormati mereka walaupun udah meninggal."

"Oke. Jadi... aku bisa bantu apa?"

"Hm... time's up. Coba bersihin muka anak-anaknya keluarga Zhong, jangan lupa dilem kalau ada luka yang terbuka. Peralatannya tau kan? Ambil aja langsung."

Sesuai instruksi Tamra, aku mengambil peralatan yang dibutuhkan kemudian berdiri di antara dua jenasah laki-laki remaja. Tidak ada luka parah, aku jadi merasa janggal. Ahㅡ tapi bukan urusanku. Pekerjaanku hanya merias mereka.

"Halo, aku Cherry," kusapa dua mayat itu. "Mukanya aku bersihkan dulu ya."

Tamra sudah asyik bekerja. Sementara aku mulai menuang cairan pembersih wajah di kapas. Aku memulai dari anak bungsu keluarga ini, kulitnya seputih susu. Sepertinya memang seumuranku. Kasihan sekali dia harus pergi secepat ini dengan cara yang tragis.

Grep

Kukira aku berhalusinasi, tapi rasanya telalu nyata.

Tangan jenasah ini, mencengkeram pergelangan tanganku. Matanya juga terbuka. Sekarang menatapku tajam. Saking kagetnya, seluruh badanku kaku.

"Cherry..." panggilnya parau. "Nama kamu Cherry kan?"

Tentu saja aku hanya diam gemetaran menatap jenasah yang tiba-tiba bicara itu! Selama ini aku sudah sering membantu kakak-ku merias jenasah. Tapi baru sekarang jenasahnya... bangun.

"Cherry, tolong aku. Aku belum mati..." ucapnya lagi.

Sebentar.

Apa?

Belum mati?


ㅡTbc

Cek ombak dulu, kalo rame cepet lanjut ehehehehehe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cek ombak dulu, kalo rame cepet lanjut ehehehehehe

Sweet RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang