"Kamu liat sendiri tadi, keluargaku meninggal semua. Aku juga harusnya mati, tapi mereka gagal.
Ini pembunuhan, pelakunya adik tiri ayahku."*****
Sudah berkali-kali aku membantu kakak merias jenasah, tapi baru kali ini mayatnya tiba-tiba membuka mata dan bicara. Lalu... apa tadi? Katanya dia belum mati? Sementara otakku memproses semua yang terjadi, badanku sudah gemetar dan berkeringat dingin saking kaget dan takutnya.
"Cherry? Kenapa?" Tamra sepertinya menyadari ada yang tidak beres. Dia berjalan menghampiriku dari seberang ruangan.
"Bilang kakakmu, jangan kaget. Aku masih hidup, aku butuh bantuan kalian..." ujar si mayat, suaranya sangat lemah.
"Cherry," Tamra menepuk pundakku.
Sekuat tenaga aku mengumpulkan kesadaran dan akal sehat untuk bekerja lagi. Sebelum Tamra melihat Zhong Chenle masih hidup, kupegang pergelangan tangannya. Mata tajam Tamra menyipit, kurasa langsung sadar ada yang tidak beres.
"Tamㅡ kamu tau toilet di mana? Kayaknya aku harus ke toilet," ucapku.
"Eh? Tapi kita kan lagi kerja? Cherryㅡ hey, mau ke mana?"
Tamra masih kebingungan saat aku menyeretnya paksa keluar dari ruangan. Aku yakin orang kaya memasang CCTV di rumahnya, jadi kuusahakan mencari titik buta. Rasanya aku ingin menangis saking kaget dan takutnya.
"Tamra, ada yang nggak beres sama keluarga ini," desisku, mencengkeram erat lengannya. "Zhong Chenle belum meninggal, tadi... dia bangun terus minta bantuan."
"Apa? Cherry, kamu nggak lagi berhalusinasi kan??" tanya Tamra, sangsi.
"Tam, aku juga bingung harus gimana bilangnya! Aku tau ini nggak masuk akal, tapi dia minta tolong! Aku nggak berhalusinasi atau salah liat. Demi Tuhan," suaraku bergetar.
Aku tahu kakakku cerdas. Alisnya bertaut, tanda ia sedang berpikir. Kami berpacu dengan waktu, kalau terlalu lama nanti bisa-bisa ada yang curiga. Kutatap Tamra dengan gelisah, keringat dingin mulai membasahi pelipisku.
"Ayah dan ibunya sih udah meninggal, aku yakin. Kalau anak pertama gimana? Kamu tau?" tanya Tamra.
"Nggak tau. Aku belum sempat cek. Baru jenasah yang labelnya Zhong Chenle yang aku liat langsung dari dekat," jawabku.
"Hm... oke. Ayo kita masuk lagi. Tapi tukar posisi, kamu urus oranf tuanya. Biar aku cek keadaan anak yang masih hidup itu," Tamra memutuskan pada akhirnya.
"T-tapiㅡ kita beneran mau bantu dia?" aku menatap Tamra yang tampak tidak ada takut-takutnya.
"Tergantung. Kamu sendiri yang bilang tadi, ada yang nggak beres dengan keluarga ini. Kalau kita bisa bantu anak itu, kenapa enggak?" sahut Tamra. "Ayo, jangan buang waktu!"