Ini spin off dari chapter 25 di More Than Frenemy, fyi. Bingung mau ditaro dimana jadi di sini aja deh hehe. Katanya pada kangen Jaem-Lice kan???
Since this is a spin off, so I won't bother explain about the context again. Kalo ngga ngerti baca aja dulu Vacancy universe atau lebih tepatnya More Than Frenemy.
Thank u, xoxo!
*****
"Smile, Kim Alice ㅡfor God's sake!"
Terserah. Mau ngomel sampai besok juga terserah. Ibuku yang berambut pirang sudah kubuat sakit kepala sejak pagi karena aku bad mood padahal hari ini wisuda. Sementara ayahku cuma diam sambil geleng-geleng kepala. Dia tahu aku sangat keras kepala, menuruninya, jadi memilih diam daripada aku marah atau menangis.
Aku anak tunggal, tapi sepupuku lumayan banyak. Mereka semua datang ke acara wisudaku di kampus, jadi ramai. Sebenarnya aku agak merasa bersalah memasang muka masam di depan mereka. Lulus strata satu, nilai sempurna, jadi salah satu mahasiswa terbaik, dapat dua gelar sekaligus karena aku mengambil double deegre ㅡharusnya aku hari ini jadi orang paling bahagia sedunia. Tapi rasanya hambar karena satu nama yang selalu mengganggu pikiranku sampai aku pusing.
Na Jaemin.
Sejak tahun pertama di SMA, aku jadi secret admirer Jaemin. Lalu dia debut jadi idol, keren kan? Butuh waktu yang cukup lama dan berbagai kejadian sampai akhirnya aku bukan sekedar penggemarnya lagi. He was my boyfriend. Was. Past tense.
I swear the God, Na Jaemin is the sweetest human alive. Dia bisa jadi sahabat, saudara, dan pacar sekaligus. Walaupun sibuk tapi sering mengantar kotak bekal untukku, mengajakku membeli buku, mengajari aku naik Whitney ㅡnama motornya, memelukku tiap aku drop karena terlalu lelah kuliah. I'm so lucky, right?
Kami sering bertengkar, tapi tidak pernah lama. Misalnya tentang kebiasaannya kebut-kebutan atau hal sepele lain. Biasanya aku tidak pernah menganggap serius semua itu. Tapi... Dia kemudian membuat suatu kesalahan yang fatal. Sangat fatal.
"Alice!"
Aku tersentak, menoleh pada sumber suara. Itu mereka, Mark Lee dan Livia Byun, melambai tidak jauh dari aku yang masih dikerubungi sepupu-sepupu dan kekuarga yang ingin mengucapkan selamat. Seperti ada yang kurang karena Na Jaemin tidak ada bersama Mark dan Liv. Ehㅡ what? Kalau si bodoh itu ada di sini mungkin sudah kulempar dengan high heels.
"Oii!" sapaku dari jauh sambil menghampiri Mark dan Liv. Mereka bahkan lebih dekat denganku daripada semua saudara sepupu atau teman yang lain. "Sorry agak lama, aku tadi agak susahㅡ hey!"
Aku agak oleng karena mereka berdua tiba-tiba dengan barbarnya menubrukku lalu memberi pelukan erat. Pipiku dicium dari kanan dan kiri sekaligus sampai susah napas.
"Congratulations!" seru Liv.
"Happy graduation, super brain!" kata Mark dekat telingaku.
"Okay, okayㅡ thanks, tapiㅡ aku nggak bisa napas nih!" keluhku sambil menggeliat.
Mereka tertawa kemudian melepaskanku. Aku ikut tertawa hambar. Biasanya mood-ku selalu baikan tiap bersama mereka, tapi ternyata kali ini tidak mempan.
"Kenapa? Kok diem? Ahㅡ maaf aku nggak bawa bunga atau hadiah soalnya emang sengaja. Kamu mau minta hadiah apa, Alice?" tanya Liv.
"Aku udah ada hadiah, tapi nanti aja soalnya gede banget nggak bisa dibawa-bawa hehe," timpal Mark.
"Eh- bukan kok. Nggak apa-apa, nggak usah bawa hadiah atau bunga," gelengku dengan tawa garing.
"Sorry ya telat, si alay ini lama banget tadi jemputnya," kata Liv sambil menyikut Mark. "Di jalan juga lama, nyetir sambil chating terus."
"Apa?? Kok aku sih? Kamu tuh, mandinya lama!" Mark tidak terima.
"Kan kamu lama, makanya aku jadi mandi dulu! Tadinya kan aku mau nggak mandi soalnya bangun kesiangan!"
"Ya bagus dong berarti? Jorok banget mau ke wisuda orang nggak mandi, bau keributan tau!"
"Apa sih? Ngapain peluk-peluk tadi kalo aku bau?!"
Aku berdecak sambil menghela napas, sudah biasa melihat mereka bertengkar.
"Ya udah, udah jangan ribut. Lagian kalian udah di sini kan sekarang?" leraiku.
Liv dan Mark bertukar tatapan sengit, lalu mendengus sambil buang muka. Sulit dipercaya dua teman terbaikku itu sudah bertunangan kalau melihat kelakuannya, kontras dengan cincin couple yang melingkar di jari manis mereka masing-masing.
"Aku masih harus foto angkatan, kalian tunggu di sini ya. Jangan berantem, oke?" ucapku.
Karena bertengkar adalah cara kedua sahabatku itu menunjukkan kasih sayang, jadi mereka mengangguk setuju dan langsung akur lagi setelah aku berpamitan sejenak. Aku tersenyum lalu kembali pada kerumunan orang-orang yang memakai toga. Hatiku mencelos tiap melihat ada sesama wisudawan yang bersama pacarnya. Ah sialㅡ jadi ingat Jaemin kan. Tidak, jangan sebut namanya. Sebut dia Na Voldemort sekarang.
Oh iya, aku sampai lupa. Aku belum menceritakan kenapa aku dan Jaemin yang tadinya sedekat nadi sekarang sejauh matahari. Mungkin untuk dia dan sebagian orang, ini cuma hal sepele. Tapi untukku, dia hampir menghancurkan hidupku.
Bagaimana? Penasaran? Kalian mau dengar?
ㅡTbc
Bagaimana? Penasaran kenapa aku bisa benci setengah mati pada orang yang tidak bisa kubenci?