"Nih, udah jangan cemberut terus."Aku sedikit mendongak. Si mata besar mengulurkan kantung plastik ke depan hidungku. Tadi dia menyuruhku duduk menunggu di depan mini market lalu masuk sendiri.
"Itu apa?" tanyaku.
"Ambil aja," sahutnya sambil membuka botol air mineral.
Akhirnya kuterima pemberiannya. Di dalam kantung plastik aku menemukan tissue basah dan kering, serta sebotol air mineral. Kutatap si mata besar sedang minum. Walaupun menyebalkan tapi dia tidak tampak seperti orang jahat. Lagipula, aku haus.
"Namamu siapa?" tanya orang itu.
"Yoo Kina," jawabku sambil berusaha membuka tutup botol.
"Yukina? Aneh namanya ㅡck, buka tutup botol aja nggak bisa," dia merebut botolku lalu membukakan tutupnya.
"Makasih," jawabku, menerima botol yg terbuka.
"Aku Hendery," dia mengulurkan tangan.
Ragu-ragu aku menjabat tangan besar itu. "Namamu juga aneh."
"Kamu mau pulang ke Gwangmyeong kan? Sama, tujuanku juga ke Gwangmyeong. Karena aku kecopetan dan uang terakhirku udah habis buat beli minum dan tissue, jadi aku pinjam uang buat pulang ke Gwangmyeong. Deal. Ayo, kita tanya ke orang jalan ke terminal arahnya ke manㅡ"
"Hey!" aku memotong cerocosannya. "Apa barusan? Minta dibayarin ongkos ke Gwangmyeong? Padahal tadi aku udah dituduh jadi copet???"
Dia berdecak. "Bukan minta, tapi pinjam. P-i-n-j-a-m, hutangㅡ h-uㅡ"
"Nggak mau!" seruku penuh dendam. "Urus sendiri hidupmu. Aku nggak butuh tissue. Aku mau pulang!"
"Heh Yukina! Tunggu," si Hendery itu menyusulku yang pergi dengan jengkel. "Kamu tega? Kita kan sesama manusia! Lagian, buka tutup botol aja kamu nggak mampu, gimana coba kalau ketemu orang jahat??"
Kakiku langsung berhenti melangkah begitu mendengar kata orang jahat. Dia benar. Kenapa sih aku lemah? Aku memang tidak bisa bela diri sama sekali. Dan aku sangat penakut. Sial. Bagaimana ini?
"Kan~ Takut kan~" ledek Hendery. "Makanya, anggap aja aku bodyguard sementara. Nanti di Gwangmyeong uangmu kuganti dua kali lipat deh. Ya? Ya? Ya?"
"K-kamu bukan orang jahat kan?" tanyaku.
Dia menggeleng yakin. "Bukan, sumpah! Maaf soal yang tadi di kereta, soalnya akhir-akhir ini aku sering baca berita tentang modus pencopetan pake anak polos. Kayaknya aku kecopetan di stasiun. Maaf ya."
"Anak polos???" protesku dengan alis bertaut. "Ck- ya udah deh. Tapi awas ya kalau ternyata kamu penjahat, aku lapor polisi!"
"Iya deh, iyaaaa," sahutnya sambil menyobek tissue basah kemudian mengeluarkan selembar. "Nih, lap dulu mukamu. Biar nggak kayak anak diculik."
Ingin protes, tapi aku sadar mukaku memang rasanya lengket karena bekas air mata dan keringat. Kuterima tissue untuk menyeka muka. Dipikir-pikir malu juga tadi aku menangis di kereta. Untung tidak ada orang yang kukenal.
"Nah, sini sampahnya," dia mengulurkan tangan. "Ayo, kita ke terminal."
Setelah membuangkan tissue bekasku, Hendery menggiringku menuju pusat informasi. Karena takut tapi tapi tidak mau menyentuhnya, aku berpegangan dengan cara mencengkeram bajunya di bagian dekat pinggang. Setidaknya dengan begini aku merasa aman.
"Eh, ini adik yang tadi nangis ya?" tanya salah satu petugas setelah memberi tahu kami arah ke terminal.
Aku tersenyum malu kemudian bersembunyi di balik punggung Hendery. Sumpah, sepertinya kalau bukan karena terpaksa aku tidak mau menginjak tempat ini lagi. Hendery tertawa garing.