"Lupa bikin PR?"
"Nggak pernah."
"Dimarahin orang tua karena nilai turun?"
"Nggak pernah juga. Tanpa dimarahin juga pasti aku nangis duluan."
"Kalau nggak belajar sebelum ujian?"
"Emang ada orang yang nggak belajar sebelum ujian?"
"Hmm... nyontek temen pernah nggak?"
"Ngapain? Okeㅡ bukannya sok pinter, tapi aku nggak percaya sama orang lain kalau soal belajar."
"Dimarahin guru pernah nggak?"
"Nah kalau ini pernah. Gara-gara nilaiku sempurna semua tapi nggak mau jadi ketua klub olimpiade. Habis harus banyak ngomong sih, aku kan kalau ngomong lebih dari lima kalimat capek."
Jaemin geleng-geleng di hadapanku. "Wow, amazing."
"Apanya?" tanyaku sambil mengecek catatan-catatan di agenda bimbingan skripsi.
"Selama ini aku tau suh kamu jenius, tapi ternyata terlalu jenius itu kayaknya nggak normal ya," kata Jaemin.
"Sembarangan," cibirku.
"Tapi itu aneh banget, kayak nggak seru masa-masa sekolahnya," Jaemin tertawa meledek. "Kamu jadi nggak tau rasanya bolos, nyontek, ngobrol waktu pelajaran."
"Hahaha oke, aku emang kaku. Semua orang bilang gitu," aku tertawa garing.
Jaemin menggelitiki daguku. "Nggak apa-apa, Alice-ku anak baik."
"Minggir, anak nakal," kutepis jemari Jaemin.
Dasar Jaemin, kalau dilarang malah sengaja makin jahil. Dia pindah dari samping ke belakangku lalu bergelayut di punggungku sampai aku terperanjat karena kaget.
"Ishㅡ kaget tau, berat lagi!" protesku.
"Mau diajarin jadi anak nakal nggak?" tanya Jaemin sambil cengengesan.
"Nggak ah udah kamu aja yang nakal. Awas dong, tadi kan udah janji kalo kita ketemu nggak ganggu??" kucubit pipinya dengan gemas.
"Ya tapi kan bosen. Masa aku daritadi main sendiri," dia mengerucutkan bibir, kepalanya masih menumpu di pundakku.
Aku menghela napas. "Dibilangin ngeyel sih. Kan aku udah bilang, ketemunya nanti aja kalau lagi nggak ngerjain skripsi."
"Alias nggak tau kapan."
"Nggak gitu, Na Jaemin..."
"Kebiasaan, belajar terus. Emang nggak bosen??"
"Ini kan skripsi, beda sama biasanya. Lagian kalau skripsinya selesai, aku bisa lebih cepet lulus dan wisuda. Iya kan?" aku membelai rambutnya.
"Iya, terus habis itu ngapain lagi? Kamu mau lanjut S2? Sibuk belajar lagi??"
"Kok tau?"
"Kan," decak Jaemin. "Emang susah ya kamu jenius sementara otakku cuma buat pajangan."
Mendengar dia makin ngambek, aku malah tertawa. Jaemin memang moody, seringnya bersikap hangat menyemangati aku saat sibuk belajar atau dikejar deadline tugas. Tapi kadang kalau sudah sering kujadikan nomor dua setelah pendidikan, dia ngambek. Sebenarnya aku merasa kasihan juga, tapi bagaimana lagi.
"Jangan bilang gitu," aku mengusap-usap pipinya. "Kata siapa otak kamu cuma pajangan, hm? Siapa yang bilang gitu nanti aku marahin."
"Ya nggak ada sih," ujarnya.