"Belum muncul juga? Cewek yang waktu itu?"
Aku hanya menggeleng disertai senyum hambar untuk menanggapi pertanyaan kakak sepupuku, Dong Sicheng, sekaligus pemilik café tempat aku numpang tinggal ㅡdan kadang bantu-bantu sedikit, tanpa diminta. Sebenarnya kakakku tidak suka aku memperkerjakan diri begini. Dia lebih suka aku pergi ke luar seperti anak lain, hang out dengan teman-teman. Tapi harus berapa kali aku pintar bergaul?
"Emang dia siapa sih? Selama kamu tinggal di sini, baru dia temen satu sekolah yang kamu ajak ke sini," ujar kakakku.
Ya, aku pernah dua kali mengajak Hana ke Komorebi ㅡnama tempat ini. Hari hujan lain, kami berbagi payung dan tetap basah saat sampai ke sini. Kubuatkan Hana kopi sambil menunggu seragam dan sepatunya agak kering. Kami berbincang banyak tentang musik dan buku. Anehnya, aku merasa nyaman mengobrol tidak jelas dengan dia. Padahal itu sangat buang-buang waktu kan?
"Anak kelas sebelah. Sama-sama makhluk anti sosial, makanya nyambung," jawabku asal.
Kakakku tertawa. "Jangan bangga jadi manusia anti sosial. Manusia butuh manusia lain, tau."
"Iya, aku tau. Aku berusaha berubah kok, tapi nggak bisa sekaligus," ucapku.
"Yah, terserah. Semoga cewek itu cepet ketemu ya. Aneh juga tiba-tiba menghilang misterius dan nggak ada yang tau," timpal kakakku.
"Yahㅡ semoga," aku mengamini tanpa berharap.
Kakak sepupuku pergi ke lantai dua. Aku lanjut melamun di belakang mesin kasir. Hari ini weekend, dan hujan, tapi Komorebi justru lebih ramai daripada biasanya. Hampir semua meja terisi, semua orang tampak sibuk kecuali aku.
Ah, aku juga sibuk sih. Sibuk melamun.
Sibuk menebak, ke mana sebenarnya Shim Hana.
Semua orang yang mengenal dia, nyatanya tidak tampak seperti cukup mengenalnya. Saat aku bertanya pada teman sekelasnya bahkan mereka bersikap acuh dan hanya bilang 'nanti juga muncul lagi'. Semudah itu? Nanti kapan maksudnya?
Ini sudah hampir dua minggu.
"Permisi... Jun?"
Sebenarnya sebelum mataku beralih dari recehan di mesin kasir ke sosok di berdiri di hadapan, aku sudah mengenali suara itu. Kukira aku hanya berhalusinasi sampai kulihat langsung sosoknya.
Shim Hana.
"Ha- Hana," aku berusaha tersenyum senormal mungkin, tidak menunjukkan rasa excited sekaligus kaget.
Dibalas senyum super manis Hana. "Kamu jadi kerja juga disini?"
"Enggak, cuma bantu-bantu aja," aku nyengir. "Eh iya- mau pesan apa?"
"Um... yang waktu kamu ajak aku ke sini tempo hari, kopinya enak. Aku suka," jawabnya.
"Macchiato ya? Oke. Tunggu sebentar di sana ㅡnah, dekat jendela paling belakang kosong tuh," tunjukku.
Shim Hana mengangguk setuju, lalu mengeluarkan sejumlah uang sesuai yang tertera di mesin kasir. Ingin kutolak uangnya, tapi bingung bagaimana caranya. Terlalu awkward.
"Ditunggu sebentar ya," ujarku sambil mengulurkan kembalian dan nomor antrian.
Sambil sesekali melirik pada meja-meja cafe, aku menunggu kopi untuk Hana. Tak perlu waktu lama untuk menemukan dia di antara pengunjung cafe yang ramai berbincang, aku menemukannya di meja untuk dua orang dekat standing lamp yang hangat. Kopi selesai dibuat, kuambil sepiring cookies lalu kubawa pada Hana.