Zara Naulia
Aku memikirkan ini lagi; hukum alam bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk salah satunya adalah hubungan. Kita diminta untuk siap menghadapi semuanya. Hidup ini adalah untuk datang dan pergi, sama seperti kelahiran dan kematian. Jika berani menghadapi pertemuan, maka harus berani pula menerima perpisahan. Sekuat apa pun mempertahankan, jika memang sudah waktunya untuk pergi, maka itu akan pergi. Rasanya akan menyakitkan, tetapi aku tahu hidup memang tidak akan mudah. Itu adalah apa yang terpikir di kepalaku ketika menemukan Ibu yang matanya memerah karena keseringan diusap.
Ibu sudah mantap untuk berpisah dengan Abah. Jadwal sidang sudah ditentukan dan akan dilaksanakan kurang lebih sebulanan lagi. Aku ingin bertanya apa alasannya meski aku sendiri sudah tahu. Aku hanya ingin memastikan dugaanku, tetapi aku juga tidak ingin menyentuh lukanya jika mengungkit masalahnya.
"Sertifikat rumah atas nama Ibu. Nanti bisa dijual buat tabungan adik-adik kamu."
Aku mengangguk saja ketika Ibu memasukkan sertifikat rumah ke tas miliknya. Sudah ada dua koper besar barang berisi pakaian di pojok ruangan. Saat ini aku sedang memasukkan pakaian adikku, Fia, ke tas jinjing besar.
Hanya aku dan Ibu yang ada di kamar Fia saat ini. Daffa dan Fia diajak Abah pergi jalan-jalan. Sebenarnya aku hampir tidak mengizinkan mereka dibawa pergi, karena aku takut mereka akan dibujuk dan memilih untuk ikut dengan Abah. Kendati bukan adik kandung, tetap saja aku tidak rela. Aku telanjur sayang, dan tidak tahu apa jadinya jika tidak bertemu dengan mereka lagi.
"Bu, apa baik-baik aja ngebiarin Abah bawa adik-adik? Zara takut mereka dipengaruhi."
Ibu berhenti memasukkan berkas-berkasnya dan memandang kosong pada apa pun di depannya. Di detik itu juga aku langsung bertanya-tanya, apakah ada yang salah dari ucapanku.
"Zara, dia punya hak juga atas anak-anak. Daffa dan Fia pun berhak memilih ingin ikut siapa. Tapi Zara nggak perlu khawatir, percayakan semuanya sama Daffa." Ibu tersenyum untuk menenangkanku. Walau itu tidak cukup untuk membuatku berhenti memikirkannya, tetapi aku tidak membicarakannya lagi.
Aku menutup ritsleting tas yang baru saja selesai kuisi dengan baju Fia. Yang mana itu berarti kamu selesai mengemas semuanya. Ibu bilang sudah mencicil mengemas barang-barang lain dan dibungkus rapi dalam dus-dus. Karena mobilku tidak akan muat membawa semuanya, Ibu sudah menyewa mobil pick up untuk mengangkut dus.
Sekarang yang kulakukan adalah memandang wajahnya. Urat-urat wajahnya sudah tidak setegang kemarin saat aku baru datang. Aku penasaran, sudah berapa lama Ibu menderita bersama Abah. Sebenarnya aku tidak ingin mereka sampai berpisah, karena perceraian yang lalu sudah pasti membuatnya terluka. Namun, jika memang keputusan itu akan membuatnya lega, aku berharap inilah yang terbaik.
"Ibu sudah benar-benar yakin?" Dan aku masih menanyakan hal yang sama untuk yang kesekian kalinya. Aku hanya tidak ingin hal ini membuat Ibu menyesal di kemudian hari.
"Abah nikah sama Ibu bukan karena berawal dari saling cinta, Ra. Dia bilang mau menolong Ibu membesarkan kamu." Ibu mengangkat tangannya untuk mengusap rambutku. Aku baru tahu soal ini, dan menyadarkanku bahwa menikah bukan melulu karena saling cinta.
"Memang berjalan baik pada awalnya, kami saling mengerti satu sama lain, dan Zara juga diperlakukan dengan baik."
"Sampai akhirnya keluarga Bapak datang," sambungku.
"Ya. Ibu bukan ingin menyalahkan mereka, tapi rasanya cukup wajar kalau Abah semarah itu. Mereka mengabaikanmu, tapi kembali setelah Zara masuk usia remaja."
Kalau dipikir-pikir lagi, mereka memang cukup keterlaluan. Mungkin aku kesal dengan sikap Abah karena aku tidak pernah berada di posisinya. Namun, melarangku melakukan kegiatan apa pun di luar jam sekolah juga sangat keterlaluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...