30 - Cemburu

1.1K 96 5
                                    

Rafael Lazuardi

Malamnya, kami berkumpul di pantai untuk mempersiapkan acara bakar-bakar. Saat itu aku baru menyadari berapa banyak orang yang ikut liburan kali ini. Liburan di usia yang sudah lebih dari seperempat abad memang bukan sesuatu yang biasa. Apalagi bagi mereka yang sudah memiliki pasangan. Ada beberapa temanku yang membawa istrinya untuk ikut serta.

Sebenarnya agak iri juga melihat kemesraan mereka. Duduk bersebelahan dengan lengan tertaut, saling menyuapi, sampai berpelukan jika ada yang mengeluh kedinginan. Salah satunya ketika kulihat Sam dan Rosetta makan sepiring berdua di atas sebuah batang kayu besar.

"Bengong aja, El. Kenapa? Pengen juga?"

Suara Yohanes yang nyaring membuat telingaku berdengung. Aku lekas-lekas bergeser menjauh darinya. Kaget, sebenarnya.

"Serius, El," ujarnya lalu memperpendek jaraknya lagi denganku. "Nggak mau romantisan sama Zara kayak gitu juga?" Ia bertanya dengan suara yang pelan, hampir berbisik.

Mendengar nama Zara disebut-sebut, aku mendelik padanya. "Apa maks-"

"Atau mau nunggu nggak ada yang liat ya?" potongnya.

Aku menatapnya penuh selidik. Ada banyak dugaan berkeliaran di kepalaku. Mulai dari 'Yohanes tahu dari mana' sampai 'bagaimana ia mengetahuinya'. Aku tidak yakin kalau keluhanku waktu itu terang-terangan menunjukkan bahwa si wanita adalah Zara. Hebat sekali kalau Yohanes memang bisa menebaknya.

"Kenapa ... bawa-bawa Zara?" Ragu di awal, tapi kemudian nada bertanyaku menuntutnya untuk segera menjawab.

"Aku melihatnya sendiri," jawabnya. Ia memutar kepala sebentar, dan aku mengikuti arah pandangnya ketika itu tertuju pada Zara.

Wanita itu sedang mengaduk bumbu yang akan dipakai untuk mengolesi bahan-bahan makanan yang akan kami panggang. Ia melakukannya sendirian. Melihatnya setenang itu membuatku tersenyum.

"Ekhem." Lagi-lagi Yohanes membuyarkan fantasiku.

Fantasi apa, El?

"Jadi, bener perempuan yang bikin kamu kacau beberapa hari yang lalu itu Zara?"

"Sebelum aku jawab pertanyaan kamu, jawab dulu pertanyaanku, kamu lihat di mana?"

Yohanes tertawa geli. Ia menepuk pundakku dan mengajakku ke sebuah batu besar di dekat ombak. Ia paham aku tidak ingin orang-orang mengetahuinya, jadi kami menuju ke lokasi yang jauh dari kerumunan. Selagi menuju ke sana, aku mencomot sepotong pempek di piring yang dibawa Yohanes. Ia punya banyak, jadi aku yakin ia sudah merencanakan untuk kami makan berdua selagi aku bercerita.

"Aku liat di van tadi," ujarnya setelah kami sama-sama duduk di atas batu. "Kenapa harus diam-diam? Nggak ada yang marah kalau kalian berdua bersama."

Aku menghela napas. Tidak perlu pertimbangan apa aku harus menceritakan pada Yohanes atau tidak. Sebab sejak dulu ia selalu bisa kupercaya.

"Masalahnya hubungan kami nggak semudah itu. Kami nggak pacaran, Han. Tapi kami memutuskan untuk saling mengenal satu sama lain sebelum kami menikah."

"Hubungan tanpa status?"

"Ya sebut saja begitu," sahutku sebelum mencomot pempek lagi.

"Kalian yakin bakal berhasil?"

Aku tidak pernah ragu untuk menjawab ketika Zara yang bertanya padaku. Namun, ketika itu berasal dari Yohanes, aku mulai meragu. Semua orang tahu pernikahan bukanlah sesuatu yang main-main. Menikah adalah tentang hidup bersama dan senantiasa membersamai, untuk bahagia dan membahagiakan. Ada banyak hal yang harus dilakukan bersama tanpa melibatkan ego sedikit pun. Bukan lagi tentang diriku sendiri, tapi tentang berdua.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang