Rafael Lazuardi
Sudah satu minggu berlalu sejak pengakuan mengejutkanku di liburan kami waktu itu. Sejak saat itu, teman-temanku selalu menanyakan kapan tanggal pernikahan kami. Agak menyebalkan sebenarnya, karena aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya aku hanya tertawa dan memohon doa saja pada mereka. Lalu ditambah dengan alibi, "Spesifikasi dari sebuah rencana itu sebaiknya nggak diumbar-umbar jauh-jauh hari dulu."
Aku pernah mendengar seseorang mengatakan itu. Mereka setuju, dan karena itu aku tidak merasa sedang membual.
"Seharusnya kamu beri Zara kepastian." Suara Yohanes menggema di ruangan kami.
Aku hanya mengernyit keheranan. Ia baru tiba dan sudah mengatakan itu padaku. Apa aku tidak sadar sedang melamun tadi?
"Kepastian kapan kalian menikah. Apa lagi?" Yohanes mengatakannya dengan sangat tidak santai. Matanya ikut melotot dan sikapnya saat ini persis seperti seorang ibu yang sedang menunjukkan bahwa sikap anaknya salah.
Terdengar aneh? Sayangnya, ia memang tampak begitu.
Aku mengembuskan napas begitu saja. "Menurutmu Zara bakal setuju kalau kulamar minggu depan?"
Yohanes tentu tidak bisa menjawab, aku yakin itu. Yang ia lakukan hanya menatapku dengan kening berkerut.
"Waktu itu aku sempat ngobrol sama Zara." Itu yang ia katakan.
Aku mencondongkan badanku dengan kening berkerut, apa pun itu yang berkaitan dengan Zara selalu membuatku penasaran. Kendati mengetahui bahwa ia mengobrol dengan Yohanes adalah sesuatu yang bisa dibilang agak mustahil.
"Apa?" tanyaku, agak mendesaknya karena tidak bisa menahan rasa penasaran cukup lama.
"Dia beneran nggak mau pacaran ya? Terus sekarang ngapain kalau nggak langsung nikah aja?"
Yang ditanyakan Yohanes ada benarnya juga. Karena kami tidak memutuskan untuk melalui tahap berpacaran, kenapa tidak langsung merencanakan pernikahan? Jika dipikirkan, itu memang pertanyaan yang simpel. Mudah saja merencanakan, seperti venue, kuliner yang dihidangkan, siapa saja tamu yang diundang, sampai fitting busana.
Justru yang jadi pertanyaan adalah, "Apa kami keliatan udah siap buat hidup bersama?"
Sekali lagi aku membuat Yohanes terdiam. Aku tahu niatnya baik ingin mengingatkanku agar segera mengakhiri hubungan dengan status tidak jelas dengan Zara ini; Begitu Yohanes menyebutnya tempo hari.
"Tujuan kami jelas, kalau itu yang kamu pertanyakan. Kami akan menikah, tapi bukan dalam waktu dekat. Jadi, berhenti ngomongin soal ini, karena aku punya agenda rapat yang harus kamu persiapkan." Aku memunculkan sisi bossy-ku dan tersenyum miring padanya.
Yohanes berdecak keras dan menghilang di balik tembok pembatas. Aku selalu tahu sikapku tadi membuatnya kesal. Sebab, hanya itu yang bisa kulakukan agar ia berhenti bicara.
Aku menatap komputer yang entah sejak kapan sudah menampilkan desktop sejak aku menyalakannya sebelum bicara dengan Yohanes tadi. Wallpaper yang kupasang di sana adalah foto Zara yang kuambil pertama kali. Foto buram yang menampilkan tiket bioskop. Dan akan selalu mengingatkanku pada kencan pertama kami.
Gara-gara terlalu asyik memandangi itu, aku sampai lupa untuk apa menyalakan komputer tadi.
Aku memang tidak bisa menyingkirkan sedikit pun sosok Zara dari kepalaku sejak pengakuanku di pantai minggu lalu. Itu memang tindakan di luar kendali dan tanpa pemikiran yang matang. Bodoh sekali aku baru menyadarinya sekarang. Tidak heran jika Zara kecewa padaku malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
Literatura Feminina[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...