39 - Yang Sebenarnya

922 97 9
                                    

Rafael Lazuardi

Aroma kopi menyeruak dari asap yang mengepul di minuman kami di atas meja. Aku menghirup aroma itu dalam-dalam seperti mentalku bergantung padanya. Nyatanya, itu merupakan meditasi terbaik untuk pikiranku yang sedang kacau. Pikiranku mulai dipenuhi dengan 'ke mana perginya Zara?' dan berbagai spekulasi buruk yang membuat Zara tidak menceritakan apa pun padaku.

"Jadi, El, sejak kapan kamu dekat sama Zara?"

Aku menegakkan badan agar bisa menatap Daria. "Dia teman satu kampus. Sejak pindah kerja ke kota ini, dia orang pertama yang kutemui." Aku tersenyum mengingat momen ketika aku menyelamatkannya dari seorang pria pengganggu.

"Kayaknya dia spesial buat kamu?"

Serius ia bertanya seperti itu padaku? Sudah lupakah jika tidak ada satu pun wanita yang lebih spesial darinya? Ibuku terlintas di kepala, tapi itu beda cerita lagi. Spesialnya berada di kategori yang berbeda.

"Iya." Hanya itu yang keluar dari bibirku.

"Dia cocok sama kamu. Apalagi Zara juga orangnya kalem."

Kedua alisku terangkat dan aku mengulum senyum, tersanjung karena pujiannya. Aku tidak tahu kenapa sampai harus menahan diri seperti ini. Kemarin-kemarin aku bisa leluasa mengatakan bahwa Zara adalah calon istriku, tapi sekarang? Berhadapan dengan Daria membuatku tidak berdaya.

Aku meraih gelasku, lalu menyesap isinya beberapa tegukan. Sengaja melakukan itu untuk memberiku waktu memikirkan apa yang harus kukatakan padanya.

"Sebenarnya, Daria." Aku meletakkan gelasku kembali ke atas meja. "Aku kaget melihatmu ada di sini. Maksudku, kota ini bukan tempat asalmu, 'kan?"

Daria menghela napas berat. Dari situ saja aku bisa mengetahui bahwa ia mengalami masa-masa yang berat sampai berada di sini.

"Aku nggak tau apa aku harus cerita ke kamu atau nggak. Secara status, seharusnya kita tidak di sini sekarang."

"Hubungan kita berakhir, bukan berarti kita harus jadi musuh," ujarku meyakinkannya. Tujuanku mengajaknya ke sini adalah untuk mendengarkan kisahnya. Dan aku tidak mau pertemuan yang menyesakkan ini berakhir sia-sia.

"Kamu selalu berhasil membuat semuanya terasa mungkin," ujarnya. Dan aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengerti maksud dari ucapannya.

"Hubunganku dan Dion sudah berakhir."

"Tunggu, tapi kalian sudah bertunangan, 'kan?" Aku menyela. Entah kenapa aku tersulut emosi sekarang. Bagiku, bertunangan adalah salah satu bukti keseriusan seorang pria untuk memperistri kekasihnya. Dan apa yang dilakukan Dion dengan mengakhiri semuanya benar-benar sangat tidak gentleman.

"Itu yang semua orang tahu." Daria tersenyum getir. "Kenyataannya kami belum bertunangan. Itu hanya rumor yang dibuat-buat Dion untuk membuatmu cemburu, El."

Rahangku mengeras. Apa maksud pria itu dengan membuatku cemburu?

"Lalu apa hubungannya dengan kepindahanmu ke sini?"

Daria meminum kopinya sampai gelas yang bening itu kosong. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lambat-lambat. Melihatnya melakukan itu semakin membuatku tidak sabar untuk mengetahui semuanya.

"Awalnya dia memang berencana buat bertunangan tepat sebulan setelah kita putus. Tapi entah kenapa orang-orang di kantor justru mengira kami udah tunangan. Awalnya aku ingin mengelak, tapi Dion bilang abaikan saja. Dan setelah aku tau alasannya hanya agar kamu cemburu, aku jadi merasa bersalah dan memutuskan buat ngejauhi kamu waktu itu, El. Aku membuat semuanya menjadi tampak nyata bagimu."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang