Zara Naulia
Aku berterima kasih pada El, yang dengan tindakan heroiknya berhasil membuat Dimas pergi. Meski hanya sesuatu yang sepele, tak ayal membuatku bernapas lega setelah dibuntuti seperti tadi. Meski begitu, aku tidak yakin jika Dimas akan benar-benar berhenti menggangguku.
Kami masuk ke kafe kemudian. Aku cukup sering datang ke sini saat istirahat makan siang. Selain karena dekat dengan kantor, desain interior kafe ini juga sangat indah. Natural-modern jika aku menyebutnya. Kafe ini tidak pernah sepi. Kebanyakan pengunjungnya adalah mereka yang suka berfoto-foto untuk konten media sosial mereka.
El berjalan mendahuluiku menuju konter dan aku berada satu langkah di belakangnya. Kami memesan minuman yang sama. Aku baru tahu jika dia juga seorang penikmat kopi.
"Aku aja yang bayar, Ra." El meraih tanganku yang ingin mengeluarkan uang dari dompet. Sedangkan sebelah tangannya yang lain mengeluarkan dompet dari kantong celananya.
Aku ingin menolak, tapi El bergerak cepat sekali menyerahkan uang pada Mbak kasir yang ada di seberang meja konter. Akhirnya hanya ucapan terima kasih yang kukatakan padanya. Kami berdua berjalan menuju satu-satunya meja kosong di pojok ruangan.
"Kamu doyan banget diikutin sama cowok, Ra," celetuk El memecah keheningan.
"Apanya yang doyan?" Aku menyahut tidak terima sambil meraih tisu di tengah meja.
"Lagian setiap ketemu kamu pasti ada yang ngikutin."
"Bukan keinginanku diikutin kayak gitu," keluhku.
Memang enak diekori oleh pria yang tidak disukai? Tidak sama sekali. Aku bahkan merasa risih. Bukan karena dikejar-kejar, melainkan risih karena aura permusuhan yang menguar dari pegawai-pegawai wanita di kantor. Tidak semuanya, tapi tetap saja. Itu agak menyulitkanku jika ingin berinteraksi dengan mereka. Rasanya seperti tidak diterima.
Selalu ada kemungkinan bahwa mereka sebenarnya mengincar pria yang mengaku suka padaku. Kalau tidak, kenapa mereka harus memusuhiku? Abel, rekan kerja satu divisi, satu-satunya yang menerimaku dengan baik sebagai wanita, mengatakan bahwa itu hanya sebuah kondisi dari kecemburuan sosial. Sebenarnya aku tidak mengerti maksudnya, tapi Abel selalu meyakinkanku bahwa aku tidak bersalah. Aku sudah menolak, tapi pria itu tetap datang padaku. Jadi, itu bukanlah kesalahanku.
"Tapi kamu masih sendiri padahal yang naksir banyak?" El mencibir, membuyarkan segala pikiran di kepalaku.
Aku hanya memandang El tanpa ekspresi. Berharap ia paham bahwa aku tidak suka ia berkata begitu. Namun, reaksi tak terduga kuterima dari El yang justru tersenyum jenaka. Di saat bersamaan, minuman yang kami pesan tiba. Seorang pelayan wanita meletakkan gelas minuman kami sambil mengucapkan namanya satu per satu ke atas meja. Memastikan bahwa yang diantarkan sesuai dengan apa yang mereka berdua pesan.
"Makasih, Mbak." El tersenyum.
Pelayan tersebut tersenyum malu-malu setelahnya. Namun hanya sebentar, karena saat ia mengalihkan pandangan kepadaku, senyumnya luntur seketika. Aku lupa tidak tersenyum padanya. Mungkin pelayan itu berpikir bahwa aku adalah kekasih yang posesif dan tidak suka ia tersenyum pada El. Aku jadi merasa jahat sekali.
"Jadi ...." Suara El mengalihkan atensiku. "Gimana tentang ajakanku kemarin?"
El rupanya bukan pria yang suka basa-basi. Entah memang ia seperti itu, atau karena El sudah terlalu lama menunggu jawabanku. Aku bahkan masih tidak tahu harus menjawab apa. Ini semua terlalu mendadak.
Untuk beberapa saat aku hanya menggumam, belum menjawab. Sambil sesekali menyesap latte yang masih hangat. Berharap rasa gugup itu ikut membaur dengan udara yang kuembuskan ke dalam gelas untuk mendinginkannya. Seandainya pertemuan kami hari ini tidak memiliki tujuan apa pun, tentu tidak sampai berefek pada jantungku yang berdegup kencang seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
ChickLit[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...