47 - Orang Ketiga

1.1K 85 3
                                    

Zara Naulia

"Zara!"

Aku baru saja tiba di kantor, tetapi Abel sudah menarik perhatian seisi ruangan karena tiba-tiba beranjak dari kursi untuk memelukku. Tindakannya yang tiba-tiba itu hampir membuat kursinya terjatuh seandainya tidak ditahan oleh salah Daria yang kebetulan lewat. Tatapan kami tak sengaja bertemu dan aku tersenyum padanya. Namun, wanita itu justru tersenyum tipis. Seperti mood-nya sedang tidak baik.

"Kamu jarang ambil cuti, tapi sekali ambil cuti lama. Mana nggak ngontak aku sama sekali." Omelan Abel berhasil mengalihkan perhatianku dari Daria.

"Bel, kamu berlebihan. Kayak nggak ketemu bertahun-tahun aja. Orang-orang jadi pada ngeliatin kita." Aku berbisik, tetapi tidak tega melepaskan diri dari pelukannya.

"Namanya juga kangen, Ra." Abel bersungut-sungut.

Aku menggeleng-geleng. Abel sudah menikah dan sebentar lagi punya dua anak-sebab sekarang ia sedang hamil empat bulan-tapi terkadang dia masih bertingkah seperti kekanakan. Dan bagian itu aku sampai kewalahan menghadapinya.

"Apa kerjaanku menumpuk?" tanyaku sambil meletakkan tas di atas meja.

"Kapan kerjaanmu nggak banyak, Ra?" sahut Abel agak sarkastik, sampai-sampai aku meringis.

"Kalau tau gitu kucicil pas di rumah Ayah."

Abel menatapku dan sengaja memutar kedua bola matanya. "Please, deh, Ra. Kamu itu cuti, bukan libur karena terpaksa. Mikirin kerjaan mulu."

Aku belum sempat merespons, tapi Abel bicara lagi.

"Pesanku aja sampai nggak sempat dibales, gimana mau ngerjain kerjaan? Kan, sibuk?"

"Kalau itu ... aku nggak terlalu sering pegang hp, sih. Jadi pas ngeliat pesanmu, mau kubalas, udah telat banget." Aku berkata jujur dan sama sekali tidak merasa bersalah. Sebab, ketika kubaca, Abel hanya menanyakan tentang kabar dan aktivitasku.

"Abel, ini aku bawa berkas tambahan buat-"

Aku mengenali suara itu. Sosok yang pernah sekali dibuat bungkam oleh pengakuan El. Dimas, pria yang membawa setumpuk berkas itu berhenti bicara ketika melihatku.

"Hai, Dimas," sapaku. Formalitas saja sebenarnya. Aku tidak ingin dianggap sombong jika terus-terusan menghindarinya.

"Apa kabar, Ra?"

Aku mengerutkan dahi sebentar. Seharusnya Dimas tidak perlu bertanya kabar seperti itu. Sebab itu terdengar terlalu formal dan agak canggung juga.

"Aku baik. Kamu?"

Selanjutnya Abel berdeham keras sekali, disusul dengan batuk yang dibuat-buat. "Maaf, kerongkonganku gatel. Oh, iya, itu berkas apa, Dim?"

"Oh, ini. Harus kukasihkan kamu atau langsung Zara? Soalnya Zara, kan, udah masuk kerja lagi."

"Abel yang gantikan aku selama cuti?"

Dimas dan Abel serempak mengangguk.

"Kok, bisa?" Nada bertanyaku mungkin terkesan seperti tidak suka karena Abel menggantikanku. Aku hanya sadar selama ini Abel sering pusing sendiri ketika melihat apa yang kukerjakan. Pertanyaan yang refleks terlontar dari bibirku itu adalah reaksi yang pantas kuberikan untuknya.

Abel menggigit bibir bawahnya seperti orang bersalah. Ia menggulirkan bola matanya ke komputer dan wajahku berkali-kali hingga membuatku bertanya-tanya.

"Ada apa dengan komputerku?"

"Aku tahu password komputermu. Jadi, aku diminta untuk memasukkan data-data dari berkas ini untuk kelanjutan proker dari kamu." Abel mendaratkan sebelah tangannya ke atas tumpukan berkas yang dibawa Dimas dengan kuat, sampai membuat pria itu hampir menjatuhkannya.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang