20 - Makan Malam yang Tidak Romantis

1K 108 2
                                    

Rafael Lazuardi

Kami menikmati makan malam dalam keheningan. Di tengah-tengah meja terdapat sebuah piring berisi ikan yang separuh gosong; hasil dari keteledoranku tadi. Selebihnya, masakanku tidak seburuk itu. Aku sangat yakin. Buktinya, tumis kangkung dan telur orak-arik yang kumasak sudah hampir habis. Entah karena kami sama-sama kelaparan, atau Zara memang menyukainya. Sebab ia makan lebih banyak.

Aku menghabiskan makananku lebih dulu dari Zara. Tak ingin merepotkannya, aku mengangkat piringku untuk dibawa ke wastafel, tapi kemudian Zara memanggilku.

"Iya, Ra?" sahutku.

Ia tidak menatapku. Pandangannya tertuju pada piring yang belum kosong. Kecanggungan ini tidak kurasakan sendirian, tapi Zara juga. Sayangnya, akulah tersangka utama dari terciptanya atmosfer tidak mengenakkan ini karena tidak sadar hampir menciumnya. Aku juga sampai tidak berani menatap Zara lama-lama. Sebab wanita itu dengan rambutnya yang masih basah benar-benar menggoda iman.

"Taruh aja di atas meja. Makanku belum habis. Biar sekalian aku aja."

Aku menatap piring kosong di tanganku, ingin menolak sebenarnya. Namun mulutku justru terkatup rapat karena insiden tadi masih membuatku merasa bersalah. Akhirnya, kuletakkan kembali piring itu ke atas meja pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara.

Jujur saja, aku bukan bermaksud tidak ingin bicara setelah melakukan kesalahan. Kata maaf ingin sekali terucap, tapi khawatir Zara sudah telanjur marah karena perbuatanku. Maka kuputuskan untuk pergi ke tempat lain sambil menunggu Zara selesai makan. Aku perlu udara yang berbeda dari ruangan ini. Setidaknya yang oksigennya tidak tercampur kadar kecanggungan.

"Aku ke ruang tengah ya, Ra," ujarku saat melewati Zara. Sekilas, aku sempat melihat wanita itu ingin bicara, padahal mulutnya penuh dengan makanan, tapi ia urungkan.

Kunyalakan TV Zara tanpa izin terlebih dulu dari pemiliknya. Aku perlu pengalihan dari insiden tadi. Yang namanya laki-laki, mana tahan melihat wanita semanis Zara lama-lama tanpa sedikit pun tergoda. Harusnya aku sadar, bahwa hubungan kami masih belum sejauh itu. Lihat, gara-gara perbuatanku sendiri, ia jadi enggan melihatku.

Film action di TV tak benar-benar membantu. Karena sosok Zara masih membayang di kepalaku. Tolong jangan menganggapku pria yang kurang ajar. Aku tidak pernah sekalipun berpikiran untuk melakukan hal-hal buruk pada seorang wanita. Interaksi paling intim yang kulakukan pada mantan kekasihku dulu saja sampai pelukan dan kecupan di pipi atau dahi. Tidak pernah lebih.

Namun, apa yang akan kulakukan pada Zara tadi seandainya ia tidak menyadarkanku tentang ikan yang gosong?

"Kamu nggak langsung tidur, Ra?" Aku bertanya dengan suara yang sesantai mungkin saat Zara menjatuhkan diri di sampingku. Ada sedikit jarak di antara kami. Aku memakluminya karena mungkin Zara takut berdekatan denganku sekarang.

"Tidur? Kamu aja masih di sini. Belum pulang." Zara menyahut santai. Akhirnya kecanggungan di antara kami sudah berakhir.

Aku terkekeh. "Nggak sadar. Rasanya kayak udah sah."

"Sah apa?"

"Sah jadi pasangan suami istri," gurauku, mencoba mencairkan suasana.

Zara membuang muka. Meski sekilas, aku bisa melihatnya merona.

"Ra," panggilku. "Kita bikin SIM, yuk?" Aku mengulang pertanyaan yang kulontarkan padanya kemarin.

"Aku nggak tau kalo mau nikah perlu surat izin."

Senyumku luntur seketika. Aku tidak habis pikir jika Zara akan menanggapinya seserius itu. Padahal itu hanya istilah yang kubuat-buat untuk menghiburnya.

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang