Zara Naulia
Momen yang dinanti-nantikan oleh keluarga kami akhirnya tiba. Semua orang sudah berkumpul di venue acara ijab kabul akan berlangsung. Sementara aku masih berada di kamar Nanda, menemaninya dirias oleh MUA. Sambil menunggu, aku menelepon ibu, ingin memberitahunya bahwa aku sedang bersama Nanda.
Kendati telah berpisah, keluarga ayahku masih menganggap ibu sebagai bagian dari mereka. Hanya karena keegoisan abah, ibu jadi tidak bisa berhadir di sini.
Baru beberapa detik aku menekan tombol video call, wajah ibu sudah memenuhi layar ponselku. Pasti beliau sedang bersantai sekarang.
"Zara, ada apa menelepon, Nak?"
"Itu Tante Mei, Kak?" Nanda bertanya.
Suara ibu memang sangat nyaring. Itu sebabnya meski aku duduk di sisi kamar Nanda yang lain, yang mana cukup jauh untuk dapat mendengar pembicaraan orang lain di telepon, Nanda masih bisa mendengar suaranya. Padahal aku belum menekan tombol speaker.
"Iya, Nda," sahutku sebelum kembali menatap layar ponselku. "Lagi ngapain, Bu? Fia sama Daffa belum tidur, 'kan?"
"Kami lagi nonton TV. Jam main ponselnya Daffa udah abis, jadi dia minta ditemani nonton Film."
Aku terkekeh mendengar jawabannya. "Berarti sekarang Abah nggak ada, Bu?"
Karena jika abah di rumah, Daffa boleh main ponsel sepuasnya. Dan aku tidak suka ketika adik-adikku bermain sampai lupa waktu.
"Iya, lagi banyak barang yang diangkut. Jadi tiga hari lagi baru pulang."
"Yahh kalau tau gitu, Ibu Zara ajak ke sini," sesalku dan ibu hanya tertawa. Tawa yang lirih sebenarnya sampai aku merasa sesak saat mendengarnya.
"Zara masih bisa ngajak kami ke sana lain kali. Omamu mana?"
"Oma–"
"Tante, Nanda nggak dicari?"
Ucapanku terputus karena teriakan Nanda. Mukanya berpaling ke arahku. Karena sikapnya itu, si MUA jadi kesulitan merias bagian matanya. Nanda terlalu banyak bergerak.
"Selesaikan riasanmu dulu, Nda," tegurku.
"Mana Nanda, Ra?"
Aku kembali menatap layar ponselku dan menjawab, "Ada. Lagi dirias, Bu."
Tiba-tiba Nanda menabrak bagian kanan tubuhku dan merampas ponsel yang kupegang.
"Nanda di sini, Tante!" sapanya sambil melambaikan tangan ke layar ponselku.
Aku melirik sang MUA yang mematung di tempatnya berdiri dan meringis. "Ya udah kalau gitu rias saya dulu aja, Mbak."
***
Seluruh keluarga besar kami dan keluarga besar Rafi, calon suami Nanda, sudah berkumpul di venue. Kamu semua mengenakan busana berwarna putih, melambangkan kesucian acara malam ini. Dan karena ini merupakan acara sakral, aku sengaja tidak menyalakan ponselku. Aku tidak boleh melewatkan sedetik pun sesi pengucapan ijab kabul kedua mempelai. Ya, hitung-hitung sebagai latihan sebelum aku sendiri yang berada di posisi Nanda.
Sosok El muncul dalam bayanganku ketika aku mengilustrasikan diriku duduk di depan sana. Aku tidak mungkin melakukannya sendirian. Dan siapa lagi yang akan terbayangkan olehku selain Rafael? Tidak mungkin aku akan membayangkan Ren.
Spontan, aku menatapnya yang duduk di paling ujung sebelah kanan paling depan. Ada kamera di lehernya. Ia mendapat posisi spesial itu karena harus mendokumentasikan keseluruhan acara. Sementara aku duduk mengasuh Zia dengan Caca di sebelah kiriku, dan di sebelah kananku kosong. Duduk di paling ujung belakang. Sengaja kupilih di sini agar ketika Zia mulai menangis, aku bisa membawanya pergi dengan mudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intertwined [✔]
Literatura Feminina[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai satu tujuan bersama, yaitu sebuah pernikahan. Namun, mereka berdua adalah dua orang yang tak sejalan d...